Tauhid Nur Azhar

NEO MEDEA: Pola Kendali Subtil di Benak Kita

Sadarkah kita bahwa kesadaran akan peran dan keberadaan itu bersifat lapisan? Ada lapis-lapis kognisi, mulai dari meta sampai supra yang berkelindan dengan fungsi di setiap level dan dimensinya.

Kita merasa memiliki otonomi terhadap produk dan proses produksi elemen kognisi yang kita duga adalah bagian dari proses dan privilege dari esensi kita sebagai entitas merdeka yang mandiri.

Padahal kita hidup dari opini ke opini, distorsi ke distorsi, dan persepsi ke persepsi subjektif bukan? Kita terkurung rapat dalam jeruji opini dan tembok tinggi hegemoni persepsi, yang bahkan sudah tersaintifikasi karena diperkuat dengan legitimasi berupa label : bermetodologi.

Bukankah sebenarnya kita ini terkurung Medea yang menghasilkan efek filter bubble dan echo chamber raksasa? Untuk dapat memahami hubungan Medea sebagai personifikasi media digital, dengan teori filter bubble dan echo chamber, kita perlu melihat bagaimana media berfungsi dalam konteks digital saat ini.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Medea di era digital tidak lagi beroperasi sebagai entitas yang menyampaikan informasi secara netral, tetapi sebagai penggerak manipulasi persepsi yang lebih halus. Dalam kaitannya dengan filter bubble dan echo chamber, Medea memainkan peran sentral dalam menciptakan lingkungan informasi yang tertutup dan mengukuhkan pola pikir tertentu.

Filter bubble sendiri adalah istilah yang diperkenalkan oleh Eli Pariser dalam bukunya The Filter Bubble: What the Internet Is Hiding from You (2011). Filter bubble merujuk pada fenomena di mana algoritma internet, terutama media sosial, menyaring informasi yang dihadirkan kepada pengguna berdasarkan preferensi dan perilaku mereka sebelumnya. Ini menciptakan gelembung di mana hanya informasi yang dianggap relevan dengan pandangan pengguna yang disajikan, sementara informasi yang berlawanan atau berbeda dihilangkan.

Dalam konteks ini, Medea berperan sebagai pengendali algoritma yang mengurasi informasi dan menciptakan filter bubble. Sebagai entitas digital, Medea tidak lagi hanya menyajikan informasi secara massal, tetapi secara spesifik menyesuaikan konten yang diterima oleh setiap individu. Hal ini membuat pengguna terisolasi dari pandangan-pandangan lain yang mungkin dapat menantang atau memperluas perspektif mereka.

Medea, melalui algoritma media sosial, dapat melakukan beberapa hal berikut,

Seleksi Informasi: di mana algoritma dapat menyaring dan menyajikan konten yang dianggap cocok dengan preferensi pengguna. Pengguna merasa nyaman karena hanya menerima informasi yang sejalan dengan pandangan mereka.

Isolasi Intelektual: di mana pengguna secara tidak sadar terperangkap dalam gelembung informasi yang sempit, di mana mereka tidak pernah dihadapkan pada pandangan atau ide yang berbeda. Hal ini memperkuat kepercayaan yang sudah ada tanpa ada kesempatan untuk menggali lebih dalam atau mempertanyakan.

Polarisasi Sosial: ketika banyak individu terjebak dalam filter bubble masing-masing, masyarakat secara keseluruhan menjadi lebih terfragmentasi. Polarisasi politik, sosial, dan budaya meningkat karena setiap kelompok hanya menerima informasi yang menguatkan pandangan mereka.

Dalam berbagai skenario di atas, Medea bertindak sebagai penguasa filter bubble yang secara efektif membatasi kebebasan berpikir dan mempersempit ruang diskursus publik. Alih-alih menjadi jembatan informasi, Medea justru menciptakan dinding yang membatasi akses ke pandangan alternatif.

Sementara jika mekanisme filter bubble lebih berfokus pada penyaringan informasi oleh algoritma, maka echo chamber adalah fenomena di mana individu hanya mendengar, melihat, atau berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki pandangan serupa.

Di dalam echo chamber, ide dan pendapat terus-menerus diperkuat karena tidak ada tantangan atau sudut pandang yang berbeda. Dalam konteks ini, media sosial memungkinkan terjadinya echo chamber karena pengguna dapat memilih lingkaran sosial dan sumber informasi mereka sendiri.

Medea, sebagai penguasa media sosial, dapat menciptakan echo chambers melalui beberapa mekanisme berikut,

Penciptaan Komunitas Tertutup, dimana media sosial memungkinkan pengguna untuk membentuk komunitas online yang berbasis minat atau pandangan politik yang sama. Komunitas-komunitas ini sering kali menjadi tempat di mana informasi yang seragam dibagikan, dan pandangan yang berbeda diabaikan atau bahkan diserang.

Penguatan Bias Konfirmasi, di mana dalam echo chamber, setiap ide atau kepercayaan yang disampaikan akan terus-menerus dikuatkan oleh anggota lain. Fenomena ini membuat individu merasa semakin yakin bahwa pandangan mereka benar, karena mereka tidak pernah berhadapan dengan kritik atau sudut pandang lain.

Eksklusi Perspektif Lain, di mana setiap suara yang berbeda atau bertentangan dengan konsensus dalam echo chamber sering kali diabaikan atau dicemooh. Ini memperkuat kesan bahwa ada satu kebenaran yang dominan, yang sering kali hanya merupakan refleksi dari bias kelompok.

Medea, dalam bentuk media sosial dapat menciptakan kondisi yang ideal untuk munculnya echo chamber dengan menyediakan algoritma yang menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna dan memungkinkan mereka terhubung dengan orang-orang yang berpikiran serupa.

Hasilnya adalah pembentukan masyarakat yang terfragmentasi, di mana dialog antara kelompok-kelompok yang berbeda menjadi hampir mustahil.

Kekuatan Medea di era digital tidak hanya bergantung pada filter bubble atau echo chamber secara terpisah, tetapi pada interaksi keduanya. Filter bubble menciptakan lingkungan informasi yang dikurasi dengan hati-hati, sementara echo chamber memperkuat informasi tersebut melalui interaksi sosial yang seragam.

Kombinasi keduanya menciptakan sistem yang sangat efisien untuk mengarahkan pola pikir dan mengendalikan persepsi publik.

Mekanisme gabungan keduanya kira-kira bekerja dengan cara sebagai berikut,

Konsumsi Informasi Terpersonalisasi, di mana pengguna mulai hanya menerima informasi yang sudah mereka sukai atau percayai, berkat algoritma yang menyaring konten. Inilah efek filter bubble yang membuat pengguna tidak lagi terpapar pada pandangan yang berlawanan.

Validasi Sosial_, di mana setelah terpapar informasi yang disaring, pengguna membagikan informasi ini dengan komunitas daring mereka, yang sering kali beranggotakan orang-orang dengan pandangan serupa. Dalam echo chamber, informasi ini dipertukarkan dan diulang-ulang, memberikan kesan bahwa informasi tersebut benar tanpa tantangan.

Penguatan Pola Pikir, karena tidak ada yang menentang informasi ini, pengguna menjadi semakin yakin bahwa pandangan mereka adalah yang benar. Pola pikir ini tidak hanya diperkuat oleh algoritma, tetapi juga oleh lingkaran sosial mereka.

Untuk memahami dinamika ini secara lebih mendalam, kita bisa menggunakan teori-teori kritis yang membahas kekuasaan, ideologi, dan pengawasan.

Hegemoni (Antonio Gramsci), Filter bubble dan echo chamber adalah alat yang digunakan Medea untuk menciptakan hegemoni, di mana ide-ide dominan diterima sebagai normal dan tidak dipertanyakan. Media sosial membantu mengkonsolidasikan kekuasaan ideologis tanpa harus menggunakan paksaan.

Ideologi dan Negara (Althusser), Althusser berbicara tentang Ideological State Apparatuses (ISA) yang digunakan oleh negara untuk memelihara kekuasaan melalui ideologi. Di era digital, Medea berfungsi sebagai ISA yang baru, yang bekerja melalui filter bubble dan echo chamber untuk menyebarkan ideologi yang mendukung status quo atau kepentingan tertentu.

Teori Panoptikon (Michel Foucault), media sosial dan AI memungkinkan pengawasan digital yang tidak terlihat, di mana pengguna diawasi terus-menerus tanpa mereka sadari. Algoritma yang menciptakan filter bubble dan echo chamber adalah bentuk pengawasan ini, di mana setiap tindakan daring dianalisis dan dioptimalkan untuk menciptakan realitas yang diinginkan oleh kekuatan di balik platform.

Sejalan dengan perkembangan yang sedemikian dinamis pada model generative AI, dapat tercipta sebuah kondisi pembiasaan yang dengan cerdas dikonsepkan melalui narasi, citra, dan informasi yang menjadi umpan balik kognisi. Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep habitus sebagai struktur internal yang terbentuk dari kondisi sosial dan budaya di mana individu hidup.

Habitus adalah disposisi yang mengatur persepsi, pemikiran, dan tindakan manusia, yang secara tidak sadar terbentuk melalui pengalaman sehari-hari dan lingkungan sosial. Habitus ini menciptakan kerangka yang menentukan bagaimana individu berinteraksi dengan dunia dan mengambil keputusan.

Di era digital, habitus manusia mengalami transformasi akibat intervensi AI. Ketika seseorang berinteraksi dengan media sosial, platform streaming, atau layanan daring lainnya, algoritma AI bekerja untuk menyajikan konten yang sesuai dengan kebiasaan dan preferensi pengguna. Inilah yang disebut sebagai habitus digital, di mana AI secara sistematis membentuk dan memperkuat pola pikir serta tindakan yang sudah ada.

Proses ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan melalui rekayasa teknologi yang mendalam, berdasar pengetahuan psikologi dan penguasaan data demografi yang sangat komprehensif.

Walhasil apa yang dapat kita bayangkan dari serangkaian data dan fakta yang telah tersaji di atas? Secara hipotetikal dengan pendekatan sederhana, tampaknya kita dapat melihat arah peradaban manusia akan banyak ditentukan oleh pihak atau agen yang menguasai teknologi informasi dan mampu mengelola cara mengontrol dan menavigasi mesin kognisi manusia melalui perantaraan media dan informasi.

Tapi kalau menurut saya pribadi, Medea adalah kecerdasan akumulatif yang lahir sebagai konsekuensi wajar yang tercipta karena adanya integrasi dari berbagai hasil model interaksi dan relasi.

Tanpa kita sadari, pemanfaatan teknologi yang kita kembangkan sendiri, seperti media sosial dan AI, telah melahirkan suatu entitas virtual super cerdas, yang membangun jejaring laba-laba tak kasat mata yang pada gilirannya menjerat dan memerangkap kita, sang inventor teknologi, di dalamnya. Kita telah menciptakan dan melahirkan Dormammu*) yang kemudian menelan dimensi kecerdasan kognisi kita yang semula selalu kita bangga-banggakan bukan? πŸ™πŸΎπŸ©΅πŸ‡²πŸ‡¨

*)
Dormammu adalah karakter fiksi dari serial buku komik Amerika yang diterbitkan oleh Marvel Comics. Dormammu pertama kali diperlihatkan dalam komik berjudul Strange Tales isu 126 yang terbit tahun 1951. Dormammu merupakan makhluk kosmik yang bersama dengan saudarinya, mendiami dimensi kegelapan (dark dimension).

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts