Tauhid Nur Azhar

Peran Ilmu Antropologi di Era Digital

Ada sebuah buku yang berkisah tentang suku-suku yang hidup dan tinggal di Lembah Baliem Papua, judulnya: People of The Valley. Penulisnya adalah seorang antropolog wanita asal Amerika Serikat. Wyn Sargent namanya.

Pada tanggal 1 Oktober 1973 Wyn Sargent mendarat di Wamena. Ia bermaksud untuk melakukan penelitian antropologi secara mendalam tentang suku-suku yang berada di Lembah Baliem, dan ia memulainya dengan tinggal bersama suku Analaga.

Selain mengobservasi dan mencatat secara cermat berbagai hal terkait dengan aktivitas harian dan budaya suku Analaga, Wyn juga berkeliling di antara suku-suku Lembah Baliem. Tak hanya meneliti dan mengobservasi, melainkan ia juga menjalankan program pelayanan kesehatan dasar yang bersifat sosial.

Tapi ternyata tak semua suku di Lembah Baliem menyetujui aktivitas Wyn tersebut. Akibatnya dalam salah satu perjalanan bermisi sosial di Lembah Baliem, rombongan Wyn dihadang oleh 30 orang prajurit khusus suku Dani, yang ternyata mendapat perintah langsung dari ketua suku legendarisnya, Obahorok.

Walhasil sempat terjadj ketegangan antar suku saat itu. Mengapa? Karena sebagian suku di Lembah Baliem senang dengan kehadiran Wyn dan aktivitasnya. Sementara sebagian lainnya kurang berkenan, karena merasa kehadiran Wyn pada gilirannya takkan jauh dari upaya eksploitasi terselubung terhadap kemandirian suku-suku Papua di Lembah Baliem.

Karena adanya perbedaan pendapat yang kian meruncing itu, hampir saja terjadi perang antar suku di Lembah Baliem. Untung saja Wyn yang menyadari bahwa kehadirannya lah pangkal persoalan dari segenap keriuhan tersebut, menawarkan diri untuk menjadi bagian dari solusi.

Wyn bersedia dinikahi oleh Obahorok, sebagai bagian dari proses diplomasi kultural. Terlepas apakah ada rasa cinta di antara mereka, yang sampai hari ini belum terkonfirmasi. Tetapi dampaknya nyata, tensi ketegangan di Lembah Baliem sontak reda.

Akan tetapi ketenangan itu tak bertahan lama, karena isu kehadiran dan perkawinan Wyn justru mengundang kontroversi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk otoritas kekuasaan pada saat itu yang kemudian memutuskan untuk mendeportasi Wyn Sargent ke Amerika Serikat.

Terlepas dari cerita di balik kontroversi seorang Wyn Sargent yang menikahi Obahorok, dengan sejuta tanya yang tersisa terkait dengan motif dan latar belakangnya, saya tetap beranggapan bahwa kapabilitas Wyn sebagai seorang antropolog yang berani untuk melakukan model penelitian in depth study yang rada nekat itu cukup luar biasa.

Mengapa? Karena antropologi memang suatu disiplin ilmu yang sangat unik. Ilmu ini berkelindan erat dengan evolusi peradaban manusia dan proses utamanya adalah mempelajari budaya yang lahir dari rahim peradaban dari berbagai kelompok masyarakat, suku, dan bahkan negara di seluruh dunia.

Dari beberapa literatur terkait, antropologi kerap didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari manusia secara holistik, mencakup aspek fisik, sosial, budaya, hingga lingkungannya.

Seiring dengan perkembangan zaman, antropologi telah mengalami transformasi signifikan dari sekadar studi mengenai masyarakat adat dan budaya menjadi kajian yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk interaksi dengan teknologi modern.

Pada masa awal yang dikenal sebagai masa klasik dari abad ke 18 sampai awal abad ke-20, antropologi dipengaruhi oleh pemikiran kolonial Eropa. Penjelajah dan misionaris sering kali mengamati masyarakat non-Barat, dengan tujuan untuk memetakan perbedaan antara masyarakat primitif dan masyarakat beradab.

Salah satu tokoh penting antropologi di masa itu adalah Edward Burnett Tylor (1832–1917) yang memandang budaya sebagai entitas yang berkembang secara evolusioner. Teori evolusi sosial ini menganggap budaya berkembang dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang lebih kompleks.

Pada paruh awal pertengahan abad ke 20, antropologi mulai bergerak menuju pendekatan yang lebih ilmiah dan sistematis dengan munculnya fungsionalisme. Pendekatan ini, dipelopori oleh Bronislaw Malinowski, yang lebih menekankan pada pentingnya melihat budaya sebagai sistem yang saling terkait, di mana setiap elemen memiliki fungsi dalam mendukung keseluruhan struktur masyarakat.

Konsep keterkaitan fungsional ini juga diusung oleh Alfred Radcliffe-Brown yang kerap menekankan pendekatan struktural-fungsionalisme, di mana masyarakat dipandang sebagai sistem yang saling terkait dengan struktur sosial yang memelihara keseimbangan.

Lalu pada pertengahan abad ke-20 muncul pendekatan strukturalis, yang antara lain merupakan buah pemikiran Claude Lévi-Strauss.

Strukturalisme ala Strauss ini berfokus pada hubungan antara unsur-unsur budaya, dengan menekankan pentingnya struktur yang mendasari pola pikir manusia.

Lévi-Strauss menganggap mitos dan bahasa sebagai bentuk refleksi dari struktur kognitif manusia yang bersifat universal. Atau secara teoritis, dapat dikatakan ada struktur mendasar dalam budaya dan bahasa yang tidak terpengaruh oleh variasi sejarah atau geografis.

Pada akhir abad ke-20, terjadi reaksi terhadap pendekatan-pendekatan besar sebelumnya. Para antropolog postmodern mengkritik pandangan yang menganggap bahwa peneliti antropologi sebagai pengamat netral dan budaya sebagai objek tetap.

Pada era inilah Clifford Geertz mulai memperkenalkan konsep interpretasi budaya, di mana budaya dipahami sebagai serangkaian simbol dan makna yang kompleks. Sementara di periode yang sama Sherry Ortner, lebih berfokus pada analisis kekuasaan, gender, dan simbolisme dalam struktur sosial.

Saat ini, antropologi mulai menjelajah ke ranah digital, dengan melihat bagaimana teknologi dan media digital membentuk identitas, komunitas, dan budaya. Penelitian antropologi kontemporer mulai menyoroti interaksi antara manusia dan teknologi, serta implikasi globalisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Di era inilah lahir pendekatan post humanisme yang mulai mempertanyakan batasan antara manusia dan teknologi dalam konteks dunia digital.

Salah satu legenda dalam ilmu antropologi adalah Margaret Mead yang dikenal sebagai ahli antropologi dengan kekhususan wilayah Oseania yang berada di Lautan Teduh atau Pasifik.

Margaret Mead dibesarkan oleh seorang ayah yang bernama Edward Mead yang adalah seorang ekonom dan seorang ibu yang bernama Emily Mead, seorang reformis sosial.

Margaret Mead bekerja di American Museum of Natural History di Kota New York dari tahun 1926 hingga 1969 sebagai kurator antropologi budaya . Ia juga mengajar di Universitas Columbia. Mead menjadi pembicara yang populer dan kontroversial mengenai isu-isu seperti hak-hak perempuan, pengasuhan anak, penyalahgunaan narkoba, dan kelaparan dunia.

Mead dari hasil penelitiannya di wilayah Oseania mendapat berbagai fakta dari temuan di lapangan yang dirangkainya menjadi hipotesis dan teori baru, khususnya terkait dengan karakteristik dan kedudukan gender.

Dalam teorinya Mead beranggapan bahwa peran gender tidak selalu diciptakan oleh faktor biologis, tetapi oleh pengaruh masyarakat . Ia juga menemukan bahwa perempuan dan laki-laki di setiap masyarakat memiliki pola perilaku yang berbeda.

Di era digital dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat, serta hadirnya teknologi kecerdasan artifisial sejalan dengan evolusi pengetahuan yang diakselerasi oleh konektivitas dan alat bantu kognisi yang bernama komputer, maka konsep interpretasi budaya ala Geertz dan peran gender dalam masyarakat ala Mead tentu akan menjadi topik pengamatan yang amat menarik bukan?

Tumbuhnya masyarakat yang semakin plural tetapi sekaligus homogen mungkin termasuk salah satu fenomena antropologi unik yang lahir saat ini. Runtuhnya batas negara dan identitas kesukuan oleh gerusan nilai-nilai universal yang tersebar secara global karena di fasilitasi oleh teknologi adalah suatu lompatan evolusi yang secara kasat mata dapat terdeteksi.

Konsep borderless world yang pada awalnya diinisiasi oleh Kenichi Ohmae, kini maujud dalam konteks interaksi personal dan komunal lintas negara dan suku bangsa yang dihasilkan oleh adanya platform komunikasi yang sama dan berlaku secara mondial: internet.

Di sisi lain muncul sub suku-sub suku baru yang merupakan imbas dari terciptanya konsep digital twin atau dunia paralel yang dilantik oleh terbentuknya dunia virtual karena adanya intrusi teknologi digital di hampir setiap aspek kehidupan.

Saat ini kita seolah hidup dalam dua dunia yang berbeda, dan boleh jadi dengan dua karakter kepribadian yang berbeda pula. Muncul pula pola budaya dan komunikasi baru. Demikian pula ekses dan kondisi patologi sosial seperti hikikamori, cyber bullying, fenomena FOMO (fear of missing out), dll.

Intinya budaya baru telah lahir. Simbol budayanyapun telah bertransformasi sedemikian rupa. Pola interaksinya pun sudah sangat berbeda dengan yang semula kita kenal dan kita jalani. Bahkan kini tercipta pula segregasi generasi yang disebabkan oleh perbedaan masa tumbuh kembang sejalan dengan perubahan teknologi di zaman yang dijalaninya.

Ada generasi X dengan masa yang berada di fase transisi dari teknologi analog ke digital. Ada generasi milenial yang meski sudah berkelindan dengan teknologi digital sebagaimana yang saat ini kita kenal, masih mengakuisisi pola relasi sosial sebagaimana contoh dari orangtuanya yang masuk ke generasi sebelumnya (mungkin Baby Boomer), dan seterusnya demikian.

Sebagaimana kategorisasi dan pengelompokan golongan masyarakat oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dimana populasi Indonesia saat ini dikelompokan dalam 6 (enam) generasi yaitu ‘Post Generasi Z (Post Gen Z), Generasi Z (Gen Z), Milenial, Generasi X (Gen X), Baby Boomer, dan Pre-Boomer.

Post Gen Z adalah generasi yang lahir pada 2013 dan seterusnya. Adapun Gen Z, merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang berusia 8-23 tahun. Sedangkan Milenial yaitu generasi yang lahir pada 1981-1996 (saat ini berusia 24-39 tahun). Selanjutnya Gen X adalah generasi yang lahir pada 1965-1980 (sekarang berusia 40-55 tahun).

Kemudian Baby Boomer, yaitu generasi yang saat ini berusia 56-74 tahun (lahir 1946-1964). Lalu terakhir adalah Pre-Boomer merupakan generasi yang lahir sebelum 1945. Berarti usia mereka saat ini 75 tahun ke atas.

Lalu bagaimanakah peran kajian teknologi di era digital seperti pada saat ini? Bagi saya pribadi, antropologi tentulah memiliki peran penting dalam membantu memahami perubahan masyarakat di era digital melalui pendekatan yang holistik dan interpretatif. Khususnya dengan menggabungkan metode etnografi tradisional dan pendekatan baru terhadap dunia digital, antropologi dapat menawarkan wawasan mendalam tentang dampak teknologi pada kehidupan sosial, budaya, ekonomi, dan politik manusia.

Era digital telah mengubah cara orang berinteraksi dan memandang identitas diri. Media sosial, virtual communities, dan interaksi daring memungkinkan individu untuk membentuk dan mengekspresikan identitas secara lebih fleksibel, melampaui batas-batas geografis dan budaya.

Antropologi, melalui studi etnografi digital, dapat mengeksplorasi bagaimana individu dan kelompok membentuk identitas baru di ruang virtual. Misalnya, penelitian antropologis dapat menyoroti bagaimana norma-norma sosial berubah ketika individu terlibat dalam interaksi digital, serta bagaimana komunitas online/daring memengaruhi kehidupan luring (offline) mereka.

Budaya digital sendiri mencakup nilai, norma, dan praktik yang berkembang di sekitar teknologi, seperti penggunaan media sosial, game, aplikasi, dan internet. Antropologi dapat memetakan bagaimana berbagai kelompok masyarakat mengadopsi teknologi dengan cara yang berbeda-beda berdasarkan konteks sosial, ekonomi, dan budaya mereka.

Sebagai contoh, konsep digital divide atau kesenjangan digital sering menjadi fokus penelitian, di mana antropolog mempelajari ketidakmerataan akses terhadap teknologi di berbagai masyarakat dan dampaknya pada inklusi sosial dan ekonomi.

Etnografi dunia virtual adalah pendekatan yang dapat digunakan seorang antropolog untuk mempelajari interaksi manusia dalam dunia digital. Melalui pengamatan langsung dan partisipasi dalam komunitas online, antropolog dapat menganalisis bagaimana struktur sosial, hierarki, dan norma budaya berkembang di ruang virtual seperti media sosial, game online, atau forum komunitas.

Studi ini dapat memberi wawasan tentang bagaimana manusia membangun dan menjaga hubungan sosial di dunia maya, serta bagaimana mereka mengatasi tantangan seperti anonimitas dan privasi.

Globalisasi digital juga telah mempercepat pertukaran informasi, budaya, dan ekonomi di seluruh dunia. Antropologi dapat memainkan peran dalam mengeksplorasi bagaimana globalisasi ini memengaruhi identitas budaya lokal dan praktik sosial. Dengan memperhatikan dinamika kekuasaan dan ketidaksetaraan, antropologi dapat menganalisis bagaimana beberapa kelompok masyarakat mengalami peminggiran atau resistensi terhadap teknologi global yang mendominasi.

Digitalisasi juga telah mengubah cara orang bekerja, terutama dengan munculnya ekonomi platform seperti ojek online, e-commerce, dan pekerjaan freelance berbasis teknologi.

Antropologi ekonomi di era digital dapat mempelajari dampak pekerjaan digital terhadap hubungan sosial dan nilai-nilai komunitas. Dengan memahami bagaimana individu terlibat dalam ekonomi digital dan bagaimana hal ini memengaruhi kehidupan sehari-hari mereka, antropolog dapat memberikan wawasan tentang perubahan struktur ekonomi, ketidakstabilan pekerjaan, dan ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi baru.

Tak dapat dipungkiri pula bahwa kehadiran media sosial telah merevolusi cara masyarakat berkomunikasi dan mengonsumsi informasi. Antropologi dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana media sosial mempengaruhi cara orang membentuk pendapat, melakukan tindakan sosial, hingga membangun jaringan solidaritas.

Selain itu, media sosial juga memengaruhi perilaku politik, aktivisme, serta penyebaran informasi yang seringkali membawa dampak sosial yang luas.

Dengan berkembangnya era digital, muncul pula tantangan etika yang baru seperti privasi data, algoritma pengawasan, hingga manipulasi informasi.

Ilmu antropologi dapat berperan dalam memberikan wawasan mengenai bagaimana norma dan nilai-nilai tradisional beradaptasi dengan tantangan-tantangan baru ini. Mereka juga dapat membantu mengembangkan kerangka etika yang sensitif terhadap konteks lokal dan budaya untuk menangani masalah-masalah baru dalam dunia digital.

Maka tak heran jika ilmu antropologi di era digital tidak hanya mempelajari manusia sebagai pusat, tetapi juga mulai mengkaji hubungan manusia dengan teknologi dalam konteks posthumanisme.

Teknologi seperti kecerdasan buatan (AI), augmentasi tubuh, dan realitas virtual mengubah batas-batas tradisional antara manusia dan mesin, hingga perlu didekati dengan sudut pandang yang juga khusus.

Disinilah pendekatan antropologi posthumanis berusaha memahami bagaimana teknologi ini memengaruhi konsep kemanusiaan itu sendiri.

Tak hanya itu saja, berbagai teori antropologi sangat relevan dalam menganalisis dan memahami kondisi yang dihadapi masyarakat di era digital. Teori-teori ini membantu menjelaskan transformasi sosial, identitas, budaya, dan relasi manusia dengan teknologi di tengah era digitalisasi.

Sebagai contoh kongkret, kita dapat mengimplementasikan teori fungsionalisme, yang dipelopori oleh Bronislaw Malinowski dan Alfred Radcliffe-Brown, yang menyatakan bahwa setiap aspek masyarakat berfungsi untuk menjaga stabilitas sosial.

Di era digital, teori ini relevan untuk memahami bagaimana teknologi digital (seperti media sosial dan platform online) berfungsi sebagai alat untuk menjaga kohesi sosial, membentuk interaksi antarindividu, dan mendukung struktur masyarakat.

Media sosial dapat dilihat sebagai mekanisme yang menjaga hubungan antar anggota masyarakat, meskipun terpisah secara fisik, dengan menghubungkan individu melalui platform virtual.

Ekosistem digital seperti aplikasi kesehatan dan pendidikan juga bisa dipahami sebagai elemen yang berperan dalam mendukung kesejahteraan masyarakat secara fungsional.

Kita juga bisa menggunakan pendekatan ala Claude Lévi-Strauss, pencetus teori strukturalisme, yang memiliki hipotesa bahwa ada struktur mendasar dalam pikiran manusia yang tercermin dalam budaya dan bahasa.

Di era digital, teori ini dapat membantu memahami bagaimana struktur sosial dan pola pikir manusia dipengaruhi oleh teknologi digital.

Algoritma yang digunakan di media sosial atau e-commerce dapat dipandang sebagai struktur digital yang mengatur bagaimana informasi disampaikan, keputusan dibuat, dan identitas terbentuk. Dimana algoritma menciptakan pola yang berulang dalam interaksi manusia secara digital.

Bahasa dalam ruang digital (seperti emoji, meme, atau simbol-simbol digital lainnya) dapat dilihat sebagai manifestasi dari struktur kognitif manusia yang sama, tetapi di dalam konteks komunikasi digital.

Kita pun dapat mendasari banyak penelitian antropologi digital berdasar teori dari Clifford Geertz, teori interpretatif, yang menekankan bahwa budaya harus dipahami sebagai jaringan makna yang ditenun oleh manusia sendiri.

Menurut Geertz, budaya bukan hanya sistem fungsional, tetapi juga penuh simbol dan makna. Di era digital, teori ini sangat relevan untuk memahami bagaimana individu dan kelompok menciptakan makna melalui simbol-simbol digital, seperti hashtag, emoji, atau meme.

Penggunaan hashtag dalam kampanye sosial di media sosial bisa diinterpretasikan sebagai bentuk penciptaan makna dan narasi kolektif. Misalnya, gerakan seperti #DagoElosBergerak dan #akubersamadugong melibatkan penggunaan simbol-simbol digital untuk menyampaikan makna dan tujuan sosial.

Komunitas daring juga membentuk budaya baru di mana simbol-simbol digital (seperti meme) menciptakan identitas bersama dan nilai-nilai komunitas.

Jika kita mengacu kepada kritisisme yang diusung antropologi postmodern yang dipelopori oleh James Clifford dan George Marcus, maka upaya mengkritik pandangan-pandangan besar yang cenderung universal, menekankan pluralitas, relativisme, dan subjektivitas, menjadi relevan di era digital ini.

Untuk memahami realitas masyarakat yang semakin terfragmentasi dan tidak terikat oleh narasi besar dibutuhkan pendekatan yang bersifat unik dan personal karena teknologi digital memungkinkan terciptanya ruang-ruang mikro yang memfasilitasi identitas dan pandangan dunia yang beragam.

Di media sosial, masyarakat dapat menciptakan realitas subjektif mereka sendiri melalui fenomena filter bubble dan algoritma yang hanya menyajikan informasi yang mendukung pandangan individu tersebut, mencerminkan realitas terfragmentasi.

Sementara virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) memungkinkan individu untuk menciptakan realitas alternatif yang melampaui batas-batas fisik, mencerminkan konsep postmodern tentang pluralitas realitas.

Di sisi lain teori globalisasi, yang dipelopori oleh Arjun Appadurai, memandang dunia sebagai satu kesatuan yang saling terhubung melalui teknologi, ekonomi, dan budaya. Konsep Appadurai Space yang maujud dalam konsep mediascape, ethnoscape, technoscape, menjadi relevan untuk memahami bagaimana teknologi digital membentuk kehidupan sehari-hari melalui arus informasi, migrasi, dan teknologi.

Platform global seperti YouTube atau TikTok memungkinkan penyebaran budaya secara cepat dan lintas batas, sehingga menciptakan fenomena budaya global yang meruntuhkan batas-batas nasional.

Sementara e-commerce seperti marketplace dapat mempercepat globalisasi ekonomi dan mengubah pola konsumsi serta struktur tenaga kerja masyarakat di seluruh dunia.

Ada pula teori agensi dan struktur yang digagas oleh Pierre Bourdieu, dan dapat digunakan untuk mengembangkan konsep tentang habitus, kapital, dan medan, yang menjelaskan hubungan antara agensi individu dan struktur sosial.

Di era digital, teori ini dapat membantu memahami bagaimana individu menggunakan teknologi untuk mempengaruhi dan membentuk struktur sosial, sembari tetap terikat pada batas-batas yang ditentukan oleh teknologi dan kapital digital.

Sebagai contoh, pengguna media sosial dapat memanfaatkan platform seperti Twitter atau Instagram untuk membangun kapital sosial dan budaya, meningkatkan pengaruh dan status sosial mereka di dunia digital.

Namun di sisi lain, agensi pengguna tetap dibatasi oleh struktur yang dibangun oleh perusahaan teknologi melalui algoritma yang mengendalikan visibilitas konten dan akses terhadap audiens.

Berkembang pula dengan pesat teori jaringan aktor (Actor-Network Theory, ANT) yang dipelopori oleh Bruno Latour. Teori ini melihat hubungan antara manusia dan non-manusia (termasuk teknologi) sebagai jaringan aktor yang saling memengaruhi. Dalam konteks digital, teknologi dilihat sebagai agen yang memiliki kekuatan untuk membentuk perilaku sosial, bukan sekadar alat pasif.

Perangkat pintar (smartphone, dll), kecerdasan buatan (AI), dan internet of things (IoT) menjadi aktor dalam jaringan kehidupan manusia, memengaruhi cara orang bekerja, berinteraksi, dan membuat keputusan.

Hal ini masih memiliki hubungan kausalitas dengan konteks ekonomi digital, dimana algoritma di e-commerce atau platform digital yang bertindak sebagai agen dapat mempengaruhi perilaku konsumen dan pola pembelian.

Dalam konteks antropologi ekonomi, teori ini juga dapat menjelaskan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan perubahan ekonomi yang didorong oleh digitalisasi.

Teknologi telah menciptakan ekonomi baru yang mengubah cara masyarakat berproduksi, mendistribusikan, dan mengonsumsi barang dan jasa.

Hingga tentu saja pendekatan antropologu digital dapat digunakan untuk mempelajari bagaimana ekonomi gig (freelance, ojek online, layanan daring) mempengaruhi hubungan kerja, struktur keluarga, dan kesejahteraan masyarakat di era digital.

Fenomena e-commerce lain seperti kehadiran mata uang digital (cryptocurrency) juga dapat dipelajari dalam upaya memahami bagaimana nilai ekonomi dan transaksi berubah di dunia digital.

Perubahan itu tentu akan memantik perubahan budaya dan nilai kemasyarakatan terkait konsep antropologinya bukan?

Maka salah satu pilar transformasi digital yang semestinya diarusutamakan dalam proses pembangunan masyarakat berbasis teknologi digital adalah pendekatan antropologi.

Semoga dengan tulisan singkat tentang peran ilmu antropologi dalam pengelolaan dinamika masyarakat digital ini, para pemangku kebijakan dan kepentingan terkait dapat mempelajari dan memahami arti penting dan tingkat signifikansi dari implementasi konsep antropologi digital dalam proses pembangunan bangsa. 🙏🏾🙏🏾🇲🇨

Bahan Bacaan Lanjutan

1. Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. Basic Books.

2. Lévi-Strauss, C. (1963). Structural Anthropology. Basic Books.

3. Malinowski, B. (1922). Argonauts of the Western Pacific. Waveland Press.

4. Morgan, L. H. (1877). Ancient Society. Henry Holt and Company.

5. Ortner, S. B. (1996). Making Gender: The Politics and Erotics of Culture. Beacon Press.

6. Tylor, E. B. (1871). Primitive Culture. J. Murray.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts