Tauhid Nur Azhar

Peradaban Hidrogen

Saya masih ingat betul pada sekitaran medio 2020 di saat pandemi Covid-19 sedang berkecamuk dengan sedemikian hebatnya, saya mendapat tugas dari Prof Hammam Riza, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Republik Indonesia untuk mensupervisi proses pengujian alat ventilator karya perekayasa nasional yang didukung oleh beberapa industri strategis, termasuk LEN.

Di tim ventilator itulah pertama kalinya saya berjumpa secara daring dengan Prof Eniya, lengkapnya Prof. Dr. Eng. Eniya Listiani Dewi, salah satu ilmuwan wanita Indonesia terkemuka yang merupakan alumnus S1-S3 dari Waseda University di Jepang, satu almamater dengan selebgram matematika Jerome Polin.

Jabatan resmi beliau saat itu adalah Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi Energi dan Material, kalau saat ini beliau telah diamanahi tugas berat sekaligus sejalan dengan passion pribadi beliau, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi atau EBTKE Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI.

Mengapa saya katakan sesuai dengan passion beliau? Karena beliau memang salah satu tokoh perekayasa dan peneliti yang sangat konsisten dalam hal pengembangan energi baru berbasis hidrogen. Berbagai inovasi dari hasil penelitian beliau telah banyak dipublikasi dan bahkan saya pernah melihat prototipe kendaraan hidrogen roda dua karya beliau, wira-wiri di kawasan Puspiptek Serpong.

Meski saat itu posisi beliau adalah Deputi atau eselon I di BPPT, tapi di task force Covid beliau berada di tim pengembang ventilator. Kualitas kepemimpinannya teruji di sana, beliau mampu mengorkestrasi begitu banyak elemen dari berbagai institusi yang memiliki karakter yang sangat heterogen dengan sangat baik. Sinergi terjadi, proses koordinasi, bahkan dengan institusi kesehatan tempat uji pra klinis ventilator yang tersebar di berbagai kota, dan hanya dapat dihubungi secara daring, dapat berjalan dengan sangat baik.

Perkenalan sekilas via daring itu membawa kesan mendalam bagi saya, hingga sayapun tetiba jadi termotivasi untuk ikut mempelajari lebih jauh tentang hidrogen. Mungkin ada mimpi yang bisa menular ya?

Mimpi tentang sebuah dunia di mana langit biru cerah, udara segar, dan kendaraan melaju tanpa meninggalkan jejak emisi karbon. Mimpi ini semakin mendekati kenyataan dengan pesatnya perkembangan teknologi energi baru terbarukan (EBT). Di antara sekian banyak inovasi, hidrogen muncul sebagai bintang, menjanjikan masa depan yang bersih dan berkelanjutan.
Hidrogen, unsur paling ringan dan melimpah di alam semesta, menyimpan potensi luar biasa sebagai sumber energi. Dibandingkan bahan bakar fosil, hidrogen jauh lebih ramah lingkungan. Pembakaran hidrogen hanya menghasilkan air (H2O), tanpa emisi gas rumah kaca yang merusak iklim.

Di sisi lain sayapun kenal baik dengan Prof Bambang Riyanto, ahli AI dari STEI ITB. Salah satu karya beliau dan tim adalah kereta otonom (tram) yang dikembangkan bersama INKA Madiun. Selain telah mengadopsi teknologi kendali canggih berbasis LiDAR, kamera, dan berbagai sensor; kereta otonom ini juga bercatudaya listrik yang saat ini bersumber dari baterai DC.

Tram atau kereta otonom INKA ITB itu adalah hasil riset yang dibiayai LPDP dengan judul penelitian: Pengembangan Sistem Otonom dengan Menggunakan Artificial Intelligence untuk Trem. Menurut Prof Bambang Riyanto, inovasi ini mengembangkan dua sistem AI utama untuk sistem otonom trem yaitu Tram Driving Assistance dan Full Autonomous Tram. Keduanya memungkinkan trem melaju pada lintasan trem yang menyatu (berbaur) dengan kendaraan lain dan pejalan kaki di jalan raya, umumnya dikenal sebagai kondisi mixed-traffic, dengan aman dan nyaman.

Kereta otonom ini dapat menghindari halangan, menjaga kecepatan sesuai batas, serta mengenali rambu lalu lintas. Fitur Adaptive Cruise Control dan Emergency Braking System juga terpasang untuk mencegah tabrakan dengan kendaraan lain maupun pejalan kaki.

Karena kereta otonom ini dirancang untuk beroperasi otomatis dalam lingkungan lalu lintas campuran atau mixed traffic, maka beragam sensor seperti kamera, radar, LiDAR, dan GNSS dipasang untuk mendeteksi objek di sekitar, baik dalam kondisi cuaca cerah maupun hujan. Data-informasi yang ditangkap sensor ini diolah oleh kecerdasan buatan (AI) melalui perangkat komputasi tertanam, yang memungkinkan kereta mengambil keputusan secara mandiri. Kereta otonom ini digerakkan oleh motor listrik yang didukung baterai berkapasitas 200 kWh, yang mampu menempuh jarak hingga 90 km dengan satu kali pengisian daya.

Dari menyimak diskusi Prof BR, demikian banyak muridnya memanggil beliau, di grup KORIKA (Kolaborasi Riset dan Industri Kecerdasan Artifisial), tampaknya kereta otonom ITB-INKA teruji kehandalan sistem kontrol otonomnya, dan mampu berjalan dengan baik dengan mengedepankan aspek keselamatan dan keamanan di lintas kendaraan campuran di tengah kota Solo. Uji coba dilakukan di jalur kereta yang biasa dilalui oleh kereta uap wisata Sepur Kluthuk Jaladara dan kereta komuter reguler relasi Wonongiri-Purwosari, KRDE Batara Kresna.

Saya membayangkan jika kereta otonom next generation atau versi 2.0 nya adalah kereta berbahan bakar hidrogen dengan motor listrik yang dicatudayai fuelcell, betapa indahnya moda transportasi bebas emisi dan efisien dalam konsumsi energi itu
saat wira-wiri di kota-kota atau kawasan sub urban, atau bahkan antar kota antar propinsi di seluruh wilayah tanah air.

Mimpi tentang habitat yang menjadi bagian dari ekosistem sirkuler yang digerakkan oleh energi baru dan terbarukan rasanya bukanlah sebuah utopia.

Mungkin dalam 2 atau 3 dasawarsa ke depan kita akan semakin banyak melihat kota-kota dan daerah satelit sub-urban yang semuanya ditenagai energi baru dan terbarukan. Pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro, hidrogen, dan juga fusi nuklir diintegrasikan dengan sistem grid untuk mencatudayai sistem transportasi publik, fasilitas layanan publik, konektivitas data, pertanian cerdas terpadu, peternakan dan perikanan berkonsep agrominatani cerdas, juga perawatan, pemupukan, serta irigasi tetes taman dan hutan kota, serta kebutuhan listrik hunian dan pengolahan limbah dengan konsep berkelanjutan.

Pedestrian dan lantai semua fasilitas publik dapat dipasangi ubin piezoelectric. Konversi energi kinetik pejalan kaki menggunakan teknologi piezoelektrik dapat menghasilkan listrik ketika seseorang menginjak ubin yang akan melentur dan menekan generator elektromagnetik di bawahnya. Rotasi generator elektromagnetik inilah yang akan menghasilkan listrik.

Pertanian terintegrasi akan dipantau dan dikelola oleh sistem terotomasi berbasis AI. Cairan nutrisi, suhu dan kelembaban, irigasi tetes dan spray, serta pengaturan intensitas cahaya, semua akan dikendalikan sistem yang telah dilengkapi sensor dan berbagai piranti IoT. Semua dianalisis dan digerakkan oleh AI. Demikian pula sistem perikanan dan peternakan serta industri nutrisi nano, semuanya telah berjalan dengan mandiri dan mampu mengantisipasi serta memprediksi dinamika situasi dan kondisi yang berfluktuasi.

Semua itu dapat terjadi jika kita concern pada pengembangan sistem catudaya energi berbasis hidrogen. Mengapa? Karena sebagai planet air dengan dominasi fasa cair 71% yang 96,5%nya berada di lautan, maka sumber daya air yang dapat dikonversi menjadi hidrogen tentulah sangat besar bukan?

Persoalan memanen hidrogen dari air, dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi kimia-fisika yang dikenal sebagai elektrolisis. Elektrolisis air adalah proses penguraian molekul air (H₂O) menjadi gas hidrogen (H₂) dan gas oksigen (O₂) dengan menggunakan arus listrik searah (DC). Proses ini berlangsung dalam sebuah sel elektrolisis yang terdiri dari dua elektroda, yaitu katoda (elektroda negatif) dan anoda (elektroda positif), yang dicelupkan dalam air yang telah ditambahkan elektrolit untuk meningkatkan konduktivitasnya.

Prinsip dasarnya adalah Reaksi Reduksi di Katoda, pada katoda, air (H₂O) direduksi dengan menerima elektron (e⁻) dari sumber listrik, menghasilkan gas hidrogen (H₂) dan ion hidroksida (OH⁻):

2H₂O(l) + 2e⁻ → H₂(g) + 2OH⁻(aq)

Reaksi Oksidasi di Anoda, pada anoda, air (H₂O) dioksidasi dengan melepaskan elektron (e⁻) ke sumber listrik, menghasilkan gas oksigen (O₂) dan ion hidrogen (H⁺):

2H₂O(l) → O₂(g) + 4H⁺(aq) + 4e⁻

Reaksi Keseluruhan, dengan menggabungkan kedua reaksi setengah tersebut, diperoleh reaksi keseluruhan elektrolisis air:

2H₂O(l) → 2H₂(g) + O₂(g)

Sedangkan komponen Sel Elektrolisis terdiri dari :
Elektroda, material elektroda yang umum digunakan adalah platina, nikel, atau baja tahan karat. Pemilihan material elektroda memengaruhi efisiensi dan biaya proses.
Elektrolit, elektrolit ditambahkan ke dalam air untuk meningkatkan konduktivitasnya, sehingga arus listrik dapat mengalir dengan lebih mudah. Elektrolit yang umum digunakan adalah asam sulfat (H₂SO₄), kalium hidroksida (KOH), atau natrium hidroksida (NaOH).
*Sumber Listrik* adalah sumber listrik DC yang menyediakan energi listrik yang dibutuhkan untuk menggerakkan reaksi elektrolisis. Idealnya, sumber listrik berasal dari energi terbarukan seperti surya atau angin untuk menghasilkan hidrogen hijau.
Diafragma/Membran, diafragma atau membran digunakan untuk memisahkan gas hidrogen dan oksigen yang dihasilkan, mencegah terjadinya reaksi balik dan ledakan.

Faktor yang mempengaruhi efisiensi proses elektrolisis air antara lain adalah ;
Jenis Elektroda: material elektroda mempengaruhi overpotensial, yaitu tegangan tambahan yang diperlukan untuk memulai reaksi elektrolisis.
Konsentrasi Elektrolit: konsentrasi elektrolit yang optimal dapat meningkatkan konduktivitas larutan dan efisiensi proses.
Suhu: peningkatan suhu dapat meningkatkan laju reaksi elektrolisis.
Jarak Antar Elektroda: jarak antar elektroda yang lebih dekat dapat mengurangi resistansi dan meningkatkan efisiensi.
Densitas Arus: densitas arus yang optimal dapat meningkatkan laju produksi hidrogen.

Keunggulan elektrolisis air adalah karena sifatnya yang ramah lingkungan, khususnya jika menggunakan listrik dari sumber terbarukan, elektrolisis air dapat menghasilkan hidrogen “hijau” tanpa emisi karbon.
Keuntungan lainnya adalah tingkat kemurnian gas hidrogen yang dihasilkan tinggi, cocok untuk berbagai aplikasi. Teknologi elektrolisis juga dapat diterapkan dalam skala kecil maupun besar, sesuai kebutuhan, fleksibel dan adaptif dengan kondisi yang dihadapi.

Selain dari elektrolisis air, hidrogen pun bisa didapatkan dari daur ulang limbah organik atau biomassa, sehingga memperkuat sifat sirkularnya bukan? Proses pengolahan limbah organik maupun biomassa itu bertumpu pada keberadaan gas metananya (CH4). Prosesnya sendiri dinamakan Steam Methane Reforming atau SMR.

Steam Methane Reforming (SMR) adalah proses yang paling umum digunakan untuk menghasilkan hidrogen secara komersial. Proses ini melibatkan reaksi antara metana (CH₄), komponen utama gas alam, dengan uap air (H₂O) pada suhu tinggi (700-1000°C) dan tekanan sedang (15-30 bar) dengan bantuan katalis.

Reaksi utama dalam SMR adalah reaksi endotermik, yang berarti membutuhkan panas untuk berlangsung:

CH₄(g) + H₂O(g) ⇌ CO(g) + 3H₂(g) ΔH = +206 kJ/mol

Metana bereaksi dengan uap air, menghasilkan gas karbon monoksida (CO) dan gas hidrogen (H₂). Reaksi ini bersifat reversibel, artinya dapat berlangsung dalam dua arah.

SMR umumnya dilakukan dalam dua tahap utama, yaitu:
Reformasi: Campuran metana dan uap air dialirkan melalui tabung-tabung reformer yang berisi katalis nikel. Pada suhu dan tekanan tinggi, reaksi reformasi berlangsung, menghasilkan gas sintesis (syngas) yang mengandung hidrogen, karbon monoksida, dan sedikit karbon dioksida.

Water-Gas Shift Reaction (WGSR): Gas sintesis dari reformer kemudian dialirkan ke reaktor WGSR. Di sini, karbon monoksida bereaksi dengan uap air untuk menghasilkan lebih banyak hidrogen dan karbon dioksida:

CO(g) + H₂O(g) ⇌ CO₂(g) + H₂(g) ΔH = -41 kJ/mol

WGSR bersifat eksotermik, melepaskan panas. Reaksi ini biasanya dilakukan dalam dua tahap, yaitu WGSR suhu tinggi (350-450°C) dan WGSR suhu rendah (200-250°C) dengan katalis yang berbeda untuk memaksimalkan konversi CO menjadi CO₂ dan H₂.

Katalis berperan penting dalam SMR untuk mempercepat laju reaksi dan meningkatkan efisiensi. Katalis yang umum digunakan adalah nikel yang didukung pada alumina atau material pendukung lainnya. Katalis ini dapat terdeaktivasi oleh pengendapan karbon (coking) atau keracunan sulfur, sehingga perlu dilakukan regenerasi atau penggantian secara berkala.

Faktor yang mempengaruhi efisiensi reaksi, antara lain adalah:

Suhu dan Tekanan: Suhu dan tekanan operasi yang optimal perlu dijaga untuk memaksimalkan produksi hidrogen.

Rasio Uap/Metana: Rasio uap air terhadap metana yang tepat perlu dijaga untuk mencegah pembentukan karbon dan meningkatkan efisiensi.

Aktivitas Katalis: Aktivitas dan selektivitas katalis berpengaruh signifikan terhadap efisiensi SMR.

Pemurnian Gas: Setelah WGSR, gas hasil reaksi perlu dimurnikan untuk memisahkan hidrogen dari CO₂, CO, dan pengotor lainnya. Metode pemurnian yang umum digunakan adalah pressure swing adsorption (PSA).

Keunggulan teknologi SMR antara lain adalah;

Teknologi Matang: SMR adalah teknologi yang telah terbukti dan banyak digunakan secara komersial.

Biaya Relatif Rendah: dibandingkan dengan metode produksi hidrogen lainnya, SMR relatif lebih murah.

Skalabilitas: SMR dapat diterapkan dalam skala kecil maupun besar.

Sedangkan kekurangan dari teknologi SMR adalah terdapatnya emosi karbon karena SMR menghasilkan CO₂ sebagai produk sampingan. Meskipun demikian, teknologi carbon capture and storage (CCS) dapat digunakan untuk mengurangi emisi.

Di masa yang akan datang, terutama dengan pertimbangan bahwa Indonesia terletak di kawasan tropis yang berlimpah cahaya matahari dan tumbuhan dapat berfotosintesis sepanjang tahun, maka bioreaktor penghasil biohidrogen dapat menjadi salah satu opsi yang menarik. Dan alga, khususnya mikroalga yang saat ini juga sudah mulai digunakan sebagai penangkap CO2 dan COx hasil emisi gas buang di perkotaan (saat ini tengah tahap ujicoba di salah satu kawasan Kota Tangerang Selatan), adalah salah satu vegetasi yang potensial sebagai sumber hidrogen.

Alga, khususnya mikroalga, memenuhi syarat sebagai sumber potensial untuk produksi hidrogen yang berkelanjutan. Mikroalga dapat menghasilkan hidrogen melalui proses biofotolisis, yang memanfaatkan energi cahaya matahari untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen.
Berikut penjelasan lebih mendetail tentang produksi hidrogen dari alga,
Mekanisme Biofotolisis

Fotosintesis: Seperti tumbuhan, alga melakukan fotosintesis untuk menghasilkan energi. Selama fotosintesis, alga menyerap energi cahaya matahari dan menggunakannya untuk mengubah air dan karbon dioksida menjadi karbohidrat dan oksigen.

Produksi Hidrogen: dalam kondisi tertentu, misalnya ketika kekurangan sulfur atau oksigen, beberapa jenis alga dapat mengalihkan metabolisme mereka untuk menghasilkan hidrogen. Proses ini melibatkan enzim hidrogenase, yang mengkatalisis reaksi pemisahan air menjadi hidrogen dan oksigen.

Beberapa spesies mikroalga telah diketahui memiliki kapasitas untuk memproduksi hidrogen , termasuk di dalamnya adalah; Euastrum, Cosmarium, Chlorella sp., Ulothrix, Selenastrum, Chlamydomonas sp., Closterium, Micractinium sp., Pandorina, Stigeoclonium, dan Staurastrum (Wang et al., 2020a, Wang et al., 2020b).

Sementara beberapa jenis alga yang telah diteliti untuk produksi hidrogen antara lain adalah;
Chlamydomonas reinhardtii: Alga hijau uniseluler yang banyak digunakan dalam penelitian biofotolisis.

Scenedesmus obliquus: Alga hijau yang dapat menghasilkan hidrogen dalam kondisi kekurangan sulfur.

Chlorella vulgaris: Alga hijau yang juga dapat menghasilkan hidrogen, tetapi dengan efisiensi yang lebih rendah.

Faktor yang mempengaruhi produksi biohidrogen dari bioreaktor alga antara lain adalah ;
Intensitas Cahaya: di mana intensitas cahaya yang optimal dibutuhkan untuk fotosintesis dan produksi hidrogen.

Kondisi Nutrisi: di mana jondisi kekurangan nutrisi tertentu, seperti sulfur, dapat memicu produksi hidrogen.

pH: dmana pH medium kultur berpengaruh terhadap aktivitas _enzim hidrogenase.

Suhu: di mana suhu optimal dibutuhkan untuk pertumbuhan alga dan aktivitas enzim.

Jenis dan Konsentrasi Alga: di mana jenis dan konsentrasi alga berpengaruh terhadap efisiensi produksi hidrogen.

Metode Produksi Biohidrogen terdiri dari ;

Sistem Terbuka: di mana alga dikultur dalam kolam terbuka yang terpapar sinar matahari. Metode ini relatif murah, tetapi efisiensinya rendah karena alga terkena fluktuasi kondisi lingkungan.

Sistem Tertutup (Fotobioreaktor): dimana alga dikultur dalam fotobioreaktor yang memungkinkan kontrol parameter lingkungan seperti intensitas cahaya, suhu, dan pH. Metode ini lebih efisien, tetapi biaya investasinya lebih tinggi.

Keunggulan produksi Hidrogen dari alga, antara lain adalah;
Alga merupakan sumber daya terbarukan yang dapat dibudidayakan dengan mudah. Produksi hidrogen dari alga tidak menghasilkan emisi karbon. Alga juga dapat dibudidayakan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber daya alam lainnya.

Sementara beberapa tantangan pengembangan biohidrogen dari mikro alga, antara lain adalah masih perlunya dikembangkan teknologi untuk memproduksi hidrogen dari alga dalam skala besar secara ekonomis.

Saat ini para peneliti sedang mengembangkan alga yang direkayasa secara genetika untuk meningkatkan efisiensi produksi hidrogen.

Semntara telah diketahui pula bahwa nanomaterial dapat digunakan untuk meningkatkan transfer elektron dan efisiensi fotobioreaktor.

Meskipun masih dalam tahap pengembangan, produksi hidrogen dari alga memiliki potensi besar m untuk menjadi sumber energi bersih dan berkelanjutan di masa depan.

Selanjutnya tentulah setelah hidrogen dapat diproduksi dalam jumlah masif, kitapun memerlukan teknologi untuk mengonversinya menjadi tenaga atau listrik bukan? Salah satu metoda yang paling efisien dan ramah lingkungan adalah metoda fuel cell.

Fuel cell, atau sel bahan bakar, adalah perangkat elektrokimia yang mengubah energi kimia dari bahan bakar (biasanya hidrogen) dan oksidan (biasanya oksigen) secara langsung menjadi energi listrik. Berbeda dengan baterai yang menyimpan energi, fuel cell menghasilkan listrik secara kontinu selama bahan bakar dan oksidan disuplai.
Berikut penjelasan teknis cara kerja fuel cell:
Komponen utamanya antara lain adalah;
Anoda: Elektroda negatif tempat terjadinya oksidasi bahan bakar (hidrogen).
Katoda: Elektroda positif tempat terjadinya reduksi oksidan (oksigen).
Elektrolit: Material yang menghantarkan ion-ion dan memisahkan anoda dan katoda. Jenis elektrolit bervariasi tergantung jenis fuel cell.
Katalis: Material yang mempercepat laju reaksi di anoda dan katoda. Katalis yang umum digunakan adalah platina atau paduan platina.

Prinsip kerja fuel cell kurang lebih sebagai berikut;
Di Anoda: Gas hidrogen (H₂) dialirkan ke anoda. Dengan bantuan katalis, molekul hidrogen dipecah menjadi ion hidrogen (H⁺) dan elektron (e⁻).

2H₂ → 4H⁺ + 4e⁻

Di Elektrolit: Ion hidrogen (H⁺) bergerak melalui elektrolit menuju katoda. Elektrolit hanya mengizinkan ion hidrogen untuk melewatinya, sementara elektron diblokir.

Di Katoda: Gas oksigen (O₂) dialirkan ke katoda. Oksigen bereaksi dengan ion hidrogen (H⁺) dan elektron (e⁻) yang datang dari anoda, menghasilkan air (H₂O).

O₂ + 4H⁺ + 4e⁻ → 2H₂O

Aliran Elektron: Elektron yang dilepaskan di anoda mengalir melalui sirkuit eksternal menuju katoda, menghasilkan arus listrik yang dapat digunakan untuk menggerakkan beban (misalnya motor listrik).

Jenis-Jenis Fuel Cell, ada beberapa jenis fuel cell yang dibedakan berdasar jenis elektrolit yang digunakan, masing-masing memiliki karakteristik dan aplikasi yang berbeda:

Proton Exchange Membrane Fuel Cell (PEMFC): Menggunakan membran polimer sebagai elektrolit. Beroperasi pada suhu rendah (80-100°C), cocok untuk kendaraan dan aplikasi portable.

Alkaline Fuel Cell (AFC): Menggunakan larutan alkali (misalnya KOH) sebagai elektrolit. Efisiensi tinggi, tetapi sensitif terhadap CO₂. Digunakan dalam wahana antariksa.

Solid Oxide Fuel Cell (SOFC): Menggunakan keramik padat sebagai elektrolit. Beroperasi pada suhu tinggi (600-1000°C), cocok untuk pembangkit listrik stasioner.

Molten Carbonate Fuel Cell (MCFC): Menggunakan lgaram karbonat cair sebagai elektrolit. Beroperasi pada suhu tinggi (650°C), cocok untuk pembangkit listrik stasioner.

Phosphoric Acid Fuel Cell (PAFC): Menggunakan asam fosfat sebagai elektrolit. Beroperasi pada suhu sedang (150-200°C), cocok untuk pembangkit listrik stasioner.

Keunggulan fuel cell, antara lain adalah memiliki tingkat efisiensi konversi energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mesin pembakaran internal. Emisi fuel cell juga sangat rendah, hanya menghasilkan air (untuk fuel cell hidrogen). Fuel cell pun beroperasi dengan sangat tenang karena tidak ada bagian yang bergerak. Fuel cell dapat dibuat dalam berbagai ukuran, dari skala kecil untuk perangkat elektronik hingga skala besar untuk pembangkit listrik.

Maka besar harapan jika proses produksi dan konversi energi hidrogen berhasil dikembangkan, barangkali kita akan dapat menyaksikan kembali sebuah kota imajiner sebagaimana yang mungkin disaksikan oleh Ptolemeus seorang ahli geografi Yunani yang mengembara sampai jauh ke belahan selatan bumi pada sekitar tahun 150 M, yang menyaksikan sebuah kota yang disebutnya Argyre, atau kota Perak. Catatan tentang kota di ujung barat pulau Jawa itu ada di kitab karyanya yang berjudul Geographia*l.

Kota perak atau metalik masa depan dapat diasumsikan sebagai sebuah kota dengan teknologi otonom cerdas yang mengendalikan dan menggerakkan seluruh sistem layanan publiknya. Dicatudayai oleh energi terbarukan berbasis hidrogen, kota ini sepenuhnya telah mengimplementasikan konsep sirkular di setiap aspek fungsionalnya. Diotaki akal imitasi post artificial general AI, seluruh sistem pelayanan publik dan pengelolaan serta pengembangan infrastrukturnya sudah sepenuhnya dikendalikan oleh sistem AI terintegrasi.

Kereta-kereta otonom, UAV, rumah sakit, industri nutrisi, media edukasi, dan banyak hal lainnya beroperasi secara mandiri dengan tingkat presisi di luar kapasitas imajinasi kita hari ini. 🙏🏾🩵🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts