Tauhid Nur Azhar

Masa Kecil di Area Wallacea

Pagi di Bukit Ilongkow yang selalu berkabut memang sesuatu yang akan sulit dilupakan oleh siapapun yang pernah tinggal di sana. Baik itu Mr White konsultan asal Inggris yang punya hobby unik membuat kapal layar di bagian tengah rumah dinasnya, maupun bagi Pak Abdullah sekeluarga yang asli berasal dari keriuhan ibukota, tetangga persis di sebelah rumah saya.

Apalagi saya, jika diberi kesempatan mengulang satu episode dalam kehidupan, tampaknya saya dengan mantap dan yakin akan memilih periode Bukit Ilongkow, sungai Toraut, Taman Nasional Nani Wartabone, SD Negeri V Mogolaing, Kotamobagu, dan Bolaang Mongondow sebagai periode yang telah meninggalkan kesan begitu mendalam dalam hidup saya.

Saya masih sangat ingat rumah dinas Bapak di Bukit Ilongkow itu, kecil saja tapi dikelilingi kawasan hijau setengah hutan yang begitu asri. Di bagian depan kompleks yang hanya terdiri dari 9 bangunan, 8 rumah dinas dan 1 mess atau wisma tamu, terdapat lembah dengan rumpun bambu yang sedemikian rimbunnya hingga di sore sampai pagi berikutnya menjadi rumah untuk beristirahat ribuan burung Cangak (Ardea cinerea) atau Kuntul sapi yang berbulu putih paruh runcing panjang dengan sepasang kaki jenjang.

Di samping rumah ada pohon durian besar yang buahnya luar biasa manis, pulen, legit, dan aromanya begitu harum menggoda. Sementara di got-got dekat sekolah tempat kami belajar di alam dengan dibimbing para guru yang dipimpin Encik Simbala sang kepala sekolah nan bijaksana, begitu banyak ikan air tawar berbagai jenis yang hidup di air jernih berarus deras, persis seperti gambaran got-got di Jepang dengan ikan Koi nya yang saat ini banyak diunggah di media sosial seperti Instagram.

Encik Simbala dan para guru SD saya, dengan segenap keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya, melakukan banyak inovasi pembelajaran yang mungkin hari ini dapat dikategorikan sebagai experiental learning dengan alam menjadi media belajar yang menyediakan begitu banyak alat bantu dalam memahami matematika, IPA, juga tentang budaya dan berbagai konsep sains lainnya.

Pulang sekolah adalah masa-masa yang paling saya nanti karena begitu banyak petualangan yang ingin saya lakukan bersama teman atau kadang sendirian. Memancing udang galah di bawah jembatan tempat perahu penambang pasir di samping kantor Bapak adalah salah satunya.

Udangnya gemuk-gemuk dan lezat, memancingnya sangat gampang, cukup berbekal umpan cacing dan joran bambu dengan senar dan kail sederhana yang dirangkai apa adanya. Udangnya terlalu banyak, maka diberi umpan apa saja akan ditangkapnya dengan galah bercapit dan takkan di lepas saat senar kita tarik ke permukaan. Gampang sekali, tidak sesulit proses memancing dengan alat pancing canggih yang dapat kita lihat di program TV Mancing Mania nya Mas Dudit Wibowo.

Memancing ikan di sungai Toraut juga relatif sangat mudah, malah kalau berani bisa ambil Sogili dengan hanya berumpan tangan sendiri. Caranya? Masukkan telunjuk ke lubang yang diduga sarang Sogili, atau belakangan hari setelah saya tinggal di Jawa saya baru tahu, punya nama lain ikan Sidat. Ada 5 jenis ikan sidat di Sulawesi yaitu Anguilla marmorata, Anguilla celebesensis, Anguilla borneensis, Anguilla bicolor pacifica dan Anguilla interioris, biarkan ikan menggigit jari, bengkokkan jari dan tarik keluar ikan. Ya pasti sakit dan berdarah-darah, tapi ikannya enak sekali. Lapisan lemak bawah kulitnya lembut, gurih, dan lumer di mulut kalau digoreng dengan minyak kelapa kopra yang harum sekali.

Sogili dulu banyak sekali terdapat di daerah aliran sungai Poso dan Tomasa di Sulawesi Tengah, daerah yang juga sangat syaa sukai karena keanekaragaman hayatinya juga masih sangat tinggi. Entah bagaimana kabar kondisi ekosistemnya saat ini, mengingat banyak daerah yang dulu terkategori sebagai enclave lingkungan yang asri telah banyak tersubstitusi fungsinya menjadi daerah produksi tambang hak penguasaan hutan, permukiman dll.

Kalau ada waktu senggang karena Encik Simbala dan para guru dipanggil rapat ke dinas pendidikan kabupaten, maka saya yang pulang cepat ikut Bapak ke lapangan. Maklumlah ayah saya yang seorang insinyur sipil alumni ITB dan telah meraih gelar master hidrologinya di IHE Delft, adalah tukang membuat bendungan dan jaringan irigasi yang airnya diperuntukkan bagi pengairan persawahan produktif dan juga air baku, selain juga pengendali banjir. Area kerjanya meliputi daerah aliran sungai Dumoga yang terletak di wilayah Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone adalah taman nasional terluas di Sulawesi Utara, dengan luas 282.008,757 hektare. Taman nasional ini merupakan kawasan konservasi yang didominasi oleh hutan rimba dan memiliki banyak sumber air, seperti air terjun dan sumber air panas. Taman nasional ini juga memiliki beragam fauna endemik yang dilindungi, salah satunya adalah Burung Maleo

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone merupakan habitat bagi ratusan spesies hewan dan vegetasi. Sampai saat ini telah teridentifikasi 125 jenis burung, 24 jenis mamalia, 23 jenis amfibi dan reptil, serta 289 jenis pohon, hidup di dalamnya. Taman nasional ini menjadi habitat bagi flora/vegetasi endemik seperti cempaka, palem matayangan, dan nantu. Kawasannya ideal pula untuk dijadikan sebagai wisata alam.

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berbatasan langsung dengan 125 desa. Air dari daerah aliran sungai dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk diminum, pertanian, maupun sebagai pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Lalu mengapa Sulawesi Utara, Bolaang Mongondow, Kotamobagu, Bukit Ilongkow, dan Dumoga menjadi begitu penuh eksotika? Salah satunya karena ada perbedaan bioregion wilayah ini dengan wilayah Indonesia lain yang ada di sisi baratnya? Kok bisa?

Fakta uniknya adalah karena Indonesia adalah negeri di persimpangan dua dunia biogeografis, kawasan unik tempat Asia dan Australasia bertemu, tetapi juga terpisah oleh sejarah geologi dan evolusi. Dua garis penting yang dikenal sebagai Garis Wallace dan Garis Weber membagi kawasan ini menjadi zona transisi yang dikenal sebagai Wallacea, di mana spesies dan ekosistem khas berkembang secara unik.

Penemuan dan studi mendalam di wilayah ini tidak hanya menjadi titik awal pemahaman biodiversitas, tetapi juga menambah wawasan tentang sejarah geologis dan biogeografi yang berperan besar dalam membentuk ekosistem Nusantara.

Garis Wallace pertama kali diusulkan oleh Alfred Russel Wallace pada abad ke-19, seorang naturalis Inggris yang terpesona oleh perbedaan flora dan fauna antara wilayah barat dan timur Indonesia. Garis ini, yang membentang dari Selat Makassar di utara hingga Selat Lombok di selatan, menjadi batas antara spesies yang mirip Asia di barat dan spesies yang lebih mirip Australasia di timur. Wallace menyadari bahwa meskipun jarak antara Bali dan Lombok hanya beberapa kilometer, perbedaan dalam komposisi spesies sangat mencolok.

Lebih dari tiga dekade kemudian, Max Weber memperkenalkan Garis Weber sebagai batas yang lebih jauh ke timur, menempatkan sebagian besar Sulawesi dan Kepulauan Maluku di sisi Australasia. Pengamatan ini, yang didukung oleh perkembangan ilmu biogeografi, menegaskan bahwa wilayah ini bukan hanya pertemuan antara dua fauna dunia tetapi juga wilayah dengan karakteristik unik.

Secara geologis, Indonesia berada di pertemuan Lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, yang menciptakan perpaduan kepulauan dengan sejarah yang rumit. Sulawesi, misalnya, terbentuk akibat pergerakan dan tekanan lempeng selama jutaan tahun, menyebabkan pulau-pulau yang saling terisolasi dan memungkinkan spesies berevolusi secara independen. Ini adalah dasar bagi teori Wallace yang menunjukkan bagaimana isolasi geografis memungkinkan spesies menjadi sangat khas di tiap wilayah.

Di balik terpisahnya bioekoregion oleh garis Wallace dan Weber, terdapat teori-teori penting yang menjelaskan bagaimana spesies berkembang secara berbeda di dua wilayah Indonesia:

1. Teori Geologi Lempeng Tektonik: Pembentukan pulau-pulau Indonesia selama jutaan tahun akibat pergerakan lempeng menciptakan habitat yang terpisah-pisah. Hal ini berperan besar dalam perkembangan spesies endemik yang tidak ditemukan di tempat lain.

2. Teori Dispersi dan Isolasi Darwin-Wallace: Isolasi geografis di antara pulau-pulau membuat spesies berevolusi secara unik. Misalnya, banyak spesies di Wallacea tidak ditemukan di wilayah Asia atau Australasia, melainkan memiliki campuran atau bentuk unik hasil isolasi panjang.

3. Teori Ekoton dan Adaptasi Habitat: Wilayah Wallacea sebagai ekoton menjadi kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi akibat campuran habitat yang unik. Di sini, spesies beradaptasi terhadap kondisi yang tidak dimiliki oleh kedua wilayah fauna yang bersebelahan, yaitu Asia dan Australasia.

Di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone lah kita dapat mengamati biodiversitas unik yang tak kita jumpai di ekoregion barat.

Spesies khas Sulawesi dan Wallacea antara lain adalah;
Tarsius (Tarsius tarsier): Primata mungil ini merupakan salah satu yang terkecil di dunia dan hanya ditemukan di Sulawesi. Adaptasi malam dan matanya yang besar membuatnya unik dalam dunia primata.

Yaki (Macaca nigra): Juga dikenal sebagai monyet hitam Sulawesi, spesies ini merupakan primata endemik Sulawesi dengan ciri khas bulu hitam dan sikap sosial yang tinggi.

Anoa (Bubalus depressicornis): Dijuluki β€œkerbau kerdil,” anoa hidup di hutan Sulawesi yang lebat dan sulit diakses, menjadikannya spesies unik yang sangat terancam.

Maleo (Macrocephalon maleo): Burung ini memendam telurnya di tanah vulkanik panas untuk membantu proses inkubasi, sebuah adaptasi yang sangat jarang ditemui dalam dunia burung.

Babirusa (Babyrousa celebensis): Dengan taring panjang yang melengkung, babirusa adalah ikon dari fauna khas Wallacea yang berkembang secara independen dari kerabatnya di Asia dan Australasia.

Secara umum kini tercatat jumlah spesies mamalia di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sekitar 200 spesies, dengan 80% di antaranya endemik.

Lalu ada spesies burung, dimana area Wallacea adalah rumah bagi sekitar 650 jenis burung, dengan lebih dari 240 di antaranya merupakan spesies endemik.

Kemudian spesies reptil dan amfibi, lebih dari 150 spesies dengan 60% spesies endemik di antaranya.

Tak heran jika saya yang amat menggemari pelajaran biologi di sekolah teramat senang jika diajak Bapak ke lapangan. Sambil menunggui Bapak yang asyik masyuk bekerja dengan berlembar-lembar gambar desain teknik dan beraneka perhitungan mekanika saya asyik mengintip Maleo bertelur di dekat sumber air panas vulkanik, atau mengganggu Yaki yang sedang asyik memetik buah Matoa. Walhasil saya dilemparinua dengan buah-buah yang ranum. Lumayan, tidak usah memanjat tapi bisa mendapat buat yang tak hanya manis, tapi juga berasa gurih lezat. πŸ™πŸΎπŸ©΅πŸ‡²πŸ‡¨

Studi literatur jika ingin mendapat pemahaman lebih lanjut tentang Garis Wallace dan Weber, dapat membaca dan mempelajari buku-buku di bawah ini ;

1. Wallace, A. R. (1869). “The Malay Archipelago”: Buku ini menjadi rujukan utama untuk pengamatan awal biogeografi dan asal usul konsep Garis Wallace. Wallace mendokumentasikan flora dan fauna dengan detail, yang menjadi landasan bagi studi biogeografi di Nusantara.

2. Weber, M. (1902). “Zoo-geography of the Malay Archipelago”: Weber, seorang zoolog asal Jerman, mengembangkan pemikiran Wallace dengan memperkenalkan Garis Weber, memberi perspektif lebih spesifik mengenai batas fauna Asia dan Australasia.

3. Hall, R. (2009). “The Eurasian-Philippine Sea Plate Boundary”: Studi ini mengulas pergerakan lempeng tektonik yang kompleks di Indonesia, memperkuat pemahaman mengenai pemisahan biogeografis antara wilayah Asia dan Australasia.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts