Mahzab Suhono + Mahzab Hammam = Akal Imitasi + Akal Imajinasi
Prof Suhono adalah salah seorang guru besar berlatar belakang teknologi informasi yang amat concern dengan pengembangan konsep smart dalam konteks platform, ekosistem, arsitektur IT, sampai ke penerapannya dalam berbagai ranah kehidupan, termasuk dalam tata kelola sebuah kota atau negara.
Dalam berbagai forum diskusi, edukasi, konferensi, ataupun percakapan daring yang difasilitasi teknologi komunikasi beliau kerap mengajukan konsep tentang smartization. Upaya mencerdaskan suatu sistem terpadu secara holistik dengan pendekatan sistemik yang terintegrasi.
Pada gilirannya konsep ini memang bersinggungan dan bahkan memiliki urat nadi serta mitokondria penghasil energi yang berakar pada inovasi teknologi. Hingga wajar jika banyak kalangan ketika berbicara tentang smart city ataupun sistem lain yang dilabeli cerdas, yang mengemuka adalah upaya penggunaan teknologi secara sedemikian rupa, hingga konsep smart yang muncul ke permukaan menjadi terlimitasi dalam konteks pemanfaatan teknologi.
Mungkin perlu kita bersama sadari, bahwa teknologi secara filosofi dapat diposisikan sebagai tools, atau piranti yang merupakan elemen dari sebuah sistem yang menjadi cerdas karena memiliki algoritma berpikir dan bertindak sejalan dengan kemampuan untuk mengefisienkan proses dan mencapai hasil yang terbaik.
Kecerdasan sistem tentu tak terlepas dari konsep kecerdasan manusia juga bukan? Menurut ensiklopedia Britannica, kecerdasan manusia didefinisikan secara umum sebagai kualitas mental yang terdiri dari kemampuan untuk belajar dari pengalaman, beradaptasi dengan situasi baru, memahami dan menangani konsep abstrak, dan menggunakan pengetahuan untuk mengendalikan lingkungan.
Proses menyederhanakan penyelesaian masalah dengan kemampuan untuk mendapatkan hasil optimal dengan memanfaatkan sumber daya seminim mungkin dalam mencapai tujuan adalah salah satu bentuk kongkret dari kecerdasan.
Sedangkan definisi cerdas dari Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti), tajam pikirannya, sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat, kuat), cermat dan tangkas. Artinya cerdas membutuhkan prasyarat seperti kemampuan organ pengolahan dan daya dukung yang turut berkontribusi dalam penentuan kualitasnya.
Konsep cerdas bersifat lebih holistik karena melibatkan banyak elemen, komponen, dan juga varian kapasitas dan kompetensi yang meliputi dimensi kognisi, afeksi, dan konasi. Sementara pintar kerap didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk memahami, belajar, dan menerapkan pengetahuan dengan cepat dan efektif. Seseorang yang pintar memiliki pengetahuan yang luas dan mudah memahami segala sesuatu, atau menurut KBBI, pintar berarti pandai, cakap, cerdik, dan banyak akal.
Teknologi bisa terkategori pintar, jika dapat melakukan beberapa tugas spesifik dengan benar, cepat, dan tepat sasaran, hingga efektif dalam menjalankan fungsi sesuai dengan peruntukannya. Mengacu kepada pintar dalam konteks biologis yang biasa dinisbatkan pada manusia, dilansir dari KBBI/ Kamus Besar Bahasa Indonesia, pintar memiliki arti yang sama dengan pandai, mahir dan cakap. Sehingga orang yang pintar akan sangat pandai, mahir dan cakap dalam melakukan segala sesuatu yang sudah dipelajari. Sifat pintar ini didapatkan setelah seseorang terus menerus mengasah kepintarannya.
Teknologi pintar adalah teknologi yang mahir atau skillfull dalam proses melaksanakan tugas (task)nya. Tingkat kemahiran ini amat bergantung kepada proses pelatihan berdasar konsep desain di fase perancangan yang antara lain memiliki prasyarat ketersediaan data dan cara serta algoritma pemikiran (design thinking) yang akan diwujudkan dalam produk pintar dengan fungsi khusus yang melekat padanya.
Dalam kajian neurosains terkait dengan aspek kognitif, konsep cerdas dan pintar sering kali digunakan secara bergantian, namun sebenarnya memiliki perbedaan mendasar dalam hal mekanisme dan bagian otak yang terlibat. “Pintar” umumnya merujuk pada kemampuan seseorang untuk memperoleh, mengingat, dan mengaplikasikan pengetahuan dalam konteks spesifik, sementara “cerdas” merujuk pada kapasitas adaptif yang lebih luas, yaitu kemampuan untuk berpikir kreatif, memecahkan masalah secara inovatif, dan membuat keputusan berdasarkan situasi baru atau kompleks.
Kemampuan “pintar” sering kali dikaitkan dengan pemrosesan informasi spesifik dan penyimpanan ingatan, yang secara neuroanatomi, antara lain melibatkan lobus Temporal dan Hipokampus, yaitu area yang berperan dalam pembentukan memori jangka panjang dan pencatatan pengetahuan. Hipokampus berfungsi sebagai pusat pengodean memori eksplisit, yang sangat penting dalam penyimpanan fakta dan konsep yang diasosiasikan dengan “kepintaran.”
Konsep pintar juga melibatkan peran Prefrontal Cortex (PFC), di mana PFC, khususnya bagian ventrolateral, berperan dalam pengaturan ingatan kerja (working memory), yang memungkinkan pemrosesan dan aplikasi informasi dalam tugas-tugas yang memerlukan penalaran logis dan penerapan informasi.
Ada pula peran neurotransmiter atau zat penghubung antara sel-sel otak (neuron) seperti glutamat dan dopamin yang memainkan peran penting dalam mengonstruksi ketrampilan kognitif yang dinisbatkan sebagai kepintaran. Glutamat berperan dalam memfasilitasi sinapsis memori, sementara dopamin membantu meningkatkan motivasi dan pemrosesan informasi dengan cara yang memperkuat pengalaman belajar.
Sementara cerdas secara umum didefinisikan sebagai suatu kemampuan adaptif dan kapasitas kompleks yang antara lain terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Intelligence atau kecerdasan melibatkan kemampuan untuk beradaptasi, yang menuntut integrasi berbagai sistem dan kemampauan kognitif yang kompleks.
Sistem neuroanatomi yang terlibat dalam sistem produksi kecerdasan antara lain adalah, Prefrontal Cortex (PFC), terutama PFC dorsolateral yang berperan penting dalam proses berpikir abstrak, perencanaan, dan pemecahan masalah. Bagian otak ini memediasi integrasi informasi dari berbagai area otak lainnya dan bertindak sebagai pusat kontrol.
Lalu ada peran dari korteks singulata, atau bagian dari sistem limbik yang berperan dalam deteksi konflik, pengaturan emosi, dan pemantauan keputusan, terutama dalam situasi yang kompleks.
Terlibat pula berbagai jenis neurotransmiter seperti serotonin, norepinefrin, dan dopamin, yang mendukung fungsi kognitif secara terintegrasi. Dopamin membantu proses pengambilan keputusan dengan memberi sinyal terhadap hasil yang diharapkan, sementara serotonin mempengaruhi regulasi emosi dan pemrosesan resiko. Sedangkan epinefrin terlibat dalam proses respon stress yang dapat memotivasi dan menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan yang telah diputuskan dalam konteks perencanaan dan pengambilan keputusan di area korteks prefrontal.
Maka jika kita analogikan sistem cerdas dalam konteks sebagai sebuah platform peradaban yang melibatkan manusia dan komunitasnya, maka sistem itu harus memiliki kemampuan adaptif dan pola pikir kompleks yang melibatkan secara aktif kemampuan mengelola data sensoris, pengolahan data sistematis, algoritma pengambilan keputusan logis, dan kapasitas belajar dan mengevaluasi berbagai kondisi seiring dengan dinamika perubahan yang terjadi, termasuk mempelajari konsekuensi dari keputusan yang telah diambil dan dieksekusi.
Dalam konteks teknologi akal imitasi atau AI yang punya nama resmi Kecerdasan Artifisial, rentang pintar sampai cerdas dapat kita amati dan cermati. Pada beberapa model yang masuk dalam area decision support system seperti decision tree atau random forest, kemahiran model dalam mengolah data dan memetakan relasi antar data dalam berbagai bentuk hubungan seperti asosiasi ataupun korelasi dan hubungan kausalistik antar data yang sebagian besar masih berada dalam ranah statistik klasik, cocok dengan definisi pintar.
Sementara model lainnya seperti deep learning atau varian dari generative AI telah memenuhi unsur-unsur cerdas karena memiliki sifat komparasi, prokreasi, dan memilih solusi yang terbaik sebagai bagian dari proses pengambilan keputusannya. Pengolahan data kuantitatif nya sudah memasuki ranah statistik dengan pendekatan stokastik, dengan probabilitas acak yang merepresentasikan sistem random dalam lingkungan yang sebenarnya.
Bahkan dalam konteks tertentu, konsep Akal Imitasi telah mampu mengakomodir konsep Akal Imajinasi. Hal ini ditunjukkan melalui kemampuan dan kapasitasnya dalam ranah prokreasi, seperti performa beberapa model generative AI yang telah piawai mementaskan konsep imajinasi kognisi menjadi produk intelektual dan seni yang berkualitas tinggi.
Prof Hammam Riza, inisiator KORIKA (Kolaborasi Riset dan Industri Kecerdasan Artifisial), yang juga Kepala BPPT periode 2019-2021, yang dilantik pada tanggal 30 Januari 2019, di awal masa jabatannya mengajak seluruh pegawai BPPT untuk melakukan penguatan kelembagaan, pemberdayaan SDM, dan pelaksanaan program flagship guna penguatan inovasi dan layanan teknologi melalui tagline Solid Smart Speed.
Sebuah konsep yang mencerminkan bahwa fundamental soliditas yang berisi kumpulan kemahiran atau kepintaran dapat menjadi rahim bagi lahirnya kecerdasan (smart) yang pada gilirannya akan mengakselerasi (speed) tumbuhnya peradaban dengan karakter kemuliaan dan kebaikan yang terintegrasi di dalamnya.
Maka jika kita padu padankan kedua mahzab di atas, mahzab Suhono dan mahzab Hammam, kita akan mendapatkan sekumpulan teknologi mahir, regulasi pintar, dan kapasitas sumber daya yang mumpuni, yang diharapkan dapat melahirkan sistem cerdas nan bijaksana (smart & wise system/SWS) yang berperilaku adaptif, prokreatif, responsif, empatif, sekaligus bersifat konstruktif dan solutif yang dapat maujud dalam berbagai bentuk dan model tata kelola dan platform serta ekosistem terkait dengan penyelenggaraan hajat hidup orang banyak seperti di sebuah kota, negara, sistem ekonomi, ataupun model bisnis yang dinamikanya akan terus berkembang secara berkesinambungan.
ππΎππΎππΎ