Tauhid Nur Azhar

Desain Proses Belajar Profesional Lintas Generasi

Pak Dr Dody Qori Utama, faculty member Bank Indonesia Institute, kemarin mengirim sebuah pesan singkat di aplikasi WA. Isinya simpel; Ustadz, apakah ada rekomendasi narasumber untuk pengayaan proses perancangan model pembelajaran profesional lintas generasi ? Wah, topik yang sangat menarik ini. Di benak saya langsung terlintas satu nama yang saya pikir sangat pas karena sangat mumpuni dan punya kompetensi sesuai dengan apa yang tengah dibutuhkan oleh teman-teman di Bank Indonesia Institute. Dr Lala Arief, tokoh yang langsung muncul di top of mind pikiran saya. Tokoh relasi publik nasional, dan dosen SBM ITB yang antara lain area kepakarannya berfokus pada ranah people and knowledge management, pas bukan ?

Tapi saya pribadi juga jadi ikut penasaran, dan mulai bertanya-tanya, apakah generation gap itu memang sesuatu hal yang dapat mempengaruhi kinerja suatu institusi? Dan bagaimana mengelola generation gap itu agar dapat divektorisasi dari yang semula adalah bagian dari potensi dekonstruksi menjadi konstruktif? Tentu jika kita menilai dari situasi dan kondisi riil, ada dua aspek utama yang dapat dielaborasi; ekosistem kerja dan model pendidikan profesi.

Nah aspek yang kedua inilah yang mungkin akan dicoba dicarikan konsep idealnya dalam program penyusunan program kerja institusi pendidikan internal semacam corporate university di bank sentral ini.

Fakta menunjukkan bahwa di era digital yang terus berkembang ini, dunia kerja di Indonesia dihuni oleh tiga generasi utama: Generasi X, Milenial, dan Generasi Z. Di mana setiap generasi memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi dinamika kerja dan proses pembelajaran. Untuk menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif, diperlukan model pendidikan profesional yang mampu menjembatani perbedaan antargenerasi melalui pendekatan pembelajaran mutual.

Idealnya model dan tujuan pendidikan profesional itu perlu mengakomodir berbagai dinamika yang dapat mempengaruhi konstruksi ekosistem kerja, yang antara lain dapat dinilai pada hubungan antara Workplace Well-Being terhadap Psychological Capital dan Employee Engagement. Dimana konsep pendidikan profesional tentu diharapkan akan dapat mengoptimasi segenap potensi karyawan, sekaligus dapat menghadirkan rasa nyaman pada berbagai situasi pekerjaan yang penuh dengan tantangan.

Workplace well-being sendiri merujuk pada keadaan fisik, mental, dan sosial karyawan yang seimbang dalam lingkungan kerja. Konsep ini mencakup dimensi seperti kesejahteraan psikologis, hubungan interpersonal yang positif, dukungan organisasi, dan kondisi kerja yang sehat. Menurut Ryff and Keyes (1995), well-being dalam konteks kerja melibatkan aspek seperti self-acceptance, positive relations with others, dan personal growth. Di tempat kerja, organisasi yang mendukung kesejahteraan karyawan mampu menciptakan lingkungan kerja yang lebih kondusif dan memotivasi.

Kondisi ekosistem kerja yang kondusif dan nyaman, meski ada keniscayaan unik berupa generation gap, adalah bagian dari aset psychological capital. Dimana psychological capital adalah kerangka konstruktif dari sumber daya psikologis individu yang meliputi antara lain; Hope (Harapan), atau kemampuan untuk menetapkan tujuan yang jelas dan menemukan cara untuk mencapainya. Efficacy (Efikasi) atau kepercayaan pada kemampuan diri untuk menyelesaikan tugas, dan Resilience (Resiliensi) atau kemampuan untuk bangkit dari tantangan dan tekanan. Juga Optimism (Optimisme), atau sikap konstruktif terhadap masa depan.

Menurut Luthans et al. (2007), PsyCap berperan penting dalam membentuk perilaku proaktif dan tanggapan adaptif karyawan terhadap tuntutan kerja.

Sementara Employee engagement kerap didefinisikan sebagai tingkat keterlibatan emosional, komitmen, dan antusiasme karyawan terhadap pekerjaannya. Schaufeli and Bakker (2004) mengidentifikasi tiga komponen utama dari employment engagement, yaitu; Vigor (Semangat), atau tingkat energi yang tinggi dalam pekerjaan. Dedication (Dedikasi), atau perasaan keterikatan yang mendalam terhadap pekerjaan. Juga Absorption (Keterlibatan), atau fokus yang penuh dan mendalam saat bekerja. Karyawan yang engaged lebih produktif, kreatif, dan cenderung tetap loyal pada organisasi.

Lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan dapat memperkuat elemen-elemen PsyCap. Misalnya, tempat kerja yang menyediakan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan karyawan atau dukungan untuk mengelola stres dapat meningkatkan harapan (hope) dan resiliensi (resilience). Penelitian oleh Avey et al. (2011) menunjukkan bahwa kesejahteraan di tempat kerja memiliki korelasi positif yang signifikan dengan perkembangan PsyCap.

Sejalan dengan itu, kesejahteraan kerja diharapkan dapat meningkatkan employee engagement dengan menciptakan kondisi psikologis yang memungkinkan karyawan merasa dihargai dan nyaman. Penelitian oleh Harter, Schmidt, and Hayes (2002) menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan karyawan meningkatkan semangat kerja (vigor) dan dedikasi (dedication).

PsyCap sendiri dapat bertindak sebagai mediator dalam hubungan antara well-being dan engagement. Ketika karyawan merasa didukung secara emosional dan fisik di tempat kerja, mereka cenderung memiliki sikap optimis dan penuh harapan, yang kemudian meningkatkan keterlibatan mereka terhadap pekerjaan.

Salah satu upaya dukungan nyata yang diprakirakkan dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas well being sebagai bagian dari psyCap adalah model pendidikan profesional yang dapat mebghablurkan sekat lintas generasi yang ditengarai berpotensi menjadi sumber masalah kinerja di kemudian hari. Untuk itu perlu dirancang sebuah model adaptif dengan konsep mutual bagi setiap generasi yang terepresentasi di lingkungan kerja internal.

Data menunjukkan, bahwa berdasarkan Sensus Penduduk 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), komposisi penduduk Indonesia didominasi oleh Generasi Z dan Milenial. Generasi Z, yang lahir antara 1997–2012, mencakup 27,94% dari total populasi, sementara Milenial (lahir 1981–1996) mencapai 25,87%. Generasi X, lahir antara 1965–1980, menyusul dengan proporsi 21,88%. ​​

Dimana pada setiap generasi itu terdapat karaktetistik dan preferensi belajar yang khas dan unik untuk setiap generasi sesuai dengan gambaran psikografinya.

Generasi X: Dikenal sebagai generasi yang mandiri dan adaptif, mereka menghargai keseimbangan kerja-hidup dan cenderung menyukai pembelajaran yang terstruktur serta berbasis pengalaman.

Milenial: Tumbuh bersama perkembangan teknologi digital, generasi ini lebih menyukai pembelajaran interaktif, kolaboratif, dan berbasis teknologi.

Generasi Z: Sebagai digital natives, mereka sangat akrab dengan teknologi dan informasi instan, serta cenderung menyukai pembelajaran yang cepat, visual, dan dapat diakses melalui perangkat mobile.

Dr. Wustari L.H. Mangundjaya, pakar psikologi organisasi, alumni Universitas Indonesia yang kini menjadi staf akademik di Universitas Bhayangkara, menekankan pentingnya pembelajaran antargenerasi yang bersifat mutual. “Interaksi timbal balik antara generasi yang berbeda dapat mengurangi stereotip usia, meningkatkan kohesi tim, dan mendorong pembelajaran sepanjang hayat.”

Untuk itu dapat dikembangkan strategi model pembelajaran yang tepat, sesuai dengan pendekatan psikologi yang adekuat berdasar karakteristik lintas generasi yang unik. Dapat dicoba metoda seperti Mentorship Terbalik (Reverse Mentoring): di mana generasi muda justru diminta membimbing generasi yang lebih tua dalam hal-hal tertentu, seperti penggunaan teknologi terbaru. Sementara generasi yang lebih senior berbagi pengalaman dan pengetahuan terkait model bisnis dan industri yang sudah sangat mereka pahami. Pendekatan ini telah diterapkan di beberapa perusahaan multinasional dengan hasil sangat baik.

Dapat diperkenalkan pula model Pembelajaran Kolaboratif: dengan membentuk tim lintas generasi untuk mengerjakan proyek bersama (project based learning), hingga memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan dan keterampilan secara dua arah. Studi menunjukkan bahwa tim dengan keragaman usia memiliki kinerja yang lebih inovatif.

Dapat dikembangkan pula konsep Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Teknologi seperti penggunaan platform e-learning atau LMS, learning management system yang adaptif untuk memenuhi preferensi belajar setiap generasi, seperti modul interaktif untuk Milenial dan video singkat untuk Generasi Z. Menurut laporan Ipsos, Generasi Z di Indonesia lebih memilih konten pembelajaran yang singkat dan visual. ​​

Secara periodik juga dapat diselenggarakan kegiatan seperti Workshop Intergenerasional, semacam lokakarya yang dirancang untuk meningkatkan komunikasi dan pemahaman antar generasi, serta mengembangkan strategi kerja yang inklusif. Program semacam ini telah berhasil meningkatkan kepuasan kerja dan retensi karyawan di beberapa organisasi. Dapat pula dalam wokrshop tersebut dilakukan berbagai simulasi situasi pekerjaan dengan mengedepankan pendekatan problem based learning yang diharapkan akan dapat mengasah berbagai ketrampilan dan kompetensi profesional seperti komunikasi, kerjasama tim, role playing, dan kemampuan problem solving.

Berbagai pengembangan konsep pendidikan dan model aplikatifnya pada dasarnya dapat mengacu kepada aplikasi dari teori-teori psikologi terkait, agar hasil yang didapatkan dapat sesuai dengan tujuan yang telah dicanangkan. Penerapan teori motivasi seperti Hierarki Kebutuhan Maslow dan Teori Dua Faktor Herzberg dapat membantu memahami motivasi kerja setiap generasi. Generasi X mungkin lebih fokus pada kebutuhan aktualisasi diri, sementara Milenial dan Generasi Z lebih termotivasi oleh pengakuan dan peluang pengembangan. ​​

Berdasar teori psikologi hierarki kebutuhan Maslow di atas didapati beberapa kondisi atau fakta sebagai berikut:

Generasi X: Lebih fokus pada kebutuhan penghargaan dan aktualisasi diri. Mereka menghargai pembelajaran yang terstruktur, relevan dengan pekerjaan, dan memungkinkan pencapaian potensi.

Milenial: Terpacu oleh kebutuhan sosial dan penghargaan. Pembelajaran berbasis kolaborasi dan pengakuan atas kontribusi mereka sangat efektif.

Generasi Z: Masih mencari keseimbangan antara kebutuhan keamanan dan penghargaan. Mereka cenderung tertarik pada pembelajaran yang cepat, visual, dan memberikan keterampilan praktis.

Berdasar teori 2 faktor yang dikembangkan oleh Frederick Herzberg (1959) yang membedakan dua faktor yang memengaruhi kepuasan kerja, Faktor Pemeliharaan (Hygiene), dimana terdapat faktor eksternal seperti kebijakan organisasi, kondisi kerja, dan hubungan interpersonal. Faktor ini mencegah ketidakpuasan tetapi tidak selalu meningkatkan motivasi, dan Faktor Motivator, di mana terdapat pula faktor intrinsik seperti pencapaian, pengakuan, tanggung jawab, dan peluang pengembangan. Faktor ini menciptakan motivasi dan keterlibatan.
Penerapan teori dua faktor dalam program pendidikan lintas generasi dapat dilakukan sesuai dengan fakta berikut;

Generasi X: Lebih termotivasi oleh faktor motivator, seperti tanggung jawab dan pengakuan atas kontribusi mereka. Pembelajaran yang memungkinkan mereka mengambil peran kepemimpinan akan lebih efektif.

Milenial: Penting untuk mengelola faktor hygiene, seperti menyediakan piranti teknologi canggih dan ekosistem/lingkungan kerja yang nyaman. Mereka juga menghargai faktor motivator, terutama pengakuan atas kontribusi mereka dalam kelompok.

Generasi Z: Sangat dipengaruhi oleh faktor hygiene, seperti akses ke teknologi modern dan fleksibilitas waktu. Namun, faktor motivator seperti pencapaian personal dalam pembelajaran juga mulai penting bagi mereka.

Mengacu kepada kedua teori di atas, dapat dikembangkan strategi pendidikan dan pelatihan yang mengedepankan strategi sebagai berikut,

– Pastikan lingkungan belajar aman secara fisik dan psikologis.

– Gunakan metode interaktif untuk memenuhi kebutuhan sosial (seperti diskusi kelompok atau proyek kolaboratif).

– Berikan penghargaan (seperti sertifikat atau pengakuan publik) untuk memenuhi kebutuhan penghargaan.

– Libatkan pembelajaran berbasis proyek untuk membantu aktualisasi diri.

– Pastikan fasilitas belajar modern untuk memenuhi faktor hygiene.

– Tawarkan kesempatan untuk berkontribusi dalam proyek nyata untuk memenuhi faktor motivator.

– Libatkan mentor lintas generasi untuk meningkatkan hubungan interpersonal.

Kedua teori ini saling melengkapi dalam mendukung pengembangan proses belajar lintas generasi. Maslow membantu memahami hierarki kebutuhan setiap generasi, sedangkan Herzberg memberikan wawasan tentang bagaimana meningkatkan kepuasan dan motivasi melalui desain pengalaman belajar. Berikut contoh aplikasi/penerapannya dalam proses pendidikan dan pelatihan profesional;

1. Merancang Program yang Responsif: Kombinasikan pemenuhan kebutuhan dasar (Maslow) dan pengelolaan faktor hygiene (Herzberg) untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman bagi semua generasi.

2. Meningkatkan Motivasi: Gunakan faktor motivator Herzberg untuk membantu generasi X dan Z mencapai aktualisasi diri, seperti memberikan tanggung jawab dalam proyek lintas generasi.

3. Membangun Keterlibatan Sosial: Sesuaikan metode pembelajaran berbasis hubungan interpersonal untuk memenuhi kebutuhan sosial (Maslow) dan faktor hygiene (Herzberg).

Akhirul kata, tentulah tujuan yang kita harapkan bersama adalah proses pendidikan dan pelatihan profesional yang dirancang akan dapat menghasilkan suatu peningkatan kapasitas karyawan yang dapat berkontribusi konstruktif pada ekosistem kerja lintas generasi. Hingga dapat pula kita harapkan, dengan harmonisasi sinergi lintas generasi itu, kinerja institusi akan menjadi bertambah baik, dan ekosistem kerja yang tercipta akan dapat mengakomodir konsep kesejahteraan holistik yang dapat dirasakan oleh segenap elemen yang terlibat di dalamnya. 🙏🏾🩵

Daftar Bacaan Rujukan

– Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans, F., & Mhatre, K. H. (2011). Meta-analysis of the impact of positive psychological capital on employee attitudes, behaviors, and performance. Human Resource Development Quarterly, 22(2), 127–152. https://doi.org/10.1002/hrdq.20070

– Badan Pusat Statistik. (2020). Sensus Penduduk 2020: Data penduduk menurut generasi. Retrieved from https://sensus.bps.go.id

– Frederick Herzberg. (1959). The Motivation to Work (2nd ed.). John Wiley & Sons.

– Harter, J. K., Schmidt, F. L., & Hayes, T. L. (2002). Business-unit-level relationship between employee satisfaction, employee engagement, and business outcomes: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 87(2), 268–279. https://doi.org/10.1037/0021-9010.87.2.268

– Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J. (2007). Psychological capital: Developing the human competitive edge. Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/acprof:oso/9780195187526.001.0001

– Maslow, A. H. (1943). A theory of human motivation. Psychological Review, 50(4), 370–396. https://doi.org/10.1037/h0054346

– Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719–727. https://doi.org/10.1037/0022-3514.69.4.719

– Schaufeli, W. B., & Bakker, A. B. (2004). Job demands, job resources, and their relationship with burnout and engagement: A multi-sample study. Journal of Organizational Behavior, 25(3), 293–315. https://doi.org/10.1002/job.248

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts