Dari Hutan ke Kebun Raya
Libur hari besar keagamaan Isra Mi’raj yang jatuh berhampiran dengan peringatan hari raya Imlek atau tahun baru Cina, serta bersambung pula dengan akhir pekan, membuat hari-hari ini menjadi masa libur nasional yang teramat meriah.
Warga masyarakat tumplek blek ke daerah-daerah wisata yang menyediakan berbagai atraksi dan hiburan yang dapat dinikmati bersama keluarga. Konsekuensinya tentu ada, jalanan macet parah dan berbagai objek wisata serta tempat-tempat makan legendaris atau tengah viral, dipadati oleh ribuan pengunjung yang berasal dari berbagai daerah.
Saya yang berdiam diri di rumah gunung yang mendadak terkepung para wisatawan yang ingin menikmati keindahan Bandung, jadi punya banyak waktu untuk membaca, menulis, dan bertualang ke hutan-hutan sekitar rumah dengan berjalan kaki. Murah, Insya Allah sehat, dan bebas macet.
Entah memang sudah jadi panggilan alam atau profil genetik saya terkena pengaruh mekanisme epigenetik, hingga saya selalu senang dengan alam bebas. Sejak kecil mainnya du kawasan Taman Nasional, berkawan dengan banyak hewan, belajar mengenali berbagai jenis tumbuhan, dan memancing udang serta ikan saat rasa lapar datang menghadang. Petualang bak si Bolang, jauh sebelum si Bolang populer di stasiun TV nasional.
Lalu pada saat saya menemukan, eh ditemukan oleh tambatan hati, ndilalah gadis cantik alumni Tarki Jaksel yang kemudian saya peristri, ternyata orang utan juga. Dari Borneo tepatnya. Maka hutan hujan tropis di Sulawesi tempat saya bermain di masa kecil, kini bertemu dengan hutan hujan tropis Kalimantan, yang merupakan paru-parunya dunia.
Pas benar sedang melamun membayangkan hutan hujan tropis di kelewatan Taman nasional Dumoga, sambil berjalan di hutan Pinus yang berbatasan dengan kawasan tundra Tangkuban Parahu, saya mendapat WA. Dari Mas Agung salah satu tokoh komunikasi satelit Indonesia, yang juga pengurus lapang golf legendaris Rawamangun yang lahannya telah digunakan sejak 1872, lengkap dengan aneka vegetasinya.
Nah persoalan jenis pohon di lapang golf inilah yang membuat Mas Agung sampai harus woro-woro mencari kontak ahli pohon, mungkin maksudnya ahli taksonomi tumbuhan dari ranah biosistematika, yang dapat memberi informasi akurat, terkait jenis-jenis pohon tua yang telah dengan setia menjadi bagian dari keragaman lapangan golf yang sampai hari ini masih dicintai.
Jadi weh saya asyik masyuk plus ngantuk bersandar di batang pohon Pinus mercusii, sambil mengenang kembali pelajaran identifikasi vegetasi sambil berjalan-jalan riang di beberapa wilayah hutan tropis Indonesia.
Perjalanan menjelajahi hutan tropis Indonesia selalu menjadi pengalaman yang menakjubkan. Setiap langkah di bawah kanopi hijau lebat membawa kita menghunjam ke dalam misteri ekosistem yang telah berkembang selama jutaan tahun. Udara lembap, aroma tanah basah, petrichor, bau lumut, phytoncides, sampai suara cicit burung dan gemerisik dedaunan menciptakan simfoni alami yang tak tergantikan. Namun, amat perlu disyukuri, alih-alih hanya sekadar keindahan, hutan hujan tropis sesungguhnya adalah laboratorium hidup yang menyimpan begitu banyak rahasia kehidupan dan keseimbangan ekologi dunia.
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terletak di khatulistiwa, memiliki lebih dari 120 juta hektare hutan, yang menjadikannya sebagai salah satu negara dengan tutupan hutan tropis terbesar di dunia. Namun, luasnya yang sedemikian masif, hanya merupakan sebagian kecil dari kekayaan ekosistem yang ada di dalamnya.
Hutan tropis di Indonesia bukan hanya rumah bagi ribuan spesies tumbuhan dan hewan, tetapi juga menjadi benteng terakhir bagi berbagai spesies endemik yang sulit untuk ditemukan di tempat lain di dunia. Serta tentu saja menjadi bagian signifikan dari sistem kesehatan lingkungan dan masyarakat, yang di gagas oleh para pemangku kebijakan.
Potensi keanekaragaman hayati yang ajaib di Indonesia, dapat membuat kita mendapatkan banyak kejutan dan pengetahuan baru di saat kita menjelajahi hutan-hutannya. Dalam kegelapan lebat hutan Sumatra misalnya, tersembunyi salah satu bunga terbesar dan paling misterius di dunia: Rafflesia arnoldii. Bunga ini, yang mekar tanpa batang, daun, atau akar, menampilkan keindahan unik dengan diameter mencapai 1 meter dan berat hingga 10 kilogram. Namun, aroma menyengatnya bukan tanpa alasan, bunga ini menarik serangga untuk membantu proses penyerbukan.
Dari Sumatra ke Kalimantan, masih sama-sama dalam keteduhan kanopi hutan hujan, terdapat Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata) yang hanya tumbuh di tanah Borneo saja. Anggrek dengan kelopak hijau kekuningan dan bintik-bintik hitamnya yang khas, anggrek ini menjadi lambang keanggunan flora Indonesia.
Di hutan-hutan pedalaman Sulawesi, ada banyak pohon Eboni (Diospyros celebica) berdiri kokoh dengan kayu hitamnya yang sangat bernilai. Sementara itu, di hutan hujan Kalimantan, pohon Ulin (Eusideroxylon zwageri) atau “Kayu Besi” terkenal karena kekerasan dan ketahanannya terhadap air laut, membuatnya menjadi bahan utama konstruksi rumah-rumah adat suku Dayak yang banyak menghuni ekosistem tepian daerah aliran sungai. .
Flora di hutan hujan tropis selalu penuh dengan kejutan dan pesona, karena mereka berkembang dalam berbagai bentuk yang kadang di luar dugaan. Tumbuhan Liana, misalnya, menggantung dan merambat di antara pepohonan besar, menciptakan jejaring alami yang menghubungkan lantai hutan dengan tajuk tinggi yang nyaris menyentuh awan, kabut Meratus setidaknya. Ada pula Meranti (Shorea spp.), pohon raksasa dengan tinggi dapat mencapai 60 meter, yang menjadi bagian dari kanopi hutan tropis yang kompleks.
Indonesia juga memiliki kekayaan diversitas anggrek hutan, dengan lebih dari 4.000 spesies yang tersebar di seluruh kepulauan. Dari 731 spesies di Jawa hingga 2.000 spesies di Kalimantan, keanekaragaman anggrek Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia.
Tak hanya flora, fauna di hutan hujan tropis Indonesia juga mencerminkan kekayaan biodiversitas yang luar biasa. Salah satu taman nasional yang menyimpan keunikan fauna adalah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, tempat bermain saya di masa kecil, yang berada di perbatasan Sulawesi Utara dan Gorontalo. Di sinilah burung Maleo (Macrocephalon maleo), burung endemik Sulawesi, bertelur dengan cara unik; mengubur telurnya di pasir panas atau tanah vulkanik untuk dierami oleh panas bumi. Telurnya luar biasa besar, rasio dengan tubuh induknya dapat mendekati perbandingan 1:1.
Di Kalimantan, hutan tropis menjadi habitat bagi Orangutan (Pongo pygmaeus) dan Bekantan (Nasalis larvatus) yang kini terancam akibat deforestasi. Dengan populasi yang terus menurun, maka Bekantan atau oleh masyarakat setempat biasa juga disebut dengan raseng, pika, bahara, bentangan, atau kahau, dimasukkan sebagai satwa dengan status terancam punah (endangered) dalam daftar merah IUCN. Demikian pula Orang Utan, maka
konservasi di Taman Nasional Tanjung Puting menjadi sangat penting bagi keberlangsungan eksistensi primata ini.
Di Nusa Tenggara Timur, Taman Nasional Komodo menjadi habitat bagi makhluk purba dari era Jura yang mungkin sejaman dengan dinosaurus, reptil yang menjadi ikon Indonesia ini dikenal sebagai Komodo (Varanus komodoensis). Di mana kadal raksasa ini hanya bisa ditemukan di beberapa pulau di Indonesia dan menjadi bukti nyata bagaimana seleksi alam bekerja selama ribuan tahun.
Sementara di Papua, Taman Nasional Wasur adalah rumah bagi spesies langka seperti Kasuari, Burung Cendrawasih, dan Walabi. Keberagaman fauna yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lanskap ekologis yang sangat beragam, dari hutan hujan hingga sabana luas. Dan uniknya ada 2 karakteristik fauna di Indonesia, terkait dengan keberadaan garis imajiner yang tercipta sebagai hasil pengamatan terhadap sejarah geologis yang telah berlangsung jutaan tahun yang lalu.
Indonesia memiliki posisi geografis yang unik di dunia ilmu kebumian. Dua garis imajiner, Wallace dan Weber, membelah kepulauan Nusantara berdasarkan perbedaan fauna. Garis Wallace, yang membentang antara Kalimantan dan Sulawesi, menandai batas antara ekosistem Asia dan Australasia. Sementara itu, Garis Weber, yang lebih ke timur, menunjukkan batas di mana pengaruh fauna Australasia menjadi lebih dominan.
Fenomena ini menjadikan Indonesia sebagai pusat penelitian biogeografi yang sangat unik dan menarik. Hewan-hewan di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan lebih mirip dengan yang ada di daratan Asia, seperti Harimau Sumatra dan Gajah Kalimantan, Elephas maximus borneensis. Di mana gajah Kalimantan ini merupakan sub-spesies dari gajah Asia (Elephas maximus).
. Sedangkan di Sulawesi, spesies mulai berbaur dengan karakteristik Australasia, seperti Anoa dan Babirusa, meski Walabi tidak ditemukan di sana.
Agar dapat memahami dan melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia, serta menyediakan wahana belajar dari kondisi nyata, berbagai kebun raya telah dibangun sebagai laboratorium hidup di Indonesia. Kebun Raya Bogor, yang berdiri sejak 1817, menjadi salah satu pusat penelitian botani terbesar di Asia. Dengan luas 87 hektare dan koleksi lebih dari 15.000 spesies tanaman, kebun raya ini menjadi tempat utama bagi para ilmuwan dalam mempelajari dan melestarikan flora tropis.
Selain itu, Kebun Raya Cibodas, yang terletak di kaki Gunung Gede Pangrango, berperan dalam penelitian tanaman dataran tinggi, sedangkan Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur berfokus pada flora dataran rendah kering.
Kebon Raya Bogor adalah sebuah kebun botani terbesar dengan koleksi terbanyak yang terletak di Kota Bogor, Indonesia. Kebun ini dioperasikan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Di mana kebun ini terletak di pusat kota Bogor dan bersebelahan dengan kompleks istana kepresidenan Bogor.
Luasan lahannya mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan, sebagaimana yang telah disampaikan di atas. Letak geografis Bogor yang mengalami hujan hampir setiap hari bahkan di musim kemarau menjadikan kebun ini sebagai lokasi yang menguntungkan untuk budidaya tanaman tropis.
Didirikan pada tahun 1817 oleh pemerintah Hindia Belanda, Kebun Raya Bogor berkembang pesat di bawah kepemimpinan berbagai ahli botani terkenal termasuk Johannes Elias Teijsmann, Rudolph Herman Christiaan Carel Scheffer, dan Melchior Treub. Sejak didirikan, Kebun Raya Bogor berfungsi sebagai pusat penelitian utama pertanian dan hortikultura, dan merupakan kebun raya tertua di Asia Tenggara.
Saat ini Kebun Raya Bogor ramai dikunjungi sebagai tempat wisata, terutama hari Sabtu dan Minggu serta hari libur. Di sekitar Kebun Raya Bogor tersebar pula pusat-pusat keilmuan dan penelitian, yaitu Herbarium Bogoriense, Museum Zoologi Bogor, dan Pustaka, atau pusat perpustakaan dan literasi pertanian.
Kawasan yang kini menjadi Kebun Raya Bogor awalnya merupakan bagian dari samida (hutan buatan) yang didirikan di sekitar masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, 1474-1513), yang memerintah Kerajaan Sunda, sebagaimana tertulis dalam prasasti Batutulis. Hutan ini dibuat untuk melindungi bibit pohon langka. Hutan ini terbengkalai setelah kerajaan Sunda runtuh pada abad ke-16, hingga pada tahun 1744, perusahaan dagang Hindia Timur Belanda (VOC) mendirikan sebuah taman dan wastu di lokasi Kebun Raya yang berada di Buitenzorg alias Bogor.
Setelah Britania Raya menginvasi Jawa pada tahun 1811, Thomas Stamford Raffles diangkat sebagai Letnan-Gubernur pulau itu dan dia mengambil Istana Buitenzorg sebagai kediaman resminya. Raffles yang memiliki minat besar dalam botani, tertarik mengembangkan halaman Istana Bogor menjadi sebuah kebun yang cantik. Dengan bantuan para ahli botani, W. Kent, yang ikut membangun Kew Garden di London, Raffles menyulap halaman istana menjadi taman bergaya Inggris klasik. Inilah awal mula Kebun Raya Bogor hingga perkembangannya hingga saat ini.
Pada tahun 1814, Olivia Raffles (istri Thomas Stamford Raffles) meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Batavia. Sebagai pengabadian, monumen untuknya didirikan di Kebun Raya Bogor.
Sementara tak jauh dari Buitenzorg, tepatnya di punggung gunung Gede, sebuah kebun raya didirikan pada tanggal 11 April 1852 oleh Johannes Ellias Teijsmann. Beliau adalah seorang kurator Kebun Raya Bogor pada waktu itu. Kebun Raya itu dinamai dengan nama Bergtuin te Tjibodas (Kebun Pegunungan Cibodas).
Dimana pada awalnya kebun Raya Cibodas ini, dimaksudkan sebagai tempat aklimatisasi jenis-jenis tumbuhan asal luar negeri yang mempunyai nilai penting dan ekonomi yang tinggi, salah satunya adalah Pohon Kina (Cinchona calisaya).
Kebun raya ini kemudian berkembang menjadi bagian dari Kebun Raya Bogor dengan nama Cabang Balai Kebun Raya Cibodas. Mulai tahun 2003 status Kebun Raya Cibodas menjadi lebih mandiri sebagai Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas di bawah Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor dalam Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan BRIN.
Lokasi Kebun Raya Cibodas – BRIN) berada di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango pada ketinggian kurang lebih 1.300 – 1.425 meter di atas permukaan laut, dan dengan luas 84,99 hektar. Suhu/temperatur rata-rata 20,06°C, kelembaban 80,82 % dan rata-rata curah hujan 2.950 mm per tahun.
Kebun Raya Cibodas merupakan tempat yang nyaman untuk beristirahat sambil menikmati keindahan berbagai jenis tumbuhan yang berasal dari Indonesia dan negara-negara lain. Kebun Raya Cibodas berjarak ±100 KM dari Jakarta dan ± 80 KM dari Bandung.
Sementara Kebun Raya Purwodadi yang juga dikenal dengan nama Hortus Ilkim Kering Purwodadi, didirikan pada tanggal 30 Januari 1941 oleh Dr. L.G.M. Baas Becking. Kebun Raya Purwodadi merupakan kawasan konservasi ilmiah untuk tanaman dataran rendah kering dibawah BRIN (Badan Riset Invosai Nasional).
Saat ini terdapat 5 Kebun Raya dibawah BRIN, yaitu :
Kebun Raya Bogor, Kebun Raya Cibodas, Kebun Raya Bali, Kebun Raya Purwodadi,& Kebun Raya Plasmanutfah Cibinong.
Keberadaan kebun raya ini menjadi sangat penting dalam menghadapi ancaman perubahan iklim dan deforestasi, karena mereka berfungsi sebagai pusat konservasi ex-situ bagi spesies yang terancam punah.
Maka ada baiknya juga ya, kalau sebagian dsri kita saat memanfaatkan waktu libur bersama keluarga, menjajal alternatif eduwisata seperti mengunjungi taman nasional, kebun raya, ataupun geopark. Selain kita bisa mendapatkan sajian pemandangan yang cantik serta berkesempatan menjelajahi bentang alam yang unik, kitapun dapat belajar tentang berbagai hal; mulai dari keanekaragaman hayati khas negeri, sampai berbagai ilmu tentang geografi dan geologi. Asyik bukan ? 🙏🏾🙏🏾🩵