Pembentukan Konsorsium Film Yogya
Jumat, 27 September 2024, seratus pelaku perfilman mendeklarasikan pembentukan Konsorsium Film Yogya dalam ajang International Creative Industry Conference and Festival. Anggota konsorsium adalah perwakilan dari berbagai perusahaan film di Yogyakarta baik studio produksi, editing, production service, writing room, sekolah dan peneliti film. Inisiatif ini merupakan kolaborasi antara Kajian Film Indonesia (KAFEIN), Gelanggang Inovasi dan Kreativitas (GIK), Komisi Film Daerah (KFD) dan Paguyuban Filmmaker Yogya untuk merespon industrialisasi film lokal.
Dyna Herlina Suwarto (KAFEIN) dan Heni Dwi Sujati (KFD) kompak menjelaskan bahwa tujuan pendirian konsorsium ini untuk mendorong terciptanya industri film lokal yang sehat dan berkelanjutan. Saat ini tiap tahun ada puluhan film yang diproduksi di Yogyakarta baik atas inisiasi pembuat film Yogya atau Jakarta. Produktifitas yang tinggi ini terjadi belum dibarengi dengan dukungan regulasi yang kuat sehingga produksi film rawan eksploitasi tenaga kerja, pungutan liar, dan persaingan tidak sehat. Sehingga diperlukan program dan kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri yang lebih baik.
Di kesempatan yang sama, Garin Nugroho (GIK) yang turut menfasilitasi pendirian konsorsium, menjelaskan bahwa era baru ini ditandai dengan kemunculan berbagai platform distribusi film yang biasa disebut streaming service atau over the top (OTT). Ini adalah kesempatan emas bagi perusahaan film lokal untuk berpartisipasi dalam industri. Namun hingga saat ini orientasi industri masih berpusat di Jakarta sehingga seringkali tidak menguntungkan pembuat film lokal seperti Yogyakarta. Viko Amanda (KFD) menambahkan investor asing berulang kali ingin memproduksi film bersama pembuat film Yogya namun kepastian hukum yang rendah membuat mereka mengurungkan niatnya. Oleh karena itu perlu kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan agar untuk penguatan industri film lokal.
Diantara hadirin, ada dua sutradara Yogya yang sedang naik daun Sidharta Tata dan Ismail Basbeth. Keduanya sepakat bahwa selama ini mereka senantiasa melibatkan sumber daya lokal pada tiap film yang disutradarainya. Namun ekosistem perfilman Yogya belum sepenuhnya kondusif karena profesionalisme perlu ditingkatkan, regulasi belum memadai, ruang pertukaran pengetahuan dan jaringan belum tersedia. Oleh karena itu mereka berharap konsorsium ini dapat memperbaiki situasi.
Selepas reformasi 1998, komunitas film bermunculan bak jamur di musim hujan di Yogyakarta. Mereka digerakan oleh mahasiswa dari berbagai bidang keilmuan yang tertarik memproduksi, mengapresiasi dan meneliti film. Dua enam tahun berselang, kegiatan yang bermula dari hobi dan pertemanan itu terus mengalami perkembangan yang pesat sehingga banyak film pendek dan panjang produksi Yogya mendapatkan penghargaan nasional dan internasional. Jumlah pelaku perfilman semakin banyak dan kemampuannya makin profesional sehingga industrialisasi mulai terjadi.
Industri perfilman boleh dibilang pulih dalam waktu cepat setelah pandemi. Jumlah produksi film tahun ini diperkirakan akan melampaui tahun 2019, sebelum pandemi. Hal ini tak lepas dari peran pembuat film Yogya yang sangat produktif mendukung industri perfilman nasional. Maka mereka perlu mendapatkan perhatian memadai dari pemerintah. Karena film yogya berpotensi menjadi industri yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi provinsi.