KALA
Satu lagi kitab Almanak telah ditamatkan. Berdasar konsensus terhadap perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari maka hari ini kita memasuki tahun yang baru. Meski bagi saya pribadi setiap detik pastilah baru, sebagaimana setiap detik yang telah berlalu adalah masa lalu. Semua masa lalu adalah cerita, dan semua masa depan adalah ramalan atau khayalan. Memori dan imajinasi yang tercipta berdasar persepsi saat ini.
Maka jika semesta ini dimampatkan dalam dunia mikro kosmos wayang, awalnya ditandai dengan penancapan gunungan oleh sang Dalang, disertai dengan ketukan cempurit dan mantra lirih yang diucapkan:
“Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas teka asih, asih saking kersane Allah,”
Deklarasi kepasrahan total pada kehendak yang menciptakan dan mengendalikan semesta, karena kesadaran sepenuhnya tentang konsep sementara yang takkan pernah manusia mampu mengendalikannya. Sementara sementara adalah persoalan waktu atau masa yang merupakan konsekuensi utama dari hadirnya ruang atau media lahirnya makhluk, termasuk manusia, dan bahkan galaksi, nebula, ataupun tata surya.
Maka bersepakatlah kita menggunakan satuan dan unit angka dan simbol wakti tertentu, agar waktu senantiasa dapat menjadi pengingat tentang limitasi atau keterbatasan ruang dan segenap isinya yang akan terus meluruh sebagai sebuah kepastian yang menjadi keniscayaan yang takkan terelakkan.
Peradaban manusia kemudian bersepakat mengidentifikasi wakti dalam tarikh dan sistem perhitungan yang dikenal sebagai kalender. Ada kalender Masehi yang disepakati menggunakan pendekatan revolusi bumi terhadap materi, dimana konsensusnya disepakati melalui aturan-aturan astronomi yang antara lain ditetapkan oleh Paus Gregorius XIII pada 1582.
Perhitungan kalender Masehi yang didasarkan pada perputaran bumi mengelilingi matahari ditemukan oleh para astronom Romawi. Dari perhitungan tersebut didapatkan angka 365,25 hari. Hal tersebut mengubah perhitungan terdahulu yang masih menggunakan penanggalan yang terdiri dari 10 bulan dan 304 hari. Perubahan terhadap perhitungan waktu dalam satuan hari mulai terjadi pada abad ke-8 SM, sampai akhirnya ditetapkan dalam kesepakatan di abad ke 16 sebagaimana yang telah sedikit diulas di atas.
Dengan kecerdasan akal budi dan kemampuan manusia, tanda-tanda alam dijangka dan dikira-kira, lalu lahirlah matematika dan fisika yang membuat perhitungan dapat lebih ajeg dan direplikasi oleh siapa saja yang memiliki kapasitas ilmu yang sama.
Hari dan bulan dengan mengamati pergerakan dan memperhitungkan posisi benda langit dengan akurat menghasilkan kesepakatan ilmiah terkait unit waktu yang ditandai karakteristik posisi benda langit. Lahirlah konsep bulan sinodik (synodic month); periode dari satu fase Bulan tertentu (misal Bulan Purnama) ke fase yang sama berikutnya, yang berlangsung sekitar 29,53 hari. Ada pula konsep bulan sideris (sidereal month) dengan waktu 27,32 hari, dihitung dari posisi bulan relatif terhadap bintang-bintang tetap.
Berdasarkan revolusi Bumi mengelilingi Matahari, manusia dapat menentukan tahun tropis (tropical year) yang terdiri dari 365,2422 hari, yaitu waktu dari satu titik balik matahari (misal ekuinoks musim semi) ke titik balik berikutnya. Lalu ada pula tahun sideris (sidereal year) setara dengan 365,2564 hari, yang dihitung dari pergerakan relatif terhadap bintang-bintang tetap.
> “Waktu adalah jiwa dari dunia ini.” Plato (beberapa interpretasi menyebutnya tersirat dalam dialog-dialog Plato meski bukan kutipan harfiah).
Dalam fisika modern, khususnya dalam pendekatan relativitas dan kosmologi, waktu memiliki konsepsi yang berbeda dari waktu harian yang kita rasakan. Hermann Minkowski (1908) memperkenalkan konsep ruang-waktu 4 dimensi, di mana waktu diperlakukan sebagai dimensi keempat yang terikat pada tiga dimensi ruang.
Mengacu kepada transformasi Lorentz, persamaan yangendasari relativitas khusus, menunjukkan bahwa pengukuran ruang dan waktu tergantung pada kerangka acuan yang bergerak.
t’ = γ ( t – (v·x / c²) )
x’ = γ ( x – v·t )
Hal ini berarti “kelenturan” waktu, dimana waktu dapat melebar jika suatu objek bergerak sangat cepat mendekati kecepatan cahaya, yang dikenal sebagai dilatasi waktu dengan rumus sebagai berikut:
γ = 1 / √(1 – (v² / c²))
Sementar teori relativitas umum Einstein menjelaskan bahwa gravitasi bukan sekadar “gaya,” melainkan efek kelengkungan ruang-waktu.
Hingga di dekat objek yang massanya sangat besar (misalnya lubang hitam), waktu “berjalan lebih lambat” dibandingkan di tempat dengan gravitasi lebih lemah. Ini dikenal sebagai gravitational time dilation.
Dalam persamaan Schrödinger, waktu biasanya masuk sebagai parameter eksternal (t), bukan operator. Hal ini menimbulkan berbagai interpretasi filosofis tentang “realitas” waktu di tingkat kuantum.
Sedangkan arah panah waktu makroskopik sering dikaitkan dengan prinsip entropi (Hukum Kedua Termodinamika). Sistem cenderung menuju keteracakan (entropi lebih tinggi). Di sinilah konsep “waktu maju” berasal, sebab entropi tidak akan “kembali” ke keadaan awal secara spontan.
Ketika teori fisika modern menyebutkan bahwa waktu relatif (seperti pada relativitas khusus), secara subjektif manusia tetap akan “merasa” berjalan di satu aliran waktu akibat kesadaran yang linear, walau pada kenyataannya, pengamat lain yang bergerak pada kecepatan ekstrem akan mengalami interval waktu berbeda.
Menarik untuk membayangkan bahwa jika seseorang bisa melakukan perjalanan mendekati kecepatan cahaya (atau berada di medan gravitasi besar), “jam fisik” akan berbeda dari jam di Bumi.
Namun usia biologis orang manusia yang diukur dari kerusakan sel, panjang telomer, hingga jejak epigenetik, dapat pula “berjalan” berbeda. Percobaan astronot kembar (Scott dan Mark Kelly, NASA) menunjukkan adanya perbedaan telomer ketika salah satu berada di luar angkasa.
Dari sudut filsafat eksistensial, waktu menjadi pangkal persoalan makna hidup. Martin Heidegger dalam Being and Time (1927) menekankan bahwa eksistensi manusia didefinisikan melalui keterbatasan waktu (menjelang kematian).
Kebijaksanaan kuno menekankan pentingnya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. “Tempus fugit, carpe diem” (waktu berlalu, raihlah hari) mempertegas pentingnya menghadapi kefanaan secara bijak.
> “Waktu adalah sungai yang mengalir tanpa henti, dan kita selalu berada di tepiannya.” – Terinspirasi dari pemikiran Heraklitus dan Marcus Aurelius.
Aristoteles (384–322 SM) pernah menyatakan bahwa “waktu adalah bilangan dari pergerakan, ditinjau dari sisi sebelum dan sesudah.”
(Aristoteles dalam Physics, Book IV). Dimana beliau menekankan aspek perubahan dan gerak sebagai kerangka untuk memahami waktu. Sementara Santo Agustinus (354–430 M) dalam Confessiones, menyatakan bahwa; “jika tidak ada yang bertanya kepadaku apa itu waktu, aku tahu. Namun jika seseorang bertanya dan aku mencoba menjelaskannya, tiba-tiba aku tidak tahu.”
(Agustinus, Confessiones XI, 14). Pernyataan ini menegaskan betapa sulitnya mendefinisikan waktu secara konseptual.
> “Manusia adalah satu-satunya makhluk yang berjuang untuk menjadi abadi, namun selalu menyadari kefanaan dirinya melalui kesadaran akan waktu.”
Waktu psikologis sering kali tidak sejalan dengan waktu objektif. Sebagai contoh, ketika berada dalam situasi bahagia atau sangat fokus (keadaan flow), durasi terasa lebih singkat. Sebaliknya, dalam situasi menegangkan atau menunggu, waktu terasa melambat (Zakay & Block, 1997). Otak manusia bersifat unik karena mampu membuat mental simulation atas peristiwa di masa depan. Hal ini berkaitan dengan rasa cemas, harapan, dan perencanaan jangka panjang.
Dari sudut pandang neurosains, otak tidak hanya memiliki jam biologis (pengaturan ritme sirkadian), tetapi juga mekanisme kognitif yang membuat manusia mampu “merasakan” durasi, mengantisipasi masa depan, dan mengingat masa lalu.
Struktur otak yang terkait dengan pembentukan persepsi waktu, antara lain adalah korteks prefrontal dan basal ganglia/ganglia basalis (striatum). Dimana keduanya berperan dalam estimasi interval waktu jangka pendek. Sedangkan hipokampus dan korteks asosiatif membantu membentuk persepsi memori terhadap masa lalu, sehingga konsep “lalu, kini, dan akan datang” dapat disusun.
Tapi jangan salah, meski konsep waktu adalah bagian dari prasyarat atau konsekuensi kehadiran ruang beserta semua gaya yang bekerja di dalamnya (grand unified theory), tetapi ternyata proses penciptaan semesta yang kompleks ini terbukti terintegrasi dengan sempurna. Secara biologis konsep waktu ternyata maujud dalam pranala di tingkat sel yang mengatur siklus hidup dan limitasi pembelahan yang merupakan indikator objektif dari sifat “terbatas” nya kapasitas fungsional makhluk, termasuk sel hayati tentu saja.
Istilah “jam biologis” pada makhluk yang bernama manusia, kerap merujuk pada ritme sirkadian, yaitu mekanisme pengaturan waktu internal makhluk hidup yang umumnya mengikuti siklus 24 jam. Khusus pada manusia, pengendali utama ritme sirkadian adalah nukleus suprakiasmatik (suprachiasmatic nucleus, SCN) di hipotalamus. SCN menerima sinyal cahaya dari retina dan mengatur sekresi hormon melatonin di kelenjar pineal, sehingga mempengaruhi siklus tidur-bangun, suhu tubuh, serta ritme hormonal.
Terdapat pula gen-gen “jam” (seperti CLOCK, BMAL1, PER, CRY) yang saling berinteraksi dalam mekanisme umpan balik (feedback loop) untuk menentukan periodisitas 24 jam. Gangguan ritme sirkadian, misal akibat shift kerja malam, jet lag, atau pola tidur berantakan, telah terbukti terkait dengan berbagai masalah kesehatan seperti obesitas, gangguan mood, dan penyakit kardiovaskular (Panda et al., 2002). Dimana aktivitas keseharian tersebut terkait dengan konsep epigenetik yang dapat mempengaruhi kinerja gen terkait.
Lalu siapakah pengatur j biologis di tingkat sel pada makhluk hayati, termasuk manusia? Namanya adalah telomer. Di mana telomer adalah sekuens DNA berulang (repetitif~TTAGG) yang terletak di ujung kromosom eukariot. Setiap kali sel membelah, sebagian kecil telomer akan terpotong, sehingga panjang telomer perlahan menurun.
Ketika telomer mencapai panjang kritis, sel akan memasuki fase penuaan (senescence) dan berhenti membelah. Hal ini terkait dengan batas/fenomena Hayflick, yakni batas jumlah pembelahan sel normal (Hayflick & Moorhead, 1961).
Beberapa sel (seperti sel germinal, sel punca, dan sebagian besar sel kanker) memiliki enzim telomerase yang dapat memperpanjang telomer. Dengan demikian, sel-sel tersebut berpotensi membelah lebih banyak tanpa cepat menua. Karena perannya dalam menandai jumlah pembelahan sel, panjang telomer kerap dianggap sebagai biomarker usia biologis. Panjang telomer yang lebih pendek sering dikaitkan dengan penuaan dan risiko penyakit kronis (Blackburn et al., 2015).
Kita di hadapan waktu itu seperti Dewa Kumara, anak Betara Guru yang dibuat selalu kecil agar tak dimangsa Betara Kala, sang dewa waktu. Raksasa buruk rupa yang nggegerisi atau sangat menakutkan bagi para sukerta alias manusia yang sewaktu-waktu dapat dimangsanya di hari tumpek wayang.
Dimangsa waktu yang secara filsafat mitologi digambarkan sebagai persamuhan antara berahi dengan ketergesaan, sehingga lahirlah waktu yang akan memangsa segenap kebahagiaan dalam konsep kesementaraan. Kita para sukerta ini hanya bisa meruwat diri dengan lakon Murwakala yang dapat menjadi pengingat, bahwa momentum dan kairos adalah suatu ruang tanpa waktu yang dapat kita raih saat kita pandai mensyukuri kebahagiaan secara proporsional, serta terbebas dari syahwat yang dapat membuat banyak fragmen waktu yang indah hanya semata numpang lewat.
Maka hidup ini bisa meluruh sebagaimana karbon (C) yang rindu bersamuh dengan kasunyatan dengan taat pada fitrah waktu paruh, atau juga sel yang menua dan percaya karena ada telomer yang senantiasa mengingatkannya, juga mungkin seperti ruang yang pasca ekspansi maksimal hanya akan menyisakan garis tipis 2 dimensi yang tak ditempati waktu lagi.
Terkait waktu, pilihannya tinggal menjalani dan mensyukuri, atau mensyukuri dan menjalani bukan ?
Berikut beberapa bacaan yang dapat menjadi pengisi waktu liburan, sesuai dengan tulisan di atas ;
1. Meeus, J. (1998). Astronomical Algorithms (2nd ed.). Willmann-Bell Inc.
Buku rujukan yang membahas berbagai metode perhitungan astronomi, termasuk posisi Matahari dan Bulan, yang menjadi dasar penentuan kalender.
2. Seidelmann, P. K. (Ed.). (2006). Explanatory Supplement to the Astronomical Almanac (2nd ed.). University Science Books.
Referensi komprehensif yang menjelaskan data astronomis resmi, perhitungan waktu, serta kalender-kalender yang dipakai di berbagai negara.
3. U.S. Naval Observatory. (n.d.). Astronomical Applications Department.
https://aa.usno.navy.mil/
Sumber daring untuk tabel astronomi, jadwal gerhana, serta informasi waktu universal (UTC). Menyediakan data yang akurat tentang fenomena Matahari dan Bulan.
4. Espenak, F. (2019). NASA Eclipse Web Site. NASA.
https://eclipse.gsfc.nasa.gov/
Sumber resmi NASA mengenai fase-fase Bulan, gerhana Matahari/Bulan, serta metode perhitungan terkait kalender berbasis gerhana dan fase Bulan.
5. Morrison, L. V., & Stephenson, F. R. (2004). Historical eclipses and Earth’s rotation. Contemporary Physics, 45(1), 45–58.
Artikel jurnal yang memaparkan kaitan pengamatan gerhana (eclipses) di masa lampau dengan perubahan rotasi Bumi, relevan dengan koreksi-koreksi kalender sepanjang sejarah.
6. International Earth Rotation and Reference Systems Service (IERS). (n.d.). IERS Bulletins.
https://www.iers.org/
Lembaga yang bertanggung jawab mengoordinasikan pengukuran rotasi Bumi, penentuan Universal Time (UT1), dan penambahan leap second, yang memengaruhi perhitungan kalender modern.