Ratu Kalinyamat dan Kebangkitan Maritim Indonesia
Ada banyak hal menarik dari berbagai WA grup tempat saya bernaung dan ikut belajar. Ada WA grup yang berisi perdebatan ilmiah secara berkesinambungan, meski terkadang jika sudah sangat memanas, terjadi juga falasi seperti ad hominem yang menyerang pribadi si pemberi opini, bukan pada materi yang diajukannya.
Juga terkadang muncul justifikasi ad verecundiam yang menisbatkan kebenaran pada kekuatan otoritatif yang seolah tabu untuk dibantah.
Tetapi bagi saya pribadi, semua itu adalah fenomena yang amat menarik untuk dipelajari. Tak hanya konten atau materi diskusinya saja, melainkan juga perilaku para pengguna sosial media yang merepresentasikan konsep dan pola komunikasi unik di era digital twin ini.
Meski tak semua sesuai dengan kajian psikologi digital yang menempatkan seolah selalu ada efek anonimitas yang membuat perbedaan batas pantas di dunia digital yang menjadi realitas tanpa identitas, karena di grup WA sebagian besar anggotanya justru saling mengenal dan punya kedekatan secara personal, hingga relasi yang terjadi bisa saja semacam model ekstensi dari proses komunikasi yang kadang terhambat barrier geografi.
Dan yang tak kalah penting adalah jika kita mau cermat menyimak dan mempelajari, banyak sekali sumber inspirasi, selain informasi yang bisa kita dapatkan dari proses interaksi di dunia digital saat ini. Dimana mulai bangun pagi, sampai menjelang terlelap di malam hari, gadget sebagai jendela informasi selalu ada dalam jangkauan jari.
Salah satu tokoh di salah satu grup WA yang bertajuk Forum Prakarsa, amat menarik perhatian saya. Pribadi yang sangat inspiratif, karena senantiasa mengapresiasi dalam konteks konstruktif, dan kerap memberikan komen-komen yang bersifat suportif.
Sosoknya yang seorang engineer wanita jebolan dari perguruan tinggi teknik tertua dengan lambang Ganesha, dan lama berkarir di perusahaan energi PMA, membuat saya terkenang akan ketokohan seorang pemimpin wanita nan perkasa dari Bandar Jepara.
Pas benar dengan sosok/tokoh yang tadi kita bahas di atas, yang saat ini juga tengah diminta untuk membantu suatu kementerian yang mengurusi potensi daerah pesisir, laut, dan samudera.
Pemimpin maritim yang menjadikan bandar Jepara sebagai salah satu pusat maritim Nusantara terbesar di abad ke 16 itu dikenal dengan gelarnya yang kerap dianggap keramat: Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat, yang bernama asli Retna Kencana, adalah putri dari Sultan Trenggana, Sultan Demak, dan istri dari Sultan Hadlirin atau kerap disebut Hadiri. Setelah kematian suaminya pada tahun 1549, Ratu Kalinyamat bertekad untuk membangun kekuatan maritim di Jepara.
Ia dikenal sebagai pemimpin wanita yang cakap, terutama dalam mengorganisasi kekuatan laut Jepara yang kemudian menjadi salah satu armada maritim terkuat di Nusantara.
Jepara di bawah Ratu Kalinyamat menjadi pusat kekuatan militer dan perdagangan yang penting di pantai utara Jawa. Jepara juga dikenal sebagai pusat galangan kapal yang menghasilkan berbagai jenis kapal besar, termasuk jong, yang mampu mengarungi lautan luas.
Sampai hari ini pun Jepara masih menjadi sentra kemaritiman yang antara lain ditandai dengan keberadaan pusat riset maritim atau Marine Science and Technopark yabg dikelola oleh Universitas Diponegoro, dan berlokasi di Teluk Awur.
Kembali ke era Ratu Kalinyamat yang berkuasa di Jepara pada abad ke-16, situasi dan dinamika geopolitik pada masa itu ditandai dengan dimulainya era okupansi dan imperialisme yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis dan Spanyol ke wilayah Asia dengan alasan penguasaan jalur perdagangan rempah.
Pada abad ke-16, di masa kekuasaan Ratu Kalinyamat di Jepara, Malaka adalah pusat perdagangan utama di Asia Tenggara dan memiliki posisi strategis sebagai pintu masuk ke jalur perdagangan laut antara Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan.
Portugis berhasil merebut Malaka pada tahun 1511 di bawah komando Alfonso de Albuquerque, yang menyebabkan keruntuhan Kesultanan Malaka dan mulai memonopoli perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini tentu menimbulkan keresahan dari berbagai kerajaan di Nusantara, termasuk Demak, Aceh, dan Jepara.
Pada tahun 1551, Ratu Kalinyamat mengirim ekspedisi militer pertamanya untuk menyerang Malaka. Jepara bergabung dengan Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh dalam perlawanan bersama melawan Portugis di Malaka.
Armada yang dipimpin oleh angkatan laut Jepara dan didukung oleh Kesultanan Johor dan Aceh ini membawa lebih dari 200 kapal perang dan ribuan prajurit. Tujuan utama dari ekspedisi ini adalah untuk merebut kembali Malaka dan menghentikan dominasi Portugis di Selat Malaka.
Meski pasukan gabungan ini berhasil mengepung Malaka selama tiga bulan, serangan tersebut gagal menaklukkan kota yang dipertahankan dengan baik oleh Portugis. Walaupun demikian, ekspedisi ini berhasil menunjukkan kekuatan angkatan laut Jepara dan menegaskan bahwa Ratu Kalinyamat merupakan pemimpin maritim yang tangguh.
Jong Jawa bahkan amat menggentarkan para pelaut Portugis karena ukuran dan dimensinya yang begitu luar biasa, dibanding dengan kapal Karavel mereka yang tampak mungil saat bertemu kapal-kapal Jawa.
Kapal Karavel sendiri dari catatan sejarah, banyak terinspirasi oleh kapal-kapal pedagang Arab yang berlayar di sepanjang pesisir Mediterania.
Pada masa itu kejayaan maritim yang ditandai dengan penguasaan ilmu navigasi, kartografi, dan teknologi perkapalan, yang sebagian besar terpantik oleh revolusi saintifik yang berhembus kencang dari kebangkitan peradaban Islan di timur tengah dengan keberadaan Bayt al Hikmah di Baghdad era Abbasiyah sebagai salah satu mileston nya, telah memicu perlombaan sengit dalam penjelajahan dunia baru yang diikuti dengan okupansi dan kolonialisme.
Bahkan pada masa itu, 2 negara adidaya penguasa teknologi maritim: Spanyol dan Portugis, dengan jumawa berlaku seolah hanya mereka berdualah penguasa dunia. Dari perseteruan panjang kedua negara Eropa tersebut tentang penguasaan dunia, lahirlah 2 perjanjian yang sampai saat ini masih menjadi legenda. Perjanjian Tordesillas dan Saragosa.
Perjanjian Tordesillas ditandatangani pada 7 Juni 1494, dimana perjanjian ini membagi dunia menjadi dua bagian melalui garis demarkasi yang ditarik dari Kutub Utara ke Kutub Selatan. Spanyol berkuasa di sisi barat garis, sedangkan Portugis di sisi timur.
Lalu ada perjanjian Saragosa yang ditandatangani pada 22 April 1529, perjanjian ini secara lebih tepat menentukan spesifikasi anti meridiannya sekitar 17° timur Maluku.
Kedua perjanjian ini seolah menggambarkan bahwa pada masa itu, dunia seolah hanya milik Portugis dan Spanyol saja. Maka ketika Ratu Kalinyamat dari suatu kota bandar di pulau Jawa yang bernama Jepara berani menyerang Malaka yahg berada di bawah kendali kuasa Raja Muda Portugis yang berkedudukan di Goa India, tersadarlah bangsa Eropa akan adanya kekuatan dari timur yang tak bisa dipandang sebelah mata.
Tidak berhenti pada kegagalan ekspedisi pertama, Ratu Kalinyamat kembali mempersiapkan serangan kedua ke Malaka pada tahun 1574. Kali ini, angkatan laut Jepara mengirim sekitar 300 kapal perang dengan 15.000 prajurit untuk menyerang Portugis di Malaka.
Serangan ini merupakan salah satu ekspedisi militer terbesar yang pernah dilakukan oleh kerajaan maritim Nusantara pada masa itu.
Ekspedisi kedua ini juga mengalami kendala yang berat. Meskipun pasukan Jepara berhasil mendarat dan bertempur di sekitar Malaka, pertahanan Portugis yang kokoh dan persenjataan yang lebih modern membuat serangan ini kembali gagal. Portugis menggunakan benteng pertahanan mereka yang kuat serta artileri untuk mengusir pasukan Jepara, meskipun demikian Portugis mengalami kerugian yang sangat besar.
Ketokohan dan inspirasi Ratu Kalinyamat ini semestinya menyadarkan kita akan potensi kita sebagai bangsa bahari yang pernah sedemikian berjaya di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara, bahkan dunia. Karena banyak bukti arkeologi yang menunjukan bahwa para pelaut Nusantara telah menjelajahi berbagai benua seperti pantai utara Australia, pesisir timur Afrika (Madagascar dll), Laut Arab, bahkan mungkin sampai di pantai barat benua Amerika.
Jawa dan Nusantara sendiri punya potensi geologi yang luar biasa, karena terletak di posisi yang sangat strategis di antara dua benua dan dua samudera.
Istilah Nusantara untuk jajaran kepulauan yang kini bersatu dalam negara Republik Indonesia pertama kali tercatat di prasasti Mula Malurung yang bertarikh 1177 Saka atau 1255 Masehi, yang dibuat di masa Kertanegara, pewaris tahta kerajaan Singhasari masih berposisi sebagai Yuwaraja atau putra mahkota dan berkedudukan di Dhaha.
Dalam kesejarahan geologi sendiri, kepulauan Indinesia memang memiliki banyak keistimewaan yang menghadirkan banyak potensi yang sampai hari ini masih kita nikmati. Kepulauan Indonesia terletak di pertemuan lempeng Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Interaksi antar-lempeng ini membentuk sistem kompleks zona subduksi, busur vulkanik, dan sistem patahan, yang memainkan peran penting dalam pembentukan dan aktivitas geologi saat ini di kepulauan. Wilayah ini terbagi menjadi dua zona geologi utama, yaitu:
1. Paparan Sunda (Indonesia bagian barat): Meliputi pulau-pulau Sumatra, Jawa, dan Kalimantan, di mana lempeng Indo-Australia bersubduksi di bawah lempeng Eurasia, membentuk Palung Sunda.
2. Paparan Sahul (Indonesia bagian timur): Di zona ini, lempeng Australia bertumbukan dengan lempeng Pasifik, menciptakan struktur tektonik yang kompleks di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Sejarah tektonik Nusantara dimulai pada era Paleozoikum (540-250 juta tahun yang lalu), dimana selama Paleozoikum, daratan yang kemudian membentuk Nusantara adalah bagian dari superbenua Gondwana.
Batuan sedimen dan fosil dari periode ini, terutama di wilayah Sumatra dan Kalimantan, menunjukkan bahwa daerah-daerah tersebut sebagian besar berada di bawah laut dangkal.
Aktivitas tektonik pada periode ini relatif minimal, tetapi busur vulkanik awal mulai terbentuk karena adanya peristiwa subduksi di tepian Gondwana, yang menjadi fondasi bagi perkembangan tektonik berikutnya.
Lalu tiba era Mesozoikum (250-65 juta tahun yang lalu), dimana pecahnya benua purba Gondwana pada era ini menandai perubahan besar dalam lanskap tektonik di wilayah ini. Pada periode ini, daratan India dan Australia mulai bergerak ke arah utara.
Saat lempeng Indo-Australia bertumbukan dengan lempeng Eurasia, terbentuklah zona subduksi yang menyebabkan perkembangan busur vulkanik. Aktivitas magmatis dan vulkanik yang signifikan terjadi pada periode ini, terutama di sepanjang busur Sunda.
Era Mesozoikum juga penting karena terbentuknya cekungan-cekungan sedimen akibat rifting, yang kemudian menjadi sumber kaya deposit hidrokarbon. Bukti stratigrafi menunjukkan bahwa sebagian besar Sumatra, Jawa, dan Kalimantan berada di bawah laut, dan pembentukan formasi batu kapur serta serpih yang luas dari periode ini kini terpapar di wilayah tersebut.
Kemudian pada era Kenozoikum (65 juta tahun yang lalu – sekarang) terjadi aktivitas tektonik paling signifikan yang membentuk kepulauan Indonesia yang kita kenal saat ini. Subduksi lempeng Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia di sepanjang Palung Sunda menciptakan Busur Sunda, rantai gunung api aktif yang membentang dari Sumatra hingga Laut Banda.
Proses subduksi ini bertanggung jawab atas pembentukan daerah pegunungan dan pulau-pulau vulkanik, termasuk gunung-gunung berapi ikonik seperti Krakatau dan Gunung Merapi.
Tumbukan lempeng Australia dengan lempeng Pasifik di Indonesia timur menghasilkan struktur tektonik kompleks di Sulawesi dan Maluku, yang ditandai dengan zona patahan aktif dan aktivitas seismik yang sering terjadi. Wilayah Indonesia timur adalah salah satu kawasan dengan aktivitas tektonik paling tinggi di dunia, dengan interaksi beberapa lempeng mikro, seperti lempeng Kepala Burung dan Busur Banda.
Akhir era Kenozoikum juga menjadi saksi pengangkatan Pegunungan Barisan di Sumatra, Busur Vulkanik Jawa, dan pembentukan palung laut dalam seperti Palung Jawa. Aktivitas vulkanik pada periode ini berkontribusi pada deposit mineral yang kaya, terutama emas dan tembaga, yang sekarang ditemukan di Indonesia, termasuk tambang Grasberg yang terkenal di Papua.
Secara lebih terperinci, sejarah geologi di era Kenozoikum ini terbagi lagi atas beberapa periode utama, yang jika diamati di pulau Jawa (tempat saya tinggal saat ini), dapat memberikan beberapa pengetahuan berharga terkait perkembangan geologi yang berhubungan erat dengan berbagai kondisi saat ini.
Bahkan beberapa area seperti kawasan Bumiayu dan Karangsambung di pesisir selatan Jawa, dapat menjadi living laboratory yang sangat baik untuk mempelajari lini masa dalam sejarah kebumian Indonesia.
Khusus di pulau Jawa,pada 3 periode di era Kenozoikum memberikan warisan berupa bentuk dan bentang alam yang menjadikan rupa bumi sebagaimana yang hari ini dapat kita amati. Pertama ada periode Paleogen (65-23 juta tahun yang lalu), dimana periode ini menandai fase awal pembentukan Pulau Jawa. Aktivitas vulkanik pada periode ini mulai membentuk beberapa gunung api bawah laut dan terangkatnya sebagian daratan Jawa. Stratigrafi batuan dari periode ini menunjukkan adanya batuan vulkanik tua, termasuk basal dan andesit.
Disusul oleh periode Neogen (23-2,6 juta tahun yang lalu), dimana pada periode Neogen, busur vulkanik Jawa semakin aktif, dan pulau mulai terbentuk secara lebih nyata di atas permukaan laut. Vulkanisme terus berlanjut, menghasilkan lapisan-lapisan tebal batuan vulkanik, termasuk tuf dan lahar, yang ditemukan di berbagai bagian pulau. Selain itu, sedimentasi dari sungai besar mulai menumpuk di dataran rendah, membentuk delta dan lembah sungai.
Terakhir adalah periode Kuarter (2,6 juta tahun yang lalu – sekarang), dimana pada periode Kuarter, Pulau Jawa mencapai bentuk morfologi modernnya. Aktivitas vulkanik tetap dominan, dan banyak gunung berapi aktif yang masih ada hingga saat ini mulai terbentuk pada periode ini. Letusan vulkanik besar pada periode Kuarter juga berdampak pada perkembangan flora dan fauna di wilayah ini. Vulkanisme Jawa dikenal dengan tipe strato-volcano, yang ditandai dengan letusan eksplosif dan produksi material piroklastik yang melimpah.
Kondisi Jawa dan kepulauan Indonesia yang terdiri dari busur vulkanik, garis pantai, dan laut pedalaman ini menjadi sangat unik, hingga jamak jika kita berbangga dengan segenap anugerah sumber daya ini. Bahkan kondisi kepulauan dan perairan yang khas inilah yang kemudian mendasari lahirnya berbagai ketentuan hukum yang kemudian diratifikasi lembaga dunia.
Saat ini kita mengenal konsep Zona Ekonomi Eksklusif atau ZEE. Dimana ZEE adalah wilayah lautan yang berada di luar laut teritorial suatu negara dengan jarak 200 mil laut. Dalam ZEE, negara pantai memiliki hak atas kekayaan alam yang ada di dalamnya, termasuk hak untuk:
* Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber daya alam
* Penelitian ilmiah kelautan
* Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
* Pendirian dan penggunaan pulau buatan, instalasi, dan bangunan
* Kebebasan bernavigasi dan terbang di atasnya
* Penanaman kabel dan pipa
Konsep ZEE diadopsi melalui Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) pada tahun 1982. ZEE berfungsi sebagai batasan agar negara asing tidak memanfaatkan sumber daya alam di wilayah tersebut.
Konsep inj juga mungkin terlahir sebagai bagian dari penjabaran isi sebuah deklarasi bersejarah yang dirumuskan oleh Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja pada 13 Desember 1957, yang isinya antara lain ialah: 1) Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri, 2) Bahwa sejak dahulu kala kepulauan Nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan, 3) Ketentuan Ordonansi 1939 tentang Ordonansi dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia.
Sebagai bangsa bahari yang besar dan sarat dengan kejayaan maritim sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh seorang Ratu Kalinyamat dari Jepara, eloklah kiranya kita terus berupaya untuk mengoptimalkan segenap anugerah berupa potensi sumber daya yang dapat kita gunakan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa. Nusantara itu kaya dan bisa berjaya jika dikelola dengan cerdas dan mengintegrasikan segenap daya dengan semangat kolaborasi untuk kepentingan bersama.
Sejarah telah mencatat, bahwa penguasaan sektor bahari adalah kata kunci. Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai bangsa maritim, dengan kapal menjadi bagian penting dari peradaban bahari sejak awal berdirinya kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Kapal-kapal Nusantara pada masa itu tidak hanya digunakan untuk perdagangan, tetapi juga untuk ekspansi kekuasaan, transportasi, dan diplomasi. Dari era Tarumanegara dan Kutai hingga Majapahit, berbagai jenis kapal berkembang sesuai dengan kebutuhan dan teknologi yang tersedia.
Sejarah bahari Nusantara telah tercatat sejak era Tarumanegara (358–669 M) dan Kutai (350–400 M), dimana kedua kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di Nusantara yang terletak di Jawa Barat (Tarumanegara) dan Kalimantan (Kutai). Meskipun tidak banyak peninggalan langsung yang tersisa mengenai kapal dari era ini, bukti arkeologis dan catatan sejarah menunjukkan bahwa kapal digunakan untuk perdagangan di sepanjang sungai dan pesisir.
Jenis kapal yang digunakan pada era ini kemungkinan besar adalah perahu bercadik atau perahu kecil dengan penyeimbang (outrigger) di sisi-sisinya, yang memungkinkan kapal lebih stabil di lautan. Perahu bercadik telah dikenal sejak awal peradaban di Asia Tenggara dan digunakan untuk berlayar di lautan luas maupun sungai.
Mataram Kuno (732-928 M) , meskipun dikenal sebagai kerajaan agraris, ternyata juga memiliki pengaruh maritim yang signifikan. Terletak di Jawa Tengah, kerajaan ini sering berinteraksi dengan pedagang dari Asia Selatan dan Asia Tenggara. Bukti arkeologis dari prasasti-prasasti seperti Prasasti Kalasan menunjukkan bahwa kapal-kapal besar digunakan untuk keperluan perdagangan dan transportasi, baik barang maupun manusia.
Kejayaan bahari di era ini juga dapat dilihat pada pahatan di relief candi Borobudur. Di candi Borobudur, yang dibangun pada abad ke-8 M di era Dinasti Sailendra, terdapat relief yang memperlihatkan berbagai jenis kapal yang digunakan di Nusantara.
Relief di dinding candi menggambarkan kapal-kapal bercadik yang kemungkinan besar digunakan untuk pelayaran jarak jauh dan perahu tanpa cadik yang digunakan di perairan sungai atau pesisir.
Salah satu relief terkenal menggambarkan kapal bercadik besar yang dilengkapi dengan layar segi empat dan beberapa pendayung. Kapal ini diperkirakan digunakan untuk perdagangan jarak jauh, mungkin mencapai wilayah India dan Afrika.
Wilayah Nusantara bahkan telah dikenal sebagai pusat perdagangan maritim global sejak abad ke-1 Masehi. Posisi geografisnya yang strategis, terletak di antara dua samudra (Hindia dan Pasifik) serta dua benua (Asia dan Australia), menjadikannya jalur perlintasan penting bagi perdagangan internasional.
Sejarah maritim Nusantara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan kerajaan-kerajaan besar yang mengandalkan laut sebagai kekuatan ekonomi, politik, dan militer mereka. Hingga penting bagi kita untuk mempelajari dinamika sejarah maritim Nusantara, dengan mengidentifikasi pola interaksi antar kerajaan lokal, serta pengaruh kekuatan asing dari India, Tiongkok, Timur Tengah, hingga Eropa.
Kerajaan Sriwijaya (abad ke7 sampai dengan 13), yang berpusat di Sumatra, adalah kekuatan maritim yang paling dominan di Asia Tenggara pada abad ke-7 hingga abad ke-13. Dengan armada laut yang kuat, Sriwijaya mengendalikan perdagangan di Selat Malaka, rute maritim vital yang menghubungkan perdagangan antara India dan Tiongkok.
Keberhasilan Sriwijaya sebagian besar ditopang oleh kemampuannya memonopoli distribusi rempah-rempah, terutama dari wilayah Kepulauan Maluku. Sumber primer seperti catatan dari pendeta Buddha asal Tiongkok, I-Tsing, menyebutkan Sriwijaya sebagai pusat pembelajaran agama Buddha sekaligus pusat perdagangan penting.
Sriwijaya tidak hanya memainkan peran sebagai penghubung perdagangan tetapi juga sebagai kekuatan militer. Kapal-kapal Sriwijaya, yang disebut jong, merupakan kapal layar besar yang digunakan untuk mengangkut komoditas dan pasukan militer. Kekaisaran ini juga melakukan diplomasi maritim dengan kerajaan-kerajaan di India dan Tiongkok, memperkuat kedudukan mereka dalam perdagangan internasional.
Kemudian tentu saja ada peran Majapahit (1293-1527), yang merupakan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara, dengan kekuatan laut yang memungkinkan mereka menguasai wilayah yang luas, termasuk sebagian besar wilayah Indonesia modern dan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Nagarakretagama, teks sastra dari masa Majapahit, mencatat kekuatan maritim Majapahit yang mampu mengirim ekspedisi militer ke berbagai penjuru Nusantara. Kekuatan maritim Majapahit tercermin dalam penggunaan kapal jong yang lebih besar dan lebih canggih dibandingkan masa Sriwijaya.
Jong Majapahit digunakan baik untuk perdagangan maupun ekspedisi militer, termasuk dalam perlawanan mereka terhadap pengaruh asing seperti ekspansi Tiongkok dan kedatangan Portugis di Malaka. Dengan jaringan perdagangan yang mencakup Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan, Majapahit menjadi pusat perdagangan rempah-rempah yang menghubungkan dunia timur dan barat.
Catatan sejarah primer, mulai dari era I-tsing, Ma Huan, sampai Tome Pires menunjukkan bahwa semenjak dahulu kala, bangsa Indonesia yang bermukim di Nusantara adalah bangsa bahari yang sangat handal dalam mengarungi dan mengelola potensi sumber daya baharinya.
Dari kajian antropologi pun diketahui sebagian besar suku-suku di Indonesia adalah manusia-manusia bahari yang ruang hidup serta tata nilainya amat berkorelasi dengan laut dan Samudera. Ada suku Sawang, suku Bajau, suku Nias, Bugis, Kei, dan banyak lainnya yang hidup secara arif dengan memanfaatkan anugerah bahari secara bijak dan bestari.
Semoga kearifan ini pulalah yang menjadi dasar pijakan bagi kita dalam mengelola anugerah potensi sumber daya maritim Indonesia, yang didalamnya terkandung potensi sumber daya hayati, energi berbasis hidrokarbon, energi baru dan terbarukan, potensi farmasi, potensi kebersinambungan lingkungan terkait siklus karbon, sampai potensi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan.
Mari kita jadikan semangat patriotisme Ratu Kalinyamat, kecerdikan PM Djuanda Kartawidjaja, dan kearifan suku-suku pesisir Nusantara sebagai acuan dalam mengoptimalkan potensi bahari yang telah dianugerahkan kepada bangsa ini. 🙏🏾🩵🇲🇨
Bahan Bacaan Lanjut
1. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia, 2005.
2. Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680: Expansion and Crisis. Yale University Press, 1993.
3. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press, 2001.
4. Andaya, Leonard Y. The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. University of Hawaii Press, 1993.
5. Pires, Tomé. The Suma Oriental of Tome Pires. London: Hakluyt Society, 1944.
6. I-Tsing. Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Sea. 689 M.
7. Ma Huan. Ying-yai Sheng-lan. 1433.
8. Prapanca, Mpu. Negarakertagama. 1365 M.
9. Battutah, Ibn. Rihla. 1325-1354.
10. Goens, Riclof van. Historisch Verhael. 1646.
11. Hall, R. (2002). Cenozoic Geological and Plate Tectonic Evolution of SE Asia and the SW Pacific: Computer-based Reconstructions, Model and Animations. Journal of Asian Earth Sciences, 20(4), 353-434.
12. Clements, B., & Hall, R. (2011). A Neogene and Quaternary Tectonic Model for East Java, Indonesia. Tectonophysics, 504(1-4), 18-30.