KOMDIGI, Literasi Digital, dan Konsumsi Energi
Menjelang libur Natal dan Tahun Baru ada beberapa hal yang baru dalam konteks pelayanan publik di Indonesia. Tentu hal ini sejalan juga dengan mulai bergeraknya roda pemerintahan baru di Indonesia, yang juga tentu mengusung program-program unggulan baru, sejalan dengan visi misi pemerintahan yang telah dirumuskan dan ditawarkan kepada rakyat selaku pemilih, di masa kontestasi.
Sektor transportasi publik tampak berbenah dengan penyediaan layanan inovatif seperti adanya kereta api Direct Train yang diharapkan dapat mengefisienkan waktu tempuh ke beberapa destinasi khusus dengan relasi yang punya potensi dapat mendorong peningkatan aktivitas masyarakat dan ekonomi. Layanan penerbangan dari berbagai maskapai bersama segenap pemangku kebijakan dan kepentingan juga tengah berbenah untuk dapat merumuskan besaran tarif yang paling ideal bagi semua pihak yang terlibat dalam proses terselenggaranya layanan jasa penerbangan.
Di sektor telekomunikasi dan komunikasi digitalpun sejalan. Ada semangat baru yang momentumnya diawali dari disahkannya logo baru kementerian Komunikasi Digital. Logo Kementerian Komunikasi Digital telah disahkan melalui Keputusan Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia Nomor 656 Tahun 2024 tentang logo Kementerian Komunikasi dan Digital yang ditetapkan pada tanggal 23 Desember 2024.
Semangat yang terkandung dalam logo baru itu menurut keterangan said pihak terkait adalah kolaborasi, yang tergambar dari proses adaptasi siluet anyaman pada visual logonya. Kolaborasi yang sekaligus juga bermakna dan mengakomodir inklusivitas. Sementara abstraksi huruf C dan D diharapkan dapat merepresentasikan communication dan digital, hingga Kementerian ini dapat berperan sentral sebagai penghubung dan perantara dalam penyampaian pesan, kepada pemangku kepentingan dan kebijakan, termasuk tentu saja masyarakat Indonesia pada umumnya.
Seiring dengan nomenklatur baru, visi dan misi serta tujuan yang telah mengadaptasi arah kebijakan pembangunan kabinet yang telah dicanangkan Presiden selalu mandataris kedaulatan rakyat, maka Komdigi pun telah dilengkapi dengan seperangkat organ birokrasi setingkat eselon I yang terdiri dari antara lain; Ditjen Infrastruktur Digital, Ditjen Teknologi Pemerintah Digital, Ditjen Ekosistem Digital, Ditjen Pengawasan Ruang Digital, dan Ditjen Komunikasi Publik dan Media, serta beberapa unit eselon I lainnya.
Sejalan dengan nomenklatur, plus kini logo dan struktur organisasi baru tersebut, ada pertanyaan yang dilontarkan oleh guru dan mentor saya, Prof Suhono Harso Supangkat dari ITB, terkait dengan istilah Komunikasi Digital. Apakah gerangan komunikasi yang satu ini definisinya, “wujud” nya, ataupun mungkin impact nya pada masyarakat dan sistem tata kelola yang menjadi bagian dari sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bernegara.
Setelah berselancar alias browsing ke sana kemari, termasuk berdiskusi dengan beberapa model generative AI, muncul definisi “kira-kira” yang mungkin belum mengakomodir definisi yang benar dan tepat ya. Terutama karena dalam nomenklatur Kementerian Komdigi, Komunikasi dan Digital itu dipisah oleh kata sambung “dan”, maka bisa jdi secara asumtif, setiap kata dapat saja memiliki arti mandiri, dan bukan sebuah idiom yang memiliki satu kesatuan arti. Tapi kita coba ikut mendefinisikan saja dari sudut pandang awam saja ya.
Model komunikasi yang memanfaatkan teknologi digital (seperti internet, media sosial, aplikasi pesan instan, dan berbagai platform daring lainnya) untuk berbagi informasi, ide, dan pesan. Seiring dengan perkembangan teknologi yang pesat, komunikasi digital berkembang menjadi disiplin ilmu tersendiri yang mencakup aspek teknis, sosial, budaya, bahkan politik.
Atau mungkin bisa juga dirumuskan sebagai berikut;
Proses pengiriman dan penerimaan pesan melalui media berbasis teknologi digital, yang memungkinkan interaksi simultan maupun asinkron, tanpa dibatasi ruang dan waktu. Berbeda dengan komunikasi tradisional yang mengandalkan media cetak atau tatap muka, komunikasi digital terjadi di ekosistem online atau berbasis elektronik (misalnya email, forum diskusi daring, media sosial, aplikasi perpesanan, dan sebagainya).
Beberapa poin kunci( prasyarat) dalam definisi komunikasi digital, yang bisa saya coba sintesis dari berbagai sumber antara lain adalah; berbasis teknologi digital seperti menggunakan perangkat dan infrastruktur jaringan (komputer, ponsel pintar, internet) untuk mengirimkan, menerima, atau memproses informasi.
Lalu skalabilitas dan jangkauannya global, mencakup audiens yang luas, tanpa batas geografis. Disertai dengan kecepatan dan interaktivitas, di mana informasi dapat dikirim dan direspons dengan cepat; memungkinkan bentuk interaksi yang lebih cair dan dinamis. Dengan format pesan yang beragam, dimana pesan dapat berupa teks, gambar, suara, video, atau gabungan berbagai format multimedia lainnya seperti AR, VR, dan MR.
Komunikasi digital melahirkan dan juga dilahirkan oleh media baru yang berbasis teknologi. Jadi ini mirip pertanyaan filosofis, mana yang lebih dulu hadir antara telur dan ayam ya. Dimana konsep new media yang dikenal saat ini merujuk pada media berbasis digital yang menekankan interaktivitas dan partisipasi pengguna (user-generated content). Henry Jenkins menyebutnya sebagai “konvergensi media”, di mana batas antara produsen konten dan konsumen menjadi kabur karena setiap individu dapat memproduksi dan mendistribusikan konten secara mudah.
Selain itu secara “gampang-gampangan” nya untuk mengenali ciri komunikasi Digital itu adalah dengan menilai kapasitas dan kemampuan interaktivitas nya. Berbeda dengan media massa tradisional yang bersifat satu arah (broadcast), media digital memungkinkan terjadinya arus informasi yang timbal balik. Pengguna bukan hanya penerima pasif, tetapi juga dapat menjadi pengirim pesan, pembuat konten, dan pengelola platform.
Dalam komunikasi digital, pesanpun selain interaktif, dapat disajikan dalam berbagai format (teks, audio, video, visual interaktif). Hal ini memberikan fleksibilitas dan daya tarik yang lebih besar, memungkinkan pesan tersampaikan lebih kaya konteks serta lebih menarik secara visual.
Selanjutnya komunikasi digital dapat memfasilitasi terbentuknya komunitas daring (virtual communities). Sebagaimana yang dikemukakan Manuel Castells, bahwa network society menjadi ciri khas era digital, di mana hubungan sosial dan ekonomi sangat dipengaruhi oleh jejaring teknologi informasi. Jejaring sosial (social networks) memungkinkan individu dari berbagai belahan dunia berinteraksi, saling berbagi informasi, hingga bekerja sama.
Ciri lain dari komunikasi digital dan berbagai platform di dalamnya adalah sangat bergantung pada data (big data) dan algoritma (machine learning) untuk mempersonalisasi konten, menayangkan iklan, serta mengarahkan pola interaksi pengguna. Kecenderungan ini memunculkan tantangan baru, seperti privasi data dan risiko filter bubble, di mana algoritma hanya menampilkan konten tertentu sesuai preferensi pengguna, berpotensi mengurangi eksposur terhadap sudut pandang lain.
Sedikit lebih mendalam, komunikasi digital mungkin sejalan dengan salah satu teori tua tentang media elektronik. Dimana Marshall McLuhan dalam bukunya Understanding Media: The Extensions of Man (1964) mengutarakan gagasan revolutif dalam salah satu diksinya; “the medium is the message”. Artinya, media teknologi (termasuk media digital) bukan sekadar saluran netral, tetapi juga membentuk cara manusia berpikir, berperilaku, dan berinteraksi. Meski McLuhan merujuk pada televisi dan media elektronik era 1960-an, ide dasarnya relevan bagi media digital modern yang mengubah lanskap komunikasi manusia secara drastis.
Sedangkan Henry Jenkins, seorang pakar studi media, menyoroti fenomena konvergensi media, proses di mana media lama dan media baru bergabung, serta user-generated content yang menjadi ciri komunikasi digital, kian menonjol. Dalam bukunya yang berjudul Convergence Culture (2006), Jenkins berpendapat bahwa komunitas digital kini berperan penting dalam pembentukan opini publik, budaya pop, dan bahkan gerakan sosial.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Manuel Castells dalam trilogi bukunya yang bertajuk The Information Age (1996-1998), ia menjelaskan bahwa masyarakat kontemporer telah bergeser menjadi network society. Jaringan komputer dan internet memampukan terciptanya ruang komunikasi baru yang melampaui batas fisik. Castells menekankan bahwa informasi dan pengetahuan menjadi sumber kekuatan utama dalam masyarakat digital.
Sementara pakar lain, Joseph B. Walther mengembangkan konsep Social Information Processing (SIP) dan Hyperpersonal Communication untuk menjelaskan bagaimana individu berinteraksi secara daring. Dalam komunikasi digital, meskipun terbatas pada teks atau avatar, pengguna dapat membentuk kesan (impression) dan hubungan yang erat lewat proses pengungkapan diri (self-disclosure) dan pertukaran pesan yang intens.
Agak jauh ke belakang, di awal tahun 90an, Howard Rheingold dalam bukunya The Virtual Community (1993), telah mengungkapkan bahwa komunitas daring terbentuk melalui interaksi simbolik, walaupun para anggotanya tidak selalu berjumpa secara fisik. Dalam konteks komunikasi digital, orang saling berbagi makna, bahasa, dan nilai-nilai tertentu, membentuk suatu budaya virtual yang bisa memperkuat identitas kelompok.
Tantangan dan tugas berat Kementerian Komdigi adalah mengantisipasi munculnya berbagai kebutuhan seiring dengan perkembangan dan pergeseran pola komunikasi dan teknologi digital yang kini tengah berlangsung dengan laju yang teramat pesat. Melihat nomenklatur yang diusung, saya pribadi punya optimisme yang tinggi terhadap Kementerian Komdigi, karena struktur organisasinya sudah sejalan dengan berbagai keniscayaan yang timbul seiring dengan perkembangan dan dinamika komunikasi digital hari ini dan di masa depan.
Dimana komunikasi digital ditengarai akan menghadirkan isu privasi yang kian kompleks. Pengguna berbagi data pribadi melalui platform digital, sementara perusahaan teknologi dan pihak ketiga bisa memanfaatkannya untuk berbagai tujuan, dari iklan yang dipersonalisasi hingga analisis perilaku.
Persoalan berikutnya adalah kemungkinan terciptanya disparitas dalam bentuk digital gap atau belum meratanya akses terhadap teknologi komunikasi Digital dan juga perbedaan tingkat literasinya. Tidak semua individu memiliki akses yang sama terhadap teknologi (internet, perangkat digital, kecepatan koneksi). Hal ini menimbulkan kesenjangan digital (digital divide) dan dapat memengaruhi kesetaraan kesempatan dalam memperoleh informasi dan pengetahuan. Demikian pula dalam hal pemanfaatan dan kemampuan menggunakan teknologi komunikasi digital untuk mengakses pengetahuan dan menggunakannya untuk meningkatkan kualitas kehidupan.
Di Indonesia sendiri, menurut data yang disarikan dari berbagai sumber, termasuk dari APJII, diketahui bahwa pengguna internet terus bertumbuh secara signifikan. Jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 221 juta orang pada tahun 2024, atau sekitar 79,5% dari total populasi. Jumlah ini meningkat secara berurutan, yaitu 64,8% pada tahun 2018, 73,7% pada tahun 2020, 77,01% pada tahun 2022, dan 78,19% pada tahun 2023.
Dari aspek demografi pengguna, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh laki-laki (50,7%) dan perempuan (49,1%), serta didominasi oleh Gen Z (kelahiran 1997-2012), yaitu sebanyak 34,40%. Sementara dari sebaran daerah pengguna, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh daerah urban (69,5%) dan daerah rural atau perdesaan (30,5%). Sedangkan propinsi dengan penetrasi pengguna internet tertinggi adalah Banten (89,10%), DKI Jakarta (86,96%), Jawa Barat (82,73%), Kepulauan Bangka Belitung (82,66%), Jawa Timur (81,26%), Bali (80,88%), Jambi (80,48%), dan Sumatra Barat (80,31%)
Keunggulan dan kecepatan peningkatan pengguna internet di Indonesia yang berkorelasi sebab akibat dengan ketersediaan infrastruktur serta sistem pendukung teknologi digital terkait yang menjamin terciptanya konektivitas yang mumpuni dan stabil, perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas pengguna yang dapat terukur dari tingkat literasi digital.
Literaai digital sendiri perdefinisi adalah kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, membuat, dan mengkomunikasikan konten atau informasi.
Pada tahun 2021, Indeks Literasi Digital Indonesia (ILDI) mencapai 3,49 dari skala 1-5. Lumayan bagus ya. Sedangkan pada tahun 2022, ILDI kita naik menjadi 3,54, dimana hal ini jika “benar”, menunjukkan bahwa tingkat literasi digital masyarakat Indonesia sudah berada pada kategori sedang.
ILDI sendiri diukur melalui 4 pilar indikator yang terdiri dari : digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture. Dari keempat pilar tersebut, hasil pengukuran di Indonesia menunjukkan adanya 3 pilar yang meningkat cukup signifikan, yaitu: digital skills, ethics, dan safety.
Digital skills atau indikator kecakapan digital meningkat dari 3,44 poin pada 2021 menjadi 3,52 poin pada 2022. Pilar ini mengukur kecakapan pengguna internet dalam menggunakan komputer atau gawai, mengunggah/mengunduh data, mengecek ulang informasi dari internet, dan sebagainya.
Kemudian digital ethics atau indikator etika digital juga meningkat dari tahun sebelumnya 3,53 poin menjadi 3,68 poin pada 2022. Pilar ini mengukur kepekaan pengguna internet dalam mengunggah konten tanpa izin, berkomentar kasar di media sosial, menghargai privasi di media sosial, dan sebagainya.
Kemudia digital safety atau indikator keamanan digital naik dari 3,10 poin menjadi 3,12. Pilar ini mengukur kemampuan pengguna internet dalam mengidentifikasi dan menghapus spam/malware/virus di komputer atau gawai pribadi, kebiasaan mencadangkan data, pelindungan data pribadi, dan sebagainya.
Sedangkan digital culture, atau indikator budaya digital mengalami penurunan skor, yaitu dari 3,9 poin menjadi 3,84 poin pada 2022. Pilar ini mengukur kebiasaan pengguna internet seperti mencantumkan nama penulis/pengunggah asli saat melakukan reposting dan sebagainya.
Indikator digital culture ini menjadi hal yang krusial dan perlu mendapat perhatian serta intervensi khusus, karena kita secara nyata telah memasuki era banjir informasi, hoaks dan misinformasi yang dapat tersebar dengan mudah di platform digital. Keterampilan literasi digital (digital literacy) dalam konteks kultur menjadi sangat penting untuk memverifikasi sumber, menilai kebenaran, dan menjaga etika berkomunikasi. Tak hanya itu saja, komunikasi digitalpun telah mengubah cara orang bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Terjadi adaptasi budaya dan transformasi nilai, di mana batas antara ruang publik dan privat semakin kabur.
Saya sendiri termasuk yang agak skeptis dalam menilai metoda penilaian literasi digital yang saat ini diterapkan. Karena menurut saya, literasi digital meliputi berbagai elemen dan faktor yang sangat kompleks, bahkan berkelindan erat dengan kondisi ekosistem, karakter antropologi dan demografi, serta tentu tingkat literasi pendidikan formal dll.
Tapi sebelum menilai dan memprasangkai terlampau jauh dalam balut pesimisme, ada baiknya kita pelajari terlebih dahulu berbagai indikator dan metoda penilaian literasi digital yang telah banyak diterapkan secara global ya. Sekurangnya ada 3 indeks utama yang banyak digunakan untuk menilai literasi digital dan kesiapan digital suatu negara, yakni ICT Development Index (IDI) oleh ITU, Digital Economy and Society Index (DESI) oleh Uni Eropa, dan Global Digital Readiness Index oleh Cisco.
IDI umumnya terdiri dari tiga sub-indeks utama:
1. Akses (Access)
– Prosentase rumah tangga yang memiliki komputer.
– Prosentase rumah tangga yang memiliki akses internet.
– Jumlah langganan telepon seluler per 100 penduduk.
– Jumlah langganan telepon tetap per 100 penduduk.
– Kecepatan dan penetrasi jaringan broadband.
2. Penggunaan (Use)
– Persentase penduduk yang menggunakan internet.
– Jumlah langganan broadband tetap per 100 penduduk.
– Jumlah langganan broadband seluler (mobile broadband) per 100 penduduk.
3. Keterampilan (Skills)
– Indikator yang diproksikan dengan angka pendaftaran pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.
– Tingkat melek huruf (literacy rate).
IDI kemudian memberikan bobot spesifik untuk setiap indikator, lalu dihitung menjadi indeks komposit. Nilai IDI setiap negara dikalkulasikan dengan metode penghitungan normalisasi (misalnya z-score) untuk menyamakan skala antar variabel.
Sedangkan Digital Economy and Society Index (DESI) dikembangkan oleh Komisi Eropa untuk memantau performa digital negara-negara Uni Eropa. DESI secara khusus ditujukan untuk mengevaluasi kemajuan dan tantangan transformasi digital pada tingkat regional (UE) serta memandu kebijakan digital.
DESI secara umum terbagi menjadi lima pilar (bergantung pada penyempurnaan tahunan, tapi secara garis besar sebagai berikut):
1. Connectivity
– Jaringan broadband tetap (kecepatan, penetrasi)
– Jaringan broadband seluler (4G/5G coverage)
– Harga layanan internet
2. Human Capital / Digital Skills
– Kemampuan dasar digital (basic digital skills)
– Kemampuan tingkat lanjut (advanced skills)
– Jumlah profesional TIK (ICT professionals)
3. Use of Internet Services
– Aktivitas daring umum (membaca berita, belanja daring, perbankan daring)
– Media sosial, streaming, dan layanan digital lainnya
4. Integration of Digital Technology
– Penggunaan TIK dalam sektor bisnis (cloud, big data, e-Commerce)
– Digitalisasi rantai nilai (digital intensity index)
5. Digital Public Services
– e-Government
– e-Health
– Layanan publik daring
Metodologi perhitungan DESI menerapkan bobot berbeda pada masing-masing pilar. Data yang digunakan bersumber dari survei tahunan, data Eurostat, dan data administratif dari negara-negara anggota.
Global Digital Readiness Index (GDRI) adalah inisiatif Cisco untuk menilai kesiapan negara-negara dalam menghadapi era digital. Orientasi utamanya adalah bagaimana ekosistem bisnis, pemerintahan, dan masyarakat bersinergi untuk mendukung transformasi digital.
Kemudian ada Global Digital Readiness Index (GDRI) yang merupakan inisiatif Cisco untuk menilai kesiapan negara-negara dalam menghadapi era digital. Orientasi utamanya adalah bagaimana ekosistem bisnis, pemerintahan, dan masyarakat bersinergi untuk mendukung transformasi digital.
GDRI biasanya menyusun penilaiannya ke dalam beberapa dimensi utama:
1. Technology Infrastructure
– Akses internet, cakupan jaringan, kualitas jaringan
– Ketersediaan perangkat digital
2. Human Capital
– Keterampilan digital dasar hingga mahir
– Ketersediaan talenta di bidang teknologi (ICT professionals, data scientists)
3. Business and Government Investment
– Investasi R&D dan inovasi teknologi
– Dukungan kebijakan pemerintah dan kerangka regulasi yang kondusif
4. Ease of Doing Business / Start-up Environment
– Budaya kewirausahaan digital
– Ekosistem pendanaan dan venture capital
Perhitungan GDRI menggunakan data internal Cisco, survei eksternal, serta statistik publik (e.g., World Bank, IMF, UNESCO). Metodologi melibatkan skoring tiap dimensi, lalu digabungkan secara komposit.
Lalu bagaimana kita bisa mengetahui kualitas dari mekanisme pengukuran indeks dengan 3 pendekatan tersebut, atau metoda yang telah diadaptasi di negara kita misalnya? Agar kita, baca; saya, pada khususnya, tidak terlalu skeptis dan dapat menerima indeks ini dengan lebih objektif dan realistis. Tampaknya kitapun perlu mengkaji metoda uji untuk mengukur sejauh mana akurasi dan validasi metoda pemeringkatan atau penilaian indeks ini bukan ? Untuk menganalisis keandalan dan validitas ketiga indeks di atas, pendekatan metodologi ilmiah yang dapat diterapkan antara lain adalah sebagai berikut:
1. Reliabilitas (Reliability)
– Memeriksa apakah indikator yang digunakan konsisten dari waktu ke waktu.
– Mengevaluasi prosedur pengumpulan data (misalnya sumber data, frekuensi pengukuran).
2. Validitas (Validity)
– Konstruksi Keabsahan/Validitas (Construct Validity): Apakah indikator yang diukur benar-benar merefleksikan “literasi digital” atau “kesiapan digital”?
– Validitas Eksternal (External Validity): Sejauh mana hasil indeks dapat digeneralisasikan ke konteks negara lain di luar sampel yang diukur (terutama DESI yang cenderung fokus pada UE).
3. Triangulasi Data
– Menggabungkan berbagai sumber data (survei, data administrasi, data korporasi) untuk mengurangi bias.
– Membandingkan skor dari indeks yang berbeda untuk melihat apakah terdapat keselarasan atau diskrepansi besar.
4. Analisis Regresi atau Korelasi Lintas Indeks
– Pengujian statistik apakah hasil dari IDI, DESI, dan GDRI saling berkorelasi atau menunjukkan perbedaan pola tertentu.
– Mengidentifikasi faktor ekonomi, sosial, dan politis yang paling berpengaruh dalam masing-masing indeks.
Terlepas dari itu, terutama literasi digital yang menurut saya bersama cyber security akan menjadi masalah besar di kemudian hari, masih ada pula isu lingkungan yang menyertai proses digitalisasi negeri. Jika semula kita berharap bahwa migrasi hampir setiap aspek peradaban ke dimensi digital seperti melalui program work from home atau work from anywhere, transaksi digital di marketplace, transaksi perbankan di mobile banking, e-learning, virtual office, sampai segenap urusan publik di aplikasi cerdas kota cerdas, akan mengurangi konsumsi energi, mobilitas yang menghasilkan tapak karbon dan emisi gas buang, maka ternyata digitalisasi, terutama dengan hadirnya teknologi akal imitasi atau AI, ternyata justru menyedot energi yang cukup tinggi, yang apabila salah kelola, alih-alih ramah lingkungan, yang ada justru meningkatkan nilai tapak karbon.
Izinkan saya mengutip suatu tulisan dan perhitungan yang sangat bagus dari Kompas.com.
Menurut laporan Towards Data Science, untuk melatih (training) model AI GPT-4 selama 90-100 hari, dibutuhkan listrik hingga sekitar 62.000 MWh. Ini setara dengan konsumsi energi dari 1.000 rumah tangga AS pada umumnya selama 5 hingga 6 tahun. Pada bulan Januari, konsumsi listri per bulan ChatGPT dilaporkan kira-kira sebanyak 26.000 rumah tangga AS untuk inferensi (proses input dan output).
Kecanggihan GPT-4 dimungkinkan karena model AI ini dilatih menggunakan sekitar 25.000 GPU Nvidia A100 selama 90-100 hari. Biayanya training model ini dilaporkan mencapai 100 juta dollar AS.
Misal, kita asumsikan GPU dipasang di server Nvidia HGX yang masing-masing dapat menampung 8 GPU. Berarti, GPT-4 membutuhkan 25.000/8 = 3.125 server. Salah satu cara untuk memperkirakan konsumsi listrik dari informasi ini adalah dengan mempertimbangkan daya desain termal (TDP) server Nvidia HGX.
Sementara model AI GPT-4 disebut membutuhkan diperlukan waktu 90–100 hari untuk melatih GPT-4. Itu berarti 90 x 24 jam= 2.160 jam per server atau 100 x 24 jam = 2.400 jam per server. Jika kita berasumsi server beroperasi dengan daya penuh secara konstan, kita dapat mengalikan jumlah jam dengan 6,5 KWh. Dari situ, kita memperoleh bahwa selama pelatihan, setiap server mungkin telah mengonsumsi listrik sebesar 14.040 KWh hingga 15.600 KWh. Karena butuh 3.125 server, maka 3.125 x 14.040 KWh = 43.875.000 KWh atau 3.125 x 15.600 = 48.750.000 KWh.
Jadi, jika mengalikan konsumsi listrik perangkat keras sebesar 43.875.000 hingga 48.750.000 KWh dengan 1,18, maka didapatkan hasil 51.772.500 KWh dan 57.525.000 KWh. Jadi, estimasi konsumsi listrik untuk melatih GPT-4 selama 90-100 hari adalah antara 51.772 MWh dan 57.525 MWh. Ini setara dengan konsumsi energi selama 5 hingga 6 tahun dari 1.000 rumah tangga AS pada umumnya.
Galuh Putri Riyanto, Yudha Pratomo (Kompas, 24 Agustus 2024)
Energi listrik dengan daya sebesar itu tentu dihasilkan dari berbagai sumber bukan? Jika sumber energi belum sepenuhnya disuplai oleh sumber energi terbarukan, maka yang dapat terjadi adalah peningkatan tapak karbon dari emisi gas buang, dalam hal ini dari pembangkit.
Perdefinisi, emisi gas buang adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar di dalam mesin. Emisi gas buang mengandung sejumlah unsur kimia, seperti: Air (H2O), Karbon monoksida (CO), Karbon dioksida (CO2), Nitrogen dioksida (NO2), Hidrokarbon (HC).
Pada tahun 2022, Indonesia menyumbang 1,3 gigaton ton emisi CO2 ke dunia.
Sebanyak 50,6 persen emisi CO2 tersebut berasal dari sektor energi, dan lebih dari 80 persennya berasal dari moda transportasi.
Standar emisi gas buang kendaraan bermotor di Indonesia adalah Euro 2.
Penerapan standar emisi Euro 4 untuk mobil berbahan bakar bensin dimulai pada 8 Oktober 2018, dan untuk mobil diesel pada 8 April 2021
Sementara data lain menyebutkan bahwa total konsumsi energi Indonesia pada tahun 2023 naik 3% dibandingkan tahun 2022.
Konsumsi listrik per kapita di Indonesia pada tahun 2023 mencapai 1.285 kWh/kapita, meningkat dari tahun 2022 yang sebesar 1.173 kWh/kapita.
Sedangkan pada tahun 2021, konsumsi energi Indonesia mencapai 909,24 juta barel setara minyak (BOE). Sektor transportasi merupakan sektor dengan konsumsi energi terbesar di Indonesia pada tahun 2021, yaitu 42,72% dari total konsumsi energi nasional.
Sektor industri merupakan sektor kedua terbesar dengan konsumsi energi sebesar 34,93%. Sektor rumah tangga merupakan sektor ketiga terbesar dengan konsumsi energi sebesar 16,39%. Sedangkan sektor komersial merupakan sektor keempat terbesar dengan konsumsi energi sebesar 4,78%.
Indonesia sendiri saat ini masih mengandalkan energi berbahan fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam) sebesar 90%. Bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia pada tahun 2023 baru mencapai 13,09%. Meski belum dominan, tapi tentu saja prosentase tersebut sudah menunjukkan kemajuan yang sangat baik.
Jadi kalau kita pelajari secara lebih seksama dan mendalam, ternyata persoalan komunikasi digital ini berkelindan erat dengan berbagai aspek peradaban lainnya bukan? Masalah lingkungan, ekonomi~daya beli, sampai konsumsi energi dan daya saing suatu negeri. Maka menata aspek komunikasi digital dengan baik, dapat menjadi suatu kondisi pemantik yang diharapkan akan dapat mengakselerasi kemajuan dan kesejahteraan suatu negeri, termasuk tentu saja NKRI tercinta ini 🙏🏾🇲🇨
Bahan Bacaan Lanjut
Castells, M. (1996). The Rise of the Network Society. Blackwell.
Castells, M. (1997). The Power of Identity. Blackwell.
Castells, M. (1998). End of Millennium. Blackwell.
Jenkins, H. (2006). Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York University Press.
McLuhan, M. (1964). Understanding Media: The Extensions of Man. McGraw-Hill.
Rheingold, H. (1993). The Virtual Community: Homesteading on the Electronic Frontier. Addison-Wesley.
Walther, J. B. (1996). Computer-mediated communication: Impersonal, interpersonal, and hyperpersonal interaction. Communication Research, 23(1), 3–43.
https://doi.org/10.1177/009365096023001001
Walther, J. B. (2011). Theories of computer-mediated communication and interpersonal relations. Dalam M. L. Knapp & J. A. Daly (Eds.), The Handbook of Interpersonal Communication (hlm. 443–479). SAGE Publications.
Cisco. (2019). Global Digital Readiness Index: Understanding and Accelerating Digital Readiness Around the World. Cisco. https://www.cisco.com/
Cisco. (2020). Global Digital Readiness Index (GDRI). Cisco. https://www.cisco.com/
European Commission. (2020). Digital Economy and Society Index (DESI) 2020: The EU ICT Performance Index. European Commission. https://digital-strategy.ec.europa.eu/en/policies/desi
European Commission. (2021). Digital Economy and Society Index (DESI) 2021. European Commission. https://digital-strategy.ec.europa.eu/en/policies/desi
International Telecommunication Union (ITU). (2017). Measuring the Information Society Report 2017: ICT Development Index. ITU. https://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Pages/publications/mis2017.aspx
International Telecommunication Union (ITU). (2020). Measuring Digital Development: Facts and Figures 2020. ITU. https://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Pages/facts/default.aspx
World Bank. (2016). World Development Report 2016: Digital Dividends. The World Bank. https://www.worldbank.org/