Produksi Radiofarmaka F-18, Upaya Biofarma untuk Menyehatkan Bangsa
Penyakit kanker merupakan penyebab kematian nomor dua di dunia dengan jumlah 9,6 juta kematian pertahun. Sedangkan menurut data Kemenkes RI tahun 2022, angka kejadian penyakit kanker di Indonesia adalah sebesar 136 orang per 100.000 penduduk dan menempati urutan ke-8 di Asia Tenggara. Sementara berdasarkan data dari Globocan yang dirilis badan kesehatan dunia (WHO), di Indonesia, pada tahun 2020 terdapat 396.914 kasus baru, dan 234.511 kematian akibat kanker.
Bahkan data terbaru yang dilansir oleh Bapak Menteri Kesehatan saat meresmikan penggunaan (kick-off) fasilitas produksi radiofarmaka milik Biofarma, menunjukkan bahwa kasus keganasan di Indonesi telah mencapai 408.661 kasus per tahun dengan angka 242.988 kematian per tahun.
Sungguh suatu masalah kesehatan yang sangat serius dan membutuhkan penanganan komprehensif yang bersifat hulu-hilir, mulai dari program promosi kesehatan, preventif, deteksi dini, kecepatan dan tingkat akurasi diagnosis awal yang presisi, teknologi dan ketrampilan medis dalam pengelolaan klinisnya, sampai dengan penyediaan infrastruktur, dan akses terhadap layanan yang juga meliputi aspek pembiayaan dan jaminan kesehatan nasional.
Salah satu upaya yang merupakan terobosan inovatif dan kolaboratif yang diinisiasi oleh holding BUMN farmasi yang berfokus pada pengembangan dan produksi produk berteknologi lifescience Biofarma, adalah pengembangan fasilitas Cyclotron untuk produksi radiofarmaka, agen pendeteksi kanker berupa zat radioaktif FDG (Fluorodeoxyglucose) di Kawasan Industri Cikarang, Jawa Barat.
Mengapa langkah ini menjadi begitu penting dan dianggap sangat strategis, hingga menjadi concern bersama para pemangku kebijakan dan kepentingan di sistem pelayanan kesehatan Indonesia?
Karena keberadaan pusat produksi isotop radiofarmaka ini adalah salah satu simpul utama dalam upaya mendorong kemandirian dalam proses deteksi dini dan penegakan diagnosis berakurasi tinggi, yang amat penting dalam upaya mereduksi angka kesakitan dan kematian akibat kasus keganasan (karsinoma atau kanker).
Dengan diagnosis presisi berakurasi tinggi yang difasilitasi oleh teknologi terkini seperti PET Scan, maka proses terapi dapat dilakukan di tahap dini dengan target terapi yang menjamin tingkat akurasi, dan pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat kesembuhan dan menurunkan angka kematian.
Agar kita memiliki gambaran yang lebih komprehensif tentang arti penting dan strategisnya proses produksi radiofarmaka ini, maka ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu metoda pemeriksaan PET Scan beserta teknologi dan manfaatnya, serta peran isotop atau radiofarmaka di dalamnya.
Teknologi pencitraan diagnosis dengan sistem PET (Positron Emission Tomography) terdiri dari beberapa komponen utama yang memungkinkan pencitraan tiga dimensi dari distribusi radiofarmaka di dalam tubuh.
Sistem PET menggunakan detektor berbasis kristal scintillator, seperti Lutetium Oxyorthosilicate (LSO), Bismuth Germanate (BGO), atau Gadolinium Oxyorthosilicate (GSO). Kristal ini berfungsi untuk mendeteksi sinar gamma yang dipancarkan selama proses annihilation.
Kemampuan detektor untuk menangkap sinar gamma secara akurat dalam waktu sesingkat mungkin dikenal sebagai resolusi temporal. Detektor modern memiliki resolusi temporal sekitar 2-3 nanodetik, yang penting untuk meningkatkan kualitas gambar.
Sedangkan resolusi spasial mencerminkan seberapa jelas dan rinci gambar yang dihasilkan. Sistem PET scan terbaru memiliki resolusi spasial sekitar 4-5 mm pada titik pusat bidang gambar.
Sistem pemindaian lingkaran (ring scanner) pada PET Scan terdiri dari susunan detektor yang melingkari tubuh pasien, biasanya dalam konfigurasi 3D. Pemindai ini mencakup ratusan hingga ribuan modul detektor yang diatur dalam cincin mengelilingi tubuh.
Sistem pemindaian ini mampu mendeteksi sinar gamma yang dihasilkan dari annihilation positron-elektron pada berbagai sudut, hingga memungkinkan rekonstruksi gambar secara volumetrik.
PET menggunakan algoritma rekonstruksi gambar seperti Filtered Back Projection (FBP) dan Iterative Reconstruction untuk memetakan distribusi radioisotop di dalam tubuh.
Proses rekonstruksi ini memungkinkan penciptaan gambar tiga dimensi yang menunjukkan akumulasi tracer radioaktif di area tertentu, misalnya jaringan kanker yang memiliki aktivitas metabolik tinggi.
Salah satu teknologi kunci dalam PET scan adalah coincidence detection (coincidence timing circuitry), yaitu sistem yang mendeteksi dua foton sinar gamma yang dihasilkan dari annihilation dan bergerak dalam arah berlawanan. Sistem ini hanya mencatat kejadian annihilation yang terdeteksi dalam waktu yang sangat singkat, biasanya dalam kisaran 5-10 nanodetik.
Banyak sistem PET modern yang dikombinasikan dengan pemindai Computed Tomography (CT) untuk memberikan gambaran anatomi dan fungsional sekaligus. Sistem hibrida ini meningkatkan akurasi diagnosis dengan memadukan citra fungsional dari PET dengan citra anatomi rinci dari CT.
Resolusi CT biasanya sekitar 0,5-1 mm, yang memungkinkan deteksi detail anatomi seperti pembuluh darah atau organ kecil yang tidak dapat divisualisasikan dengan baik hanya menggunakan PET.
Radioisotop yang paling umum digunakan dalam PET scan adalah Fluor-18 (18F), yang memiliki waktu paruh sekitar 110 menit. Radioisotop ini biasanya diinkorporasikan ke dalam molekul Fluorodeoxyglucose (FDG), analog glukosa, yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas metabolik dalam tubuh.
Bagaimana cara kerja PET Scan dalam proses penegakan diagnosis?
Sebelum PET scan dilakukan, pasien disuntik dengan radiofarmaka yang mengandung isotop radioaktif, umumnya 18F-FDG. FDG adalah glukosa yang telah dimodifikasi secara kimia dengan menggantikan satu gugus hidroksilnya dengan atom fluor.
Pasien akan diminta untuk beristirahat selama 30-60 menit setelah injeksi, memungkinkan radiofarmaka menyebar dan terakumulasi di jaringan tubuh yang memiliki aktivitas metabolik tinggi.
Kemudian sistem akan mendeteksi annihilation positron-elektron, di mana setelah disuntik, 18F-FDG akan terdistribusi di seluruh tubuh. Di area dengan aktivitas metabolik tinggi, seperti sel kanker, FDG akan diakumulasi dalam jumlah yang lebih besar.
Saat isotop F-18 meluruh, ia memancarkan positron yang akan bertemu dengan elektron di jaringan tubuh dan mengalami annihilation. Proses annihilasi menghasilkan dua foton gamma dengan energi 511 keV, yang bergerak dalam arah berlawanan (sudut 180 derajat).
Detektor di sekitar tubuh pasien menangkap kedua foton gamma ini secara bersamaan, yang disebut sebagai coincidence detection. Berdasarkan waktu deteksi foton, sistem menghitung di mana annihilasi terjadi dan kemudian memetakannya.
Data dari banyak proses annihilasi yang terdeteksi oleh detektor digunakan untuk merekonstruksi gambar tiga dimensi dari distribusi radiofarmaka dalam tubuh.
Proses rekonstruksi gambar ini dilakukan menggunakan algoritma seperti Filtered Back Projection (FBP) atau Iterative Reconstruction, yang menganalisis lintasan foton untuk membuat gambar dari aktivitas metabolik jaringan.
Dokter ahli radiologi akan menganalisis gambar untuk melihat distribusi radiofarmaka di dalam tubuh. Area yang menunjukkan akumulasi tinggi radiofarmaka, misalnya sel-sel kanker, akan tampak sebagai area terang pada citra PET.
Dengan memadukan PET dengan CT, dokter dapat melihat secara detail posisi anatomi dan karakteristik fungsional dari jaringan yang tidak normal.
Penggunaan PET Scan antara lain adalah dalam penegakan diagnosis di bidang onkologi, dimana PET scan adalah metode standar untuk mendeteksi tumor, memantau perkembangan kanker, dan mengevaluasi respons terhadap terapi. Karena kanker memiliki metabolisme yang lebih tinggi dibandingkan jaringan normal, tracer seperti 18F-FDG (Fluorodeoxyglucose) memungkinkan visualisasi sel-sel tumor yang aktif secara metabolik.
Sementara di bidang neurologi, PET scan membantu dalam diagnosis penyakit Alzheimer, epilepsi, dan gangguan otak lainnya. Dalam Alzheimer, PET dapat mendeteksi penumpukan plak beta-amiloid di otak. Sedangkan dalam kasus-kasus Epilepsi, PET Scan dapat membantu abnormal guna mendukung rencana operasi bagi pasien yang refraktori terhadap terapi obat.
Di bidang kardiologi PET Scan juga dapat digunakan untuk mengevaluasi perfusi miokard dan menentukan viabilitas miokardium setelah serangan jantung, yang membantu dalam merencanakan intervensi kardiologis. PET Scan juga dapat mengidentifikasi daerah otot jantung yang mengalami iskemia dan adanya sumbatan pada arteri koronaria.
Tentu saja teknologi canggih PET Scan ini tidak dapat berjalan tanpa salah satu unsur atau elemen utamanya: radiofarmaka. Radiofarmaka berupa isotop F18/FGD. Lalu bagaimana radiofarmaka ini dihasilkan?
F-18 adalah salah satu radioisotop yang paling umum digunakan dalam PET, dengan waktu paruh sekitar 110 menit. Untuk memproduksi F-18, diperlukan perangkat cyclotron canggih, yang merupakan akselerator partikel yang mempercepat proton hingga berkecepatan tinggi dan menembakkannya ke target yang mengandung oksigen-18 (O-18). Reaksi nuklir yang terjadi antara proton dan O-18 menghasilkan F-18.
Tahapan Produksi F-18:
1. Akselerasi Proton: Cyclotron mempercepat proton hingga mencapai energi yang cukup untuk memicu reaksi nuklir.
2. Penembakan Proton pada Target O-18: Proton ditabrakkan pada target yang mengandung O-18, menghasilkan reaksi nuklir yang menciptakan F-18.
3. Pemurnian F-18: Setelah F-18 terbentuk, radioisotop ini harus dimurnikan untuk digunakan dalam pembuatan radiofarmaka seperti 18F-FDG.
Cyclotron modern sebagaimana yang dimiliki oleh Biofarma, dilengkapi dengan teknologi pengendalian yang lebih presisi, memungkinkan produksi radioisotop yang lebih efisien dan dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Pengembangan terbaru juga memungkinkan cyclotron untuk memproduksi radioisotop lain selain F-18, seperti Carbon-11, Nitrogen-13, dan Oksigen-15, yang semuanya memiliki peran penting dalam penelitian medis dan klinis.
Mengapa Biofarma memilih Fluor sebagai isotop yang diproduksi? Salah satunya karena karakteristik khas dari atom F itu sendiri, dan tentu saja kompatibilitas dengan teknologi PET Scan yang ada saat ini.
Fluor adalah unsur kimia dengan simbol F dan nomor atom 9. Atom ini adalah unsur halogen paling ringan dalam tabel periodik dan sangat reaktif. Fluor umumnya ditemukan dalam bentuk senyawa, karena sangat jarang muncul dalam bentuk bebas di alam akibat reaktivitasnya yang ekstrem.
Fluor memiliki elektronegativitas tertinggi di antara semua unsur, yaitu 3,98 dalam skala Pauling. Hal ini membuat fluor sangat reaktif dan cenderung membentuk ikatan yang kuat dengan hampir semua elemen lain, terutama logam.
Fluor sering membentuk senyawa seperti garam (misalnya natrium fluorida, NaF) atau gas beracun (seperti fluorin, F₂). F juga mampu membuat ikatan yang sangat kuat dengan karbon, hingga dalam banyak aplikasi medis, termasuk PET scan, fluor digunakan dalam bentuk senyawa organik seperti 18F-Fluorodeoxyglucose (FDG), di mana fluor membentuk ikatan yang sangat kuat dengan karbon dalam molekul glukosa.
Fluor hanya memiliki satu isotop stabil, yaitu Fluor-19 (F-19), yang terdiri dari 9 proton dan 10 neutron. Namun, dalam aplikasi kedokteran nuklir, isotop yang digunakan adalah Fluor-18 (F-18), isotop radioaktif dari fluor.
Fluor-18 adalah isotop radioaktif dengan karakteristik unik yang membuatnya sangat cocok untuk digunakan dalam pencitraan medis, terutama dalam PET scan.
Sama seperti isotop fluor lainnya, F-18 memiliki 9 proton di inti atomnya. Namun, perbedaannya terletak pada jumlah neutronnya, yaitu 9 neutron, yang menjadikannya isotop tidak stabil.
F-18 meluruh melalui peluruhan beta-plus (β⁺), atau peluruhan positron. Dalam peluruhan ini, sebuah proton di inti atom F-18 berubah menjadi neutron, memancarkan sebuah positron dan sebuah neutrino.
Reaksi peluruhan F-18 dapat ditulis sebagai berikut:
F-18 berubah menjadi Oksigen-18 (O-18), dengan pelepasan satu positron (e⁺) dan neutrino elektron (νₑ).
F-18 memiliki waktu paruh sekitar 110 menit. Ini berarti separuh dari radioisotop F-18 yang disuntikkan ke tubuh pasien akan meluruh dalam waktu 110 menit. Waktu paruh ini cukup panjang untuk memungkinkan pencitraan yang efektif, tetapi cukup pendek sehingga radiasi tidak tinggal di dalam tubuh dalam waktu lama.
Positron yang dihasilkan oleh F-18 memiliki energi rata-rata sekitar 250 keV, yang cukup rendah sehingga memberikan resolusi gambar yang baik, tetapi tidak menimbulkan terlalu banyak efek biologis negatif.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, F-18 meluruh melalui peluruhan beta-plus, dan menghasilkan positron. Setelah positron dipancarkan, ia akan dengan cepat berinteraksi dengan elektron di jaringan sekitar, menghasilkan fenomena yang disebut annihilation (penghancuran pasangan positron-elektron). Proses annihilasi ini menghasilkan dua foton sinar gamma dengan energi masing-masing 511 keV yang bergerak dalam arah berlawanan pada sudut 180°. Foton gamma ini kemudian ditangkap oleh detektor dalam mesin PET untuk membuat gambar distribusi radioisotop di tubuh.
F-18 diproduksi di fasilitas khusus yang menggunakan cyclotron, yaitu akselerator partikel yang mempercepat proton ke kecepatan sangat tinggi. Proses produksi F-18 melibatkan penembakan proton pada target yang mengandung Oksigen-18 (O-18), isotop stabil dari oksigen.
Dalam reaksi ini, proton bertabrakan dengan inti O-18 dan menggantikan neutron, menghasilkan F-18 dan satu neutron. Setelah F-18 diproduksi, ia biasanya dimurnikan dan digunakan dalam pembuatan radiofarmaka seperti 18F-Fluorodeoxyglucose (FDG). FDG adalah senyawa glukosa yang telah dimodifikasi dengan isotop F-18, dan digunakan untuk memetakan aktivitas metabolik di dalam tubuh. Sel yang memiliki aktivitas metabolik tinggi, seperti sel kanker, akan menyerap lebih banyak FDG, sehingga lebih mudah dideteksi oleh PET scan.
Demikian kisah singkat dari atom Fluor yang dipilih menjadi radiofarmaka, juga perjalanannya hingga dapat menjadi isotop radioaktif yang kompatibel dengan kebutuhan teknologi PET Scan.
Dari mempelajari berbagai data di atas, semoga kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa upaya strategis Biofarma dalam mengembangkan pusat produksi radiofarmaka di kawasan industri Cikarang, adalah salah satu langkah penting dalam upaya mengatasi salah satu masalah kesehatan yang berdampak signifikan pa dan kualitas hidup masyarakat Indonesia, yaitu kanker.
Semoga langkah strategis ini segera dapat ditindaklanjuti dan didukung penuh oleh fasilitas-fasilitas kesehatan rujukan, utamanya yang menyediakan layanan pengelolaan kanker secara terintegrasi, dengan menyiapkan sarana dan prasarana pendukung beserta sumber daya manusianya, termasuk pengadaan alat PET Scan, hingga langkah rintisan Biofarma ini dapat terus memberikan dampak positif secara berkesinambungan.
Bahan Bacaan Lanjut
1. Cherry, S. R., Sorenson, J. A., & Phelps, M. E. (2012). Physics in Nuclear Medicine. Elsevier Health Sciences.
2. IAEA (2021). Cyclotron Produced Radionuclides: Principles and Practice. International Atomic Energy Agency.
3. Alberts, B., Johnson, A., Lewis, J., et al. (2014). Molecular Biology of the Cell. Garland Science.
4. Wahl, R. L., & Buchanan, J. W. (2006). Principles and Practice of Positron Emission Tomography. Lippincott Williams & Wilkins.
5. Fahey, F. H. (2002). Data acquisition in PET imaging. Journal of Nuclear Medicine Technology, 30(2), 39-49.
6. 2. Gambhir, S. S. (2004). Molecular imaging of cancer with positron emission tomography. Nature Reviews Cancer, 4(11), 891-899.
7. Ben-Haim, S., & Ell, P. (2009). 18F-FDG PET and PET/CT in the evaluation of cancer treatment response. Journal of Nuclear Medicine, 50(1), 88-99.
8. Tai, Y. C., & Laforest, R. (2005). Instrumentation aspects of animal PET. Annual Review of Biomedical Engineering, 7, 255-285.
9. Dilsizian, V., & Bacharach, S. L. (2014). PET myocardial perfusion imaging: tracer kinetic modeling and clinical applications. Journal of Nuclear Cardiology, 21(4), 822-833.