
Pada suatu pagi yang sejuk karena semalam kota Makassar diguyur hujan yang cukup deras, saya meminjam sepeda inventaris Balai Diklat Keuangan Kemenkeu Corporate University untuk menjelajahi sudut-sudut kota selepas Subuh.
Dengan semangat 45 saya keluar dari dari kompleks GKN III, Jl. Urip Sumoharjo No.4, Pampang, Kec. Makassar, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90232. Sepeda saya kayuh kencang dengan tujuan melongok sejenak masjid Al Markaz yang dibangun idola saya, Jenderal M Yusuf, mantan panglima TNI yang terkenal dengan kejujuran dan kesederhanaannya.
Setelah dari Al Markaz saya tergoda untuk menyambangi pelabuhan perikanan yang juga satu area dengan pelabuhan Nusantara Paotere. Di sana dengan suka cita saya melihat aktivitas para nelayan menurunkan hasil tangkapannya di pelelangan.
Ada banyak sekali jenis ikan mulai dari Juku Eja, Papakulu, Katombo, Sunu, Baronang, Garonggong, Cakalang, Baga-Baga, Katamba, Kaneke, Lacukang, Rapo-Rapo, Sala Mata, Tembang Jawa, sampai Tuna- Tuna raksasa yang beratnya mungkin lebih dari 1 kuintal, didaratkan dan akan dilelang di sana.
Ternyata kitapun dapat membeli satuan, hal itu membuat saya tergiur untuk membeli seekor ikan Lemadang ukuran sedang, ikan ini punya nama unik di berbagai daerah, di barat Indonesia ikan ini dikenal sebagai Lemadang. Di Hawaii dikenal sebagai Mahi Mahi atau Dorado. Nama latinnya dalam taksonomi adalah Coryphaena hippurus.
Bentuk tubuhnya amat indah, ramping dengan bentuk kepala jenong. Kulitnya saat hidup berwarna gradasi dari hijau ke kuning keemasan. Cantik sekali. Ikan ini termasuk ikan pelagis yang mampu berenang dengan sangat cepat. Dagingnya pun sangat lezat. Walhasil seekor Lemadang dengan berat sekitar 1,5 kg pun saya tawar dan setelah dibayar, bergegas saya bawa ke warung terdekat.
Di Paotere terdapat beberapa warung yang menerima memasak ikan. Rata-rata dibakar ala Makassar; bakar polos atau dengan bumbu Parepe. Ada pula yang menawarkan bakar Rica. Tapi yang sama, di semua warung sudah tersedia sambal racca dengan potongan tomat, sambal petis, dan sambal kemangi. Ada juga yang menyediakan sambal dabu-dabu.
Tak lama Lemadang bakar saya pun terhidang, sebakul nasi panas disiapkan dan para sambal dibariskan di meja dekat pinggan ikan. Nikmat sekali rasanya, daging ikan bakar segar terasa manis dan gurih. Kelezatan alamiah daging ikan yang kaya akan sensasi umami membuat saya terlena.
Menurut saya Lemadang adalah salah satu ikan dengan citarasa dan tekstur daging yang sangat lezat, kalau soal lembut dan gurih saya suka ikan Kudu Kudu yang biasa digoreng tepung di rumah makan Dinar, juga di Makassar.
Perbincangan hangat di warung bakaran setelah ikan bakar licin tandas, membawa perkenalan dengan seorang nelayan lokal yang menawari saya pelayaran ke gosong pasir Kodingareng Keke, setelah tahu saya suka sekali snorkeling dan berenang. Akhirnya kami bersepakat, nanti sore seusai saya mengajar di BDK Makassar, kita berangkat ke pulau pasir nan indah itu.
Pukul 4 tepat saya dijemput di dermaga dekat benteng Rotterdam di tepi jalan Pasar Ikan. Perjalanan dengan perahu cadik bermotor membawa saya melewati perairan pulau Lae Lae dan terus ke arah pulau Samalona, setelah Samalona terlewati, perahu kami melaju lurus ke cakrawala. Saya tak melihat adanya pulau di garis horizon sana.
Tapi tak lama tampak sebuah gusung pasir menyembul, pulau kecil minim vegetasi tiba-tiba seolah nongol dari dasar samudera. Dan benar, pulau gusung pasir ini indah sekali. Terumbu karangnya sangat cantik, biodiversitas biota laut di sanapun sangat luar biasa. Saya bahkan bersua dengan seekor belut laut raksasa dari spesies Gymnothorax sp, saat snorkeling. Ia tak takut sama sekali, bahkan mendekat dan menghampiri. Walhasil saya yang terbirit-birit renang menepi.
Di perairan Kodingareng Keke ini saya juga sempat menjumpai aneka nudibranch berwarna warni yang cantik sekali. Warna biru metaliknya membuat kehadirannya begitu mempesona, bagaikan seorang model kelas dunia tengah berlenggang lenggok di catwalk Paris Fashion Week.
Karena keasyikan menikmati sajian pesona bawah air itu, sayapun menghabiskan waktu sampai senja mulai berganti gelap malam. Terlebih keindahan panorama sunset di pantai pasir putih yang amat eksotis itu, membuat saya semakin betah berlama-lama dan enggan beranjak dari sana.
Pak Nelayan mengingatkan tentang kemungkinan adanya perubahan dinamika gelombang laut jika kami terlambat pulang. Maka saya pun bergegas berbenah dan perahu kami kembali meluncur ke arah Makassar. Drama dimulai di sini.
Karena kemalaman, kami berhadapan dengan hadangan gelombang-gelombang tinggi dan hujan badai berpetir yang di tengah laut tampaknya memiliki sensasi jauh lebih dahsyat dibanding jika dirasakan di darat. Perahu kecil kami terombang-ambing ke kanan dan kiri. Keadaan di sekitar kami gelap gulita dan tak lama hujanpun segera turun dengan teramat lebatnya. Seolah langit di atas kami “bocor” dan menumpahkan segenap cadangan air yang terkandung di dalamnya.
Tapi Pak Nelayan memang pelaut handal dan navigator yang canggih pula, tanpa berbekal GPS maupun peta ia berhasil menemukan dermaga tempat kami berangkat dengan teramat mudahnya. Alhamdulillah.
Tapi saya segera maklum ketika berpikir dan merenung di toko kopi Ujung~ Somba Opu yang terletak tak jauh dari dermaga; bukankah suku bangsa Bugis, Gowa Tallo, dan Bone dari Sulawesi Selatan adalah pelaut-pelaut ulung yang telah dikenal sebagai petualang bahari global sejak jaman dahulu kala ?
Secangkir cappucino juara dunia di toko kopi Ujung membawa pikiran saya berkelana dan merefresh kembali berbagai memori dari bahan bacaan soal sejarah pelayaran dan navigasi dunia, yang entah mengapa selalu saja mengantarkan saya pada rasa penasaran tentang hasrat manusia untuk terus berlayar dan berkelana, bertualang dan mengembara.
Sejak manusia mengenal lautan sebagai jalur perlintasan dan sumber penghidupan, keterampilan navigasi menjadi syarat mutlak untuk menjelajah serta berdagang lintas wilayah. Mulai dari era prasejarah, ketika orang-orang Austronesia mulai mengarungi lautan luas, hingga era modern saat GPS (Global Positioning System) memudahkan kita menentukan posisi hanya dengan menatap gawai, perjalanan sejarah navigasi memuat kisah luar biasa tentang pengetahuan, ketangguhan, dan hasrat untuk memahami dunia.
Ada satu tokoh dari bahan bacaan masa kecil saya ketika ikut ayah studi di negeri Belanda, kartografer Muslim bernama Muhammad Al Idrisi. Beliau adalah tokoh paling masyhur di antara para kartografer Muslim abad pertengahan. Muhammad Al-Idrisi berasal dari Andalusia, dan dijuluki Bapak Peta Global. Pada tahun 1154, ia menyusun peta dunia yang sering disebut sebagai Tabula Rogeriana, yang menggabungkan data geografi dari berbagai sumber. Peta tersebut memuat deskripsi benua, lautan, kota-kota penting, dan jalur perdagangan, sekaligus menunjukkan tingkat ketepatan yang mencengangkan untuk ukuran zamannya.
Lalu ada Piri Reis, seorang pelaut hamdal sekaligus kartografer Kesultanan Utsmaniyah. Ia menggambar peta dunia yang terbilang komprehensif, mengacu pada peta Arab-India, peta Portugis, dan bahkan peta peninggalan Columbus. Peta-peta ini termuat dalam Kitab-ı Bahriye, yang memuat informasi rute laut, pelabuhan, serta teknologi pembuatan kapal di wilayah Mediterania hingga Samudra Hindia.
Navigasi di kawasan Indo-Pasifik dimulai dengan migrasi bangsa Austronesia dari Taiwan, sekitar 3000–1000 SM, yang menyebar ke Kepulauan Asia Tenggara dan Melanesia. Bangsa ini tercatat mengkolonisasi Mikronesia (sekitar 1500 SM), Tonga dan Samoa (sekitar 900 SM), lalu menjejak Hawaii, Selandia Baru, hingga Pulau Paskah. Keahlian melintasi samudra mereka terwujud berkat kemampuan navigasi bintang dan pengamatan burung lautnya. Mereka juga mampu memanfaatkan pola gelombang untuk mendeteksi keberadaan pulau atau daratan, hebat sekali bukan?
Selain itu para pelaut austronesia di jaman terdahulu mengembangkan sistem pengetahuan lisan melalui lagu, cerita mitos, dan peta bintang untuk mengingat rute. Orang Austronesia di Asia Tenggara juga memulai jaringan perdagangan maritim pertama sekitar 1000 SM, menghubungkan Tiongkok, India Selatan, Timur Tengah, dan pesisir Afrika timur. Data menunjukkan bahwa pemukim dari Kalimantan mencapai Madagaskar pada awal milenium pertama Masehi dan mengokupansinya pada tahun 500 M.
Sistem navigasi awal di era Yunani purba yang bermukim di laut Mediterania adalah dengan mengandalkan pendekatan visual. Pelaut di Mediterania mencari arah dengan tetap berlayar dekat daratan dan berusaha memahami pola pergerakan angin.
Bangsa Minoa di Kreta termasuk yang cukup awal dalam mengembangkan navigasi langit (dibuktikan dengan arsitektur istana dan tempat suci mereka dibangun selaras dengan posisi Matahari dan bintang tertentu). Mereka berlayar hingga pulau Thera dan Mesir; perjalanan ini memakan waktu lebih dari satu hari dan mencakup pelayaran malam.
Odyssey karya Homer mencatat anjuran Calypso pada Odysseus untuk mengarahkan Beruang (Ursa Major) di sisi kiri sambil mengamati Pleiades, Boötes, dan Orion. Bangsa Yunani juga mencatat perubahan posisi bintang (akibat presesi Bumi) dan mulai menggunakan Ursa Minor sebagai petunjuk pada abad ke-3 SM.
Pytheas dari Massalia yang melakukan pelayaran pada abad ke-4 SM adalah seorang astronom, geografer, dan petualang yang menjelajah dari Yunani melalui Selat Gibraltar ke Eropa Barat dan Kepulauan Inggris. Ia pula yang pertama kali menggambarkan fenomena Matahari Tengah Malam, es kutub, suku-suku Jermanik, mungkin juga artefak Stonehenge, serta konsep “Thule” di wilayah-wilayah utara mulai dari kepulauan Britania Raya sampai Skandinavia yang berbatasan dengan wilayah Arktik.
Penjelajah Samudera lainnya yang telah tercatat pada masa itu adalah pelayaran Nearchos (India ke Susa) yang dicatat Arrian, Indica. Juga pelayaran Eudoxus dari Cyzicus menjelajahi Laut Arab untuk Ptolemeus VIII dan mengetahui penggunaan angin muson di Samudra Hindia pada 118/116 SM.
Selanjutnya bukti dari kemajuan proses navigasi dan perhitungan astronomi bangsa Yunani dikonfirmasi dari penemuan Mekanisme Antikythera (abad ke-1 SM) yang ditemukan para arkeolog modern pada tahun 1900.
Pada periode berikutnya Bangsa Fenisia dan Kartago mahir berlayar semakin jauh dari pantai untuk mempersingkat rute. Mereka menggunakan pemberat pengukur kedalaman (terbuat dari batu/timah dengan lemak di bagian dalam) untuk menilai jarak dari daratan dan mengambil sedimen dasar laut.
Hanno sang Navigator (Kartago) berlayar melalui Selat Gibraltar sekitar 500 SM, dan diperkirakan dapat mencapai Senegal, bahkan mungkin mencapai Kamerun/Guinea.
Mari kita sedikit bergeser ke selatan, tepatnya ke lautan di wilayah Asia. Di Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia, angin muson yang stabil terbukti dapat membantu penentuan arah pelayaran. Dalan sebuah buku bertarikh tahun 260 M yang ditulis oleh K’ang T’ai, menyebutkan adanya kapal tujuh layar (po) yang digunakan pedagang Indo-Scythian (Yuezhi) untuk mengangkut kuda, dan perdagangan antar pulau yang memakan waktu sekitar satu bulan lebih.
Di sekitar tahun 1000 SM, pelaut Austronesia Nusantara mengembangkan layar tanja dan layar jung, yang memungkinkan pelayaran melawan angin hingga ke pantai barat Afrika.
Sekitar 200 M, dinasti Han di Tiongkok mengembangkan chuan (kapal jung). Sementara antara tahun 50–500 M, armada dagang Melayu dan Jawa telah mampu mencapai Madagaskar di pantai timur Afrika. Mereka membawa pula orang-orang Dayak Ma’anyan sebagai awak dan penumpangnya. Maka tak heran jika secara linguistik, bahasa Malagasi dinyatakan para ahli berasal dari rumpun Barito Tenggara, karena banyaknya kata serapan dari Melayu dan Jawa.
Pada abad ke-8 atau ke-9 M, kapal-kapal kuno Indonesia mungkin telah mencapai pesisir Ghana dengan kapal Borobudur (disebut juga K’un-lun po atau jong).
Selanjutnya pada abad pertengahan, peradaban Islam memainkan peran penting lewat perdagangan dan jaringan pelayaran di Mediterania, Laut Merah, Teluk Persia, hingga Laut Arab. Ilmu geografi dan navigasi Islam memanfaatkan kompas magnetik, kamal, serta kuadran untuk mengukur ketinggian bintang. Rute maritim menjadi lebih berani, tak hanya mengandalkan pelayaran di dekat garis pantai.
Di Eropa Utara, Bangsa Viking menemukan sunstone untuk menentukan posisi Matahari. Kompaspun mulai dipakai secara lebih luas di Eropa sekitar tahun 1300, dan peta-peta portolan muncul di Italia akhir abad ke-13. Salah satu capaian puncaknya adalah Peta Fra Mauro (1457–1459), yang kerap disebut monumen kartografi terbesar abad pertengahan.
Memasuki ke abad ke-15, pusat inovasi pelayaran bergeser ke Portugal. Ekspedisi Henry sang Navigator berhasil memetakan rute ke Madeira (1418), Azores (1427), lalu Tanjung Verde (1447). Pencapaian terbesarnya adalah pemahaman mendalam soal angin dan arus di Atlantik yang akhirnya membuka jalur ke Hindia dan Pasifik Barat.
Para navigator Portugal tak berjalan sendirian. Mereka didukung tim ahli kosmografi, matematikawan, hingga penulis manual navigasi. Duarte Pacheco Pereira mencatat banyak hal dalam Esmeraldo de Situ Orbis(1505–1508), dari kedalaman laut, pasang surut, hingga kebiasaan penduduk setempat. Sedangkan Pedro Nunes (1502–1578) menentukan kurva loxodromik yang kelak menjadi dasar proyeksi Mercator.
Spanyol juga bergerak giras nan dinamis. Christopher Columbus (1492) membuka jalan ke benua Amerika, meski sebenarnya itu adalah bagian dari ketersesatan navigasi, disusul Ferdinand Magellan (kelahiran Sabrosa Portugal) dan Juan Sebastián Elcano (1521) yang menuntaskan pelayaran keliling dunia pertama. Hubungan dagang pun berkembang pesat, membawa pengetahuan navigasi kian matang.
Perkembangan navigasi tak lepas dari kemajuan instrumen. Astrolab dipermak ke versi pelaut, mengukur lintang dengan melihat bintang. “Chip log” muncul untuk menaksir kecepatan kapal. Lalu hadir backstaff alias kuadran Davis sebelum akhirnya John Bird menemukan sekstan pada 1757, instrumen yang sanggup membantu navigator menentukan garis bujur via jarak bulan (lunar distance) atau dibantu kronometer yang akurat.
Memasuki akhir abad ke-19, sinyal radio mereformasi cara para navigator berkomunikasi. Pada 1899, kapal RF Matthews telah dapat memakai komunikasi nirkabel untuk memanggil pertolongan. Teknologi radar mulai dikenal di dekade 1930-an. Dan akhirnya, abad ke-20 menandai lahirnya sistem navigasi elektronik mutakhir: LORAN pada 1942 dan GPS (Global Positioning System) mulai diuji dengan peluncuran satelit Navstar pada tahun 1974. Seabad lebih setelah sekstan ditemukan, manusia kini dapat “melihat” posisinya di bumi hanya dengan menatap layar digital.
Hujan deras yang kembali mengguyur kota Makassar malam itu, membuat saya yang mampir ngopi di Ujung setelah berpisah dengan Pak Nelayan di dermaga tertahan di kehangatan ruang kedai kopi yang menyatu dengan toko oleh-oleh khas Makassar itu.
Setelah mulai menghirup cappucino kedua dengan biji kopi Enrekang yang disangrai medium, pikiran saya melayang ke tokoh-tokoh bahari Nusantara, khususnya para cendekiawan laut dari Sulawesi. Lebih khusus lagi pada tokoh idola saya yang satu ini: Karaeng Pattingalloang.
Siapa sangka kalau semangat mempelajari ilmu pengetahuan, yang pernah bersemi nun jauh di Andalusia atau Samarkand sana, suatu saat turut berpijar di jazirah Sulawesi ? Di Kerajaan Gowa–Tallo, kita mengenal sosok Sultan Mahmud, Karaeng Pattingalloang III. Ia memerintah di Tallo antara tahun 1641 hingga 15 September 1654. Tertulis dalam berbagai catatan sejarah , Karaeng Pattingalloang memikat banyak orang Eropa karena rasa ingin tahunya yang begitu besar pada ilmu pengetahuan Barat.
Lahir dari pasangan I Wara’ Karaeng Lempangang dan Karaeng Maotaya (alias Sultan Abdullah Awalul Islam, raja Islam pertama di Tallo), Karaeng Pattingalloang tumbuh dengan atmosfer intelektual yang kental. Ayahnya sendiri dikenal punya minat mendalam terhadap berbagai cabang ilmu. Tak heran bila sang anak, yang juga dikenal sebagai Bapak Kebangkitan pada masanya, kemudian merangkap sebagai Perdana Menteri sekaligus penasihat utama Sultan Malikussaid (1639–1653).
Dalam catatan sejarah, Karaeng Pattingalloang dikisahkan mampu berbicara tiga bahasa asing sekaligus; Spanyol, Latin, dan Portugis. 3 bahasa yang sangat penting dan memiliki makna strategis kala itu. Tak hanya bahasa, ia pun mengoleksi buku-buku, atlas Eropa, dan bola dunia di perpustakaan pribadinya. Bahkan ia pernah memesan teleskop Galileo Galilei, yang baru tiba tujuh tahun kemudian.
Minatnya tak hanya pada soal ilmu eksakta; ia pun mencintai ilmu hayati, khususnya taksonomi atau biosistematika. Untuk itu ia menghimpun berbagai satwa eksotis, mulai dari badak, kuda nil, jerapah, unta, kuda, beragam antilope, zebra, hingga anoa.
Sosok Karaeng Pattingalloang mengingatkan kita semua akan kehandalan para cendekiawan bahari Nusantara di setiap jaman. Pelaut-pelaut Bugis telah dikenal sebagai pencari teripang di pantai utara Australia, menjelajahi pesisir timur Afrika, dan bahkan menurut guru saya yang juga mantan seorang perwira samudra, Bapak Suradi, ada kemungkinan pelaut Bugis telah mencapai daratan Amerika, jauh sebelum kedatangan Christoper Columbus.
Maka saatnya kini bagi kita untuk semaksimal mungkin belajar dan memanfaatkan kemajuan teknologi canggih seperti AI, koneksi internet berkecepatan tinggi, dan berbagai teknologi manufaktur serta bioteknologi; untuk mengoptimasi pengelolaan potensi bahari yang telah dikaruniakan kepada negeri ini 

