Pemerintahan Digital Indonesia
Kabinet Merah Putih telah diumumkan di hari yang sama setelah prosesi pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI. Tantangan dan tugas berat kini diamanahkan kepada para menteri, wakil menteri, dan kepala badan, untuk dapat menjabarkan dan mengimplementasikan visi dan misi pemerintahan baru.
Dari komposisi kabinet yang diumumkan, ada perubahan nomenklatur dan dibentuknya kementerian dan lembaga negara berbentuk badan yang mengemban tugas-tugas khusus seusai dengan misi kabinet yang diemban. Tentu kita berharap organ fungsional penyelenggara pemerintahan ini dapat segera aktif dan menjalankan tugas-tugasnya dalam berbagai bentuk layanan publik.
Satu hal menarik yang mengusik pemikiran saya di pagi ini adalah tentang optimasi pemanfaatan teknologi, terutama teknologi digital yang saat ini terus berkembang secara masif dan telah mengalami banyak lompatan revolutif, dalam membantu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan suatu negara.
Bukankah saat ini data adalah elemen fundamental dalam berbagai proses yang menjadi bagian dari perancah peradaban? Sementara pengolahan data dengan memanfaatkan teknologi digital adalah suatu keniscayaan yang dapat meningkatkan kedayagunaan data bukan? Objektivitas program, transparansi, akuntabilitas, serta kesesuaian perencanaan dengan prediksi, serta evaluasi yang berkesinambungan, adalah beberapa contoh pemanfaatan data yang telah terbukti efektivitasnya.
Di era digital dengan konektivitas dan transmisi berkecepatan sangat tinggi, data adalah denyut nadi yang dapat menggerakkan berbagai sendi sistem pemerintahan dan pelayanan publik. Namun, kesadaran akan pentingnya data ini tidak datang dengan instan. Sebaliknya, ia merupakan hasil dari perjalanan panjang pemikiran dan teori yang dibangun oleh para pakar dan pelopor di bidang tata kelola pemerintahan di berbagai institusi dan negara. Dari olah pikir secara berkesinambungan itulah lahir konsep-konsep seperti Good Governance, New Public Management, hingga E-Government, yang tidak hanya mempengaruhi cara kita memandang konsep pemerintahan, tetapi juga bagaimana data menjadi aset strategis dalam mendorong efisiensi, transparansi, dan partisipasi.
Pada akhir abad ke-20, dunia menyaksikan krisis kepercayaan terhadap banyak pemerintahan yang dituduh korup dan tidak efisien. Muncullah tuntutan bagi tata kelola pemerintahan yang lebih baik, konsep yang kemudian dikenal dengan sebutan good governance. Tuntutan ini bukan hanya datang dari masyarakat, tetapi juga lembaga-lembaga internasional yang berperan dalam pembangunan global.
Pada tahun 1997, United Nations Development Programme (UNDP) memperkenalkan sebuah formula tata kelola yang baik. Good governance, menurut UNDP, harus dibangun atas prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, aturan hukum, responsivitas, efektivitas, akuntabilitas, dan kesetaraan. Pendekatan ini melihat bahwa pemerintah tidak hanya harus bersih dan efisien, tetapi juga harus mampu mengakomodasi keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Di sisi lain, Bank Dunia menambahkan sentuhan ekonomi dalam gagasan good governance. Menurut lembaga ini, tata kelola yang baik merupakan fondasi penting untuk menciptakan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Kontrol terhadap korupsi, penegakan hukum yang tegas, dan reformasi birokrasi menjadi prioritas utama dalam mewujudkan pemerintahan yang mampu menumbuhkan perekonomian yang sehat.
Beberapa waktu sebelum itu, tepatnya di awal dekade 1980-an, berbagai negara di dunia menghadapi kritik tajam terhadap birokrasi mereka yang dianggap lamban dan kaku. Ketidakpuasan ini kemudian melahirkan pendekatan baru yang dikenal sebagai New Public Management (NPM). Dimana ide utamanya sederhana, pemerintah harus dikelola seperti perusahaan swasta yang berorientasi pada hasil dan efisiensi.
Salah satu tokoh terkemuka dalam pemikiran NPM adalah Christopher Hood, akademisi Inggris yang menekankan pentingnya desentralisasi dan persaingan di sektor publik. Melalui penerapan prinsip-prinsip yang biasa digunakan di sektor swasta, seperti efisiensi biaya, akuntabilitas, dan orientasi pelanggan, Hood percaya bahwa pemerintah bisa lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Tidak hanya Hood, pemikiran ini semakin populer berkat buku Reinventing Government yang ditulis oleh David Osborne dan Ted Gaebler. Buku ini mendorong gagasan bahwa pemerintah harus lebih fleksibel, inovatif, dan fokus pada pemberdayaan masyarakat. Teknologi informasi, yang pada saat itu baru mulai berkembang pesat, juga dianggap sebagai kunci dalam upaya memperbaiki pelayanan publik.
Revolusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di akhir abad ke-20 membawa perubahan besar dalam tata kelola pemerintahan. Konsep e-government lahir, sebuah gagasan tentang bagaimana teknologi dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pelayanan publik.
Salah satu figur paling berpengaruh dalam konsep ini adalah Al Gore, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat yang kelak dikenal sebagai edukator lingkungan global yang aktif mengkampanyekan dampak dari perubahan iklim global. Gore mendorong pemanfaatan teknologi dalam semua aspek pemerintahan, dari administrasi hingga layanan langsung kepada masyarakat. Tujuannya jelas, membuat pemerintah lebih terbuka, mudah diakses, dan responsif terhadap kebutuhan warga.
Selain itu, Jane Fountain, seorang akademisi terkemuka, memberikan kontribusi penting dalam pemikiran e-government. Melalui tulisannya, Fountain menyoroti pentingnya integrasi sistem dan partisipasi masyarakat dalam proses digitalisasi pemerintahan. Bagi Fountain, e-government bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang bagaimana pemerintah dan masyarakat bisa berkolaborasi dalam membangun sistem yang lebih inklusif.
Jika New Public Management berfokus pada efisiensi dan hasil, maka Public Service Dominant (PSD) Logic menawarkan perspektif yang lebih berpusat pada nilai-nilai publik. Teori ini muncul pada awal abad ke-21 sebagai kritik terhadap pendekatan pasar dalam sektor publik. PSD Logic menekankan bahwa pelayanan publik harus didasarkan pada kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menciptakan nilai yang bermanfaat bagi semua.
Stephen Vargo dan Robert Lusch, dua akademisi yang dikenal melalui karya mereka di dunia pemasaran, membawa konsep Service-Dominant Logic ke dalam sektor publik. Bersama dengan Mark Moore, yang mengembangkan konsep public value, mereka menegaskan bahwa pelayanan publik harus dilihat sebagai sebuah proses ko-kreasi, di mana masyarakat juga memiliki peran aktif dalam menentukan apa yang bernilai dan relevan bagi mereka.
Bagaimana dengan dinamika yang terjadi di Indonesia? Jangan salah, dalam 1 dasawarsa terakhir, Indonesia pun telah banyak melakukan proses adaptasi inovatif terhadap perkembangan data dan teknologi digital yang bagi sebagian kalangan bersifat disruptif. Arti penting pemanfaatan dan pengolahan data telah menjadi bagian dari kesadaran nasional yang terepresentasi dalam berbagai bentuk program yang relevan.
Salah satu upaya untuk mengkonsolidasi data agar lebih berdayaguna adalah dengan mengembangkan suatu sistem dan platform yang dikenal sebagai Satu Data Indonesia atau SDI. Dimana SDI ini adalah kebijakan pemerintah untuk mengatur tata kelola data pemerintah, sehingga data yang dihasilkan dapat menjadi dasar perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian pembangunan.
Data yang dihasilkan SDI diharapkan akurat, mutakhir, terpadu, dan dapat dipertanggungjawabkan. Data juga harus mudah diakses dan dibagipakaikan antar instansi pusat dan daerah. Untuk itu data SDI harus dapat mendukung Sistem Statistik Nasional (SSN) dengan format dan standar baku yang memungkinkan terjadinya proses pertukaran data sesuai dengan kaidah yang berlaku serta data dapat bersifat operable.
SDI ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019, dengan tujuan untuk mendukung pengambilan keputusan pemerintah berbasis data, mewujudkan keterbukaan dan transparansi data, serta memenuhi kebutuhan data publik bagi masyarakat.
Untuk mewujudkan SDI, produsen data harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut; memenuhi standar data, memiliki metadata, memenuhi kaidah interoperabilitas data, dan menggunakan kode referensi dan/atau data induk.
SDI juga menggunakan prinsip data terbuka, yaitu data yang dapat digunakan secara bebas, dimanfaatkan, dan didistribusikan kembali oleh siapapun tanpa syarat. Dengan demikian, jika SDI telah dapat dioperasikan secara optimal, kita akan dapat mengakses data daej berbagai institusi yang berwenang seperti data BPS, kependudukan, industri, kesehatan, dll.
Untuk mendukung terwujudnya SDI dan optimasi pemanfataan data di Indonesia, maka pemerintah telah meluncurkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Di mana SPBE adalah bentuk atau model penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan layanan kepada masyarakat. SPBE diwujudkan melalui Perpres no. 95 tahun 2018.
Visi SPBE adalah mewujudkan tata kelola pemerintahan yang modern dan akuntabel dengan memanfaatkan teknologi digital. Misinya antara lain mencakup peningkatan kualitas pelayanan publik, percepatan interaksi antara pemerintah dan masyarakat, serta efisiensi birokrasi.
Pemerintah Indonesia ingin mengubah cara kerja pemerintahan menjadi lebih cerdas dengan memanfaatkan teknologi, yang tidak hanya mempermudah proses pengambilan keputusan, tetapi juga memberikan pengalaman layanan publik yang lebih baik bagi masyarakat, serta dapat meminimalisir terjadinya fraud dan korupsi dalam proses penyelenggaraan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik.
Melalui SPBE, pemerintah berupaya untuk menghadirkan proses yang lebih efisien, transparan, dan berbasis data. Digitalisasi pelayanan publik tak lagi menjadi pilihan, tetapi sebuah keniscayaan dalam menghadapi tantangan zaman.
Implementasi SPBE sendiri tidak mungkin berjalan tanpa regulasi yang jelas. Untuk itu pemerintah telah menyiapkan dasar hukum untuk memastikan kelancaran transformasi ini. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang SPBE menjadi landasan utama, dengan dukungan Peraturan Menteri PANRB Nomor 5 Tahun 2020 tentang Arsitektur SPBE, yang merinci panduan teknis dan arsitektur SPBE di berbagai sektor pemerintahan.
Selain itu, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menjadi pijakan hukum untuk penyelenggaraan pelayanan berbasis digital, sementara Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia mendorong integrasi data antarinstansi, mencegah redundansi, dan meningkatkan akurasi informasi.
Di era di mana teknologi digital berkembang dengan sangat pesat, Indonesia terus berupaya mengadopsi teknologi terbaru untuk mendukung SPBE. Teknologi seperti cloud computing memungkinkan penyimpanan dan akses data yang lebih efisien. Sementara itu, big data analytics memberikan kemampuan bagi pemerintah untuk menganalisis informasi dalam skala besar dan membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih cerdas.
Tak kalah penting, teknologi blockchain menawarkan keamanan dalam transaksi pemerintah, menciptakan catatan yang tidak bisa dimanipulasi, dan Artificial Intelligence (AI) membantu otomatisasi berbagai proses rutin dalam pelayanan publik.
Dalam konteks penyelenggaraan sistem pemerintahan berbasis elektronik, Indonesia dapat belajar banyak dari negara kecil di Eropa, Estonia, yang telah menjadi contoh sukses implementasi e-government. Dimana melalui inisiatif e-Estonia, pemerintah setempat menyediakan layanan digital yang mencakup hampir semua aspek kehidupan warganya. Mulai dari e-Tax hingga e-Citizenship, Estonia telah membuktikan bahwa digitalisasi tidak hanya menciptakan efisiensi, tetapi juga menghemat anggaran negara dan memperkuat partisipasi warga.
Implementasi serupa di Indonesia bisa mempercepat reformasi birokrasi, memotong jalur panjang pelayanan administrasi, dan memungkinkan sistem yang lebih terintegrasi antar lembaga pemerintah.
Dampak langsung dari SPBE adalah meningkatnya kecepatan proses pelayanan publik. Pelayanan yang sebelumnya membutuhkan waktu berhari-hari kini dapat diselesaikan hanya dalam hitungan jam. Selain itu, integrasi antarinstansi yang didukung teknologi ini mengurangi kesalahan manual, membuat sistem lebih efektif dan akuntabel.
Dalam hal transparansi, semua transaksi digital dalam sistem SPBE dapat dipantau secara langsung, sehingga masyarakat lebih mudah memantau jalannya pelayanan. Objektivitas juga ditingkatkan, karena proses administratif yang dulunya rawan manipulasi kini diatur secara otomatis oleh sistem digital.
Selain itu, kebijakan berbasis data memungkinkan pemerintah untuk membuat program-program yang lebih tepat sasaran. Analisis big data yang dihasilkan oleh SPBE mampu mengidentifikasi masalah dan peluang yang lebih akurat, sehingga strategi pembangunan dapat disusun berdasarkan kebutuhan riil masyarakat.
Teknologi berbasis kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) dapat menjadi tulang punggung bagi SPBE dalam menciptakan konsep pemerintahan cerdas (smart government). Dimana AI mampu mengotomasi proses rutin seperti pengolahan dokumen dan analisis data, sehingga pegawai pemerintahan bisa lebih fokus pada tugas yang lebih kompleks.
Terdapat beberapa model AI yang dapat digunakan untuk mengolah data dalam platform Satu Data Indonesia atau SPBE, tergantung pada fungsi dan tujuan pengolahan data yang diinginkan. Beberapa model AI yang relevan antara lain:
Machine Learning (ML) Algorithms, dimana ML adalah pendekatan AI yang umum digunakan untuk memproses data besar dan melakukan prediksi berdasarkan pola-pola dari data yang ada. Beberapa algoritma ML yang dapat digunakan dalam konteks Satu Data Indonesia meliputi;
Random Forest dan Decision Tree yang dapat digunakan untuk classification dan regression dalam berbagai dataset, seperti kesehatan atau data kependudukan.
Lalu ada Support Vector Machines (SVM), yang dapat membantu dalam konteks predictive modeling, terutama untuk analisis tren sosial atau ekonomi.
Ada pula Gradient Boosting yang bermanfaat untuk prediksi tren jangka panjang dengan memaksimalkan akurasi hasil analisis data.
Selain ML, ada model Deep Learning (DL), di mana nodel DL seperti Neural Networks dan Deep Neural Networks, dapat digunakan untuk melakukan fungsi pattern recognition yang lebih kompleks, terutama dalam pengelolaan big data dari Satu Data Indonesia di lingkup SPBE.
Model ini dapat berguna optimal dalam menganalisis data yang tidak terstruktur, seperti data kesehatan, gambar satelit untuk mitigasi bencana, atau data sensor lainnya.
Kemudian ada model Recurrent Neural Networks (RNN) dan Long Short-Term Memory (LSTM) yang dapat digunakan untuk time-series forecasting, seperti memprediksi tren ekonomi atau tingkat kepadatan penduduk dari waktu ke waktu.
Model ketiga setelah ML dan DL adalah Natural Language Processing (NLP). Dimana NLP dapat digunakan untuk menganalisis teks dan dokumen dalam jumlah besar. Dalam konteks Satu Data Indonesia, NLP dapat membantu dalam menganalisis dokumen kebijakan, opini masyarakat yang dihimpun melalui platform digital, atau laporan resmi pemerintah untuk memberikan insights berbasis teks.
Dapat digunakan juga model BERT (Bidirectional Encoder Representations from Transformers), di mana model ini dapat digunakan untuk memproses teks dan memberikan pemahaman mendalam mengenai data tekstual yang ada dalam sistem pemerintahan.
Sistem berbasis AI lain yang dapat dikembangkan untuk menunjang SPBE adalah Big Data Analytics dengan AI, dimana platform Satu Data Indonesia akan menyimpan data dalam jumlah sangat besar (big data) hingga untuk mengolahnya diperlukan model AI yang dapat memanfaatkan big data analytics tools seperti Apache Hadoop atau Spark yang dilengkapi dengan model AI untuk menyaring dan menganalisis data dalam skala besar.
AI dalam bentuk Expert Systems juga dapat membantu pemerintah dalam pembuatan keputusan otomatis berdasarkan data yang dihimpun. Sistem ini bekerja dengan meniru penalaran manusia dalam mengambil keputusan kompleks, menggunakan aturan-aturan yang ditetapkan sebelumnya.
Pemanfaatan teknologi berbasis AI antara lain dapat membantu meningkatkan efektivitas salah satu keunggulan SPBE yang maujud dalam bentuk potensinya untuk meminimalkan praktek korupsi dan fraud. Dengan sistem yang transparan dan terotomasi, potensi manipulasi data dan transaksi bisa diminimalkan. AI dan blockchain dapat berperan besar dalam menciptakan sistem audit otomatis yang mampu mendeteksi anomali dalam transaksi keuangan dan administratif secara real time.
Dengan adanya jejak digital yang tercatat dalam setiap transaksi, pihak yang bertanggung jawab atas penyelewengan dapat lebih mudah diidentifikasi, sehingga menambah lapisan keamanan dalam tata kelola pemerintahan.
Dalam kerangka besar Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia melalui organ fungsional Digital Transformation Office atau DTO telah meluncurkan inisiatif SATU SEHAT, yang bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai layanan dan data kesehatan dalam satu platform digital.
Data kesehatan yang meliputi berbagai data dasar seperti data tumbuh kembang, imunisasi, rekam medis, data tenaga kesehatan, data fasilitas kesehatan, materi pengayaan kompetensi sumber daya manusia, administrasi tenaga kesehatan, data logistik farmasi dan alat kesehatan, dll diintegrasikan ke dalam 1 platform induk yang telah menyediakan fasilitas interoperabilitas dengan standar global (HL7-FHIR), microservices dan API, hingga memudahkan integrasi sistem dan data di lingkup kesehatan.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri RI melalui Ditjen Dukcapil telah mengembangkan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK), sebagai upaya untukk memperkuat sistem kependudukan terintegrasi, dan memastikan keakuratan data penduduk yang mendukung berbagai aspek pelayanan publik.
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) diharapkan dapat menjadi tulang punggung dalam pengelolaan data kependudukan nasional. Dimana SIAK berperan untuk memastikan bahwa data penduduk Indonesia, termasuk kelahiran, kematian, perkawinan, dan perpindahan, tercatat dengan baik dan terintegrasi dalam sistem digital.
Integrasi ini tidak hanya penting dalam penyelenggaraan administrasi publik, tetapi juga berfungsi sebagai dasar untuk program-program lain, seperti perlindungan sosial, layanan kesehatan, dan pendidikan. Dengan SIAK, pemerintah dapat menghindari duplikasi data, memberikan pelayanan yang lebih cepat, dan memudahkan verifikasi identitas penduduk secara real-time.
SATU SEHAT dan SIAK juga menjadi bagian penting dari ekosistem digital pemerintah, mendukung kebijakan Satu Data Indonesia yang diinisiasi untuk memastikan semua data yang dimiliki pemerintah dapat diakses dan dikelola secara terpusat.
Selain sektor kesehatan dan kependudukan, transformasi digital juga telah menyentuh sektor perpajakan melalui upaya penerapan CORE TAX System oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI. Sistem ini mengintegrasikan proses perpajakan mulai dari pendaftaran wajib pajak, pelaporan, pembayaran, hingga pengawasan.
Dengan penerapan CORE TAX System, potensi intensifikasi perpajakan semakin terbuka. Sistem ini memungkinkan pemerintah untuk memantau transaksi secara digital, mengurangi ketergantungan pada proses manual yang rentan terhadap kesalahan dan manipulasi. Data pajak yang terintegrasi dalam CORE TAX System dapat diolah menggunakan big data analytics dan Artificial Intelligence (AI), untuk membantu pemerintah dalam mendeteksi potensi kebocoran pajak dan meningkatkan akurasi dalam perhitungan pajak.
Di sisi wajib pajak, CORE TAX System menawarkan kemudahan dengan pelaporan dan pembayaran pajak secara digital. Sistem ini juga memberikan kejelasan dalam mekanisme perpajakan, sehingga mendukung peningkatan kepatuhan pajak. Integrasi sistem perpajakan ini pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara secara lebih optimal, yang pada gilirannya mendukung pembangunan nasional.
Simpulan, menyimak dan menelaah peran penting data dan konsep pemerintahan berbasis elektronik di atas; dalam menjamin efisiensi dan akuntabilitas jalannya penyelenggaraan negara dan pelayanan publik, elok kiranya jika kita mempelajari lebih jauh tentang konsep pengelolaan data dan pemanfaatan teknologi digital ini demi masa depan sistem pemerintahan yang lebih baik.
Kemajuan teknologi seperti yang ditunjukkan dengan pesatnya pemanfaatan model generative AI di berbagai sektor dan bidang saat ini, tak dapat dipungkiri adalah salah satu bukti bahwa teknologi telah mulai mensubstitusi atau setidaknya memperkaya fungsi yang selama ini berada di ranah ketrampilan dan kecerdasan manusia.
Untuk itu suatu keniscayaan pula jika kita mulai mengembangkan konsep pemerintahan digital yang dapat menjalankan fungsi birokrasi dan pelayanan publik secara terintegrasi, berbasis data berakurasi tinggi yang dijamin oleh sistem akuisisi data yang objektif, transparan, dan bebas kepentingan; serta dikelola dengan memanfaatkan teknologi terkini seperti AI.
Untuk itu tampaknya diperlukan suatu konsep manajerial pemerintahan baru yang membutuhkan kehadiran fungsi CIO (chief of information officer) yang memiliki tugas untuk mengorkestrasi dan mengharmonisasi data stream, format dan standar data, model pengolahan dan pemanfataan data seperti ; DSS/decision support system, mitigasi resiko, regulation planning, perencanaan pembangunan, kontrol fungsi layanan publik, dll.
CIO negara juga diperlukan untuk merancang sistem pengolahan data dan informasi nasional, mengembangan platform dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta melakukan assessment technology untuk menilai kelayakan teknologi pengolah data yang tepat untuk kepentingan negara.
Sementara peran paling krusial dari CIO negara adalah merancang arsitektur sistem informasi nasional dan membuat roadmap pertumbuhan sistem yang dapat mengakomodasi dinamika kebutuhan sistem pemerintahan dan dinamika dalam proses pelayanan publik. CIO negara dalam konteks kabinet presidensial, dapat saja diperankan oleh Menteri PAN&RB atau Menteri Kominfo, dimana kedua posisi tersebut memiliki tingkat relevansi tinggi terhadap proses reformasi birokrasi dan pemanfaatan teknologi informasi.
Semoga dengan upaya mengoptimasi pemanfaatan teknologi digital, pemerintahan dapat berjalan dengan lebih baik, akuntabel, objektif, bersih, dan dapat mengembangkan program-program pembangunan serta layanan publik yang tepat guna, tepat sasaran, dan dapat mengakselerasi kemajuan bangsa tercinta ππΎπ²π¨
Bahan Bacaan Lanjutan
1. Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
2. Peraturan Menteri PANRB Nomor 5 Tahun 2020 tentang Arsitektur SPBE.
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
4. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
5. “Good Governance and Public Sector Digitalization” – Journal of Public Administration.
6. “AI and Government Efficiency: A Review” – International Journal of Digital Governance.
7. OECD (2020), “Digital Government Review: Indonesia.”
8. Albrecht, W., “Blockchain in Government: Challenges and Opportunities,” 2021.
9. Veith, M., “e-Government Best Practices: The Case of Estonia,” 2019.
10. Bhattacharya, S., “Leveraging AI in Public Administration,” Government Technology Journal, 2020.
11. Choi, J. et al., “Smart Government: IoT and AI Applications,” 2022.
12. Indonesia Ministry of Communication and Information, “Laporan SPBE 2023.”
13. McKinsey & Company, “Digital by Default: The Transformation of Public Services,” 2021.
14. PwC, “How Governments are Implementing AI to Fight Corruption,” 2020.
15. Republic of Estonia, “e-Estonia: Building the Digital Society.”
16. Kementerian PANRB, “SPBE Roadmap: Transformasi Digital Pemerintahan Indonesia,” 2020.
17. UNDP, “E-Government Development Index,” 2022._l
18. Yudi, R., “Penggunaan Big Data dalam SPBE di Indonesia,” 2023.
19. OECD, “Artificial Intelligence in the Public Sector: Exploring the Impact,” 2022.
20. World Bank, “The Role of Digital Technologies in Public Sector Reforms,” 2021.