Kita, Plastik, dan Mikroba
Kita, Plastik, dan Mikroba
Pagi ini saya merasa sangat berbahagia. Mengapa? Udara cerah dan segar di sepanjang jalan Dago menandakan minimnya tingkat polusi dari emisi gas buang pagi ini. Tak hanya itu saja, saya bersua dengan banyak pengguna trotoar yang sama dengan saya, berjalan kaki menikmati indahnya pagi.
Bonus yang amat menyenangkan adalah saat melihat di sepanjang perjalanan tak terlihat tebaran, atau bahkan tumpukan sampah yang biasanya sampai menggunung di beberapa lokasi tertentu. Hari ini tumben, bersih dan nyaman.
Tak dapat dipungkiri sampah dan limbah adalah ekses jamak yang merupakan bagian dari kewajaran perkembangan peradaban. Makanan dan apapun dikemas, dan kemasan dibuat dari plastik yang praktis dan murah. Sintetik memang dapat menjadi metoda sinkretik yang memadukan banyak kepentingan yang pada akhirnya banyak berakhir di dalam sekantong plastik.
Kemudahan dan budaya instan juga suatu model pernikahan fatalistik yang tak hanya romantik, melainkan juga dapat melahirkan kehancuran katastropik. Masalahnya akan terakumulasi secara kronik, dan saat tereskalasi secara optimal, hampir dapat dipastikan akan memantik suatu peristiwa tragis yang ikonik.
Banjir, ledakan gunung sampah seperti di TPA Leuwi Gajah Cimahi, ikan-ikan tercemar mikro plastik, sampai gangguan yang bersifat estetik, dapat bermuara pada suatu kondisi kataklismik.
Tapi Sang Maha Pencipta adalah Sang Maha Perencana yang juga menjadi sumber dari segala sumber algoritma. Di balik setiap peristiwa, dengan ilmu yang menyertainya, kita akan dapat melihat lapis-lapis fenomena yang terus saja menghadirkan kejutan yang mengagumkan.
Ketika plastik menjadi masalah dunia, muncullah pengetahuan dari dunia tak kasat mata, mikroba. Mereka yang secara jumlah populasinya tak akan tertandingi oleh manusia, berkarya dalam diam di riuhnya dunia yang mereka huni dalam sepi, tapi tentu tak sendiri, karena mereka selalu hidup berkoloni.
Plastik yang menjadi berkah, sekaligus masalah bagi peradaban manusia, merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu jenis plastik yang paling banyak mencemari lingkungan adalah polietilena tereftalat (PET), yang digunakan dalam botol plastik, kemasan makanan, dan tekstil. PET adalah jenis polimer yang memiliki struktur kimia sangat stabil dan memerlukan waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai secara alami di lingkungan.
Polimer ini bersifat hidrofobik dan tahan terhadap dekomposisi kimia maupun fisik. Penguraian plastik secara alami sangat lambat, menyebabkan akumulasi besar-besaran di lautan dan daratan, menimbulkan ancaman bagi ekosistem laut dan darat. Plastik yang terfragmentasi menjadi mikroplastik juga dapat masuk ke dalam rantai makanan dan menyebabkan efek berbahaya pada organisme.
Menurut data dari Our World in Data (2021), produksi plastik global mencapai sekitar 400 juta ton per tahun. Di Indonesia, berdasarkan laporan dari BPS dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2023), jumlah limbah plastik yang dihasilkan mencapai 6,8 juta ton per tahun. Sebagian besar limbah ini tidak tertangani dengan baik dan berakhir di lautan, menjadikan Indonesia salah satu negara penyumbang limbah plastik terbesar di dunia.
Tapi siapa sangka dan siapa bisa duga, dari dunia tak kasat mata ada penelitian yang membuktikan, bahwa di sekitar kita ternyata ada mikroba yang dapat mengurai plastik, meski sesungguhnya plastik adalah hasil produk sintetik rekayasa manusia yang punya banyak akal dan cerdik.
Salah satu spesies mikroba yang telah teridentifikasi adalah Ideonella sakaiensis. Bakteri yang satu ini adalah bakteri gram-negatif yang pertama kali ditemukan pada tahun 2016 oleh sekelompok peneliti Jepang dari lingkungan yang terkontaminasi dengan limbah plastik.
Bakteri ini mampu mendegradasi PET secara biologis. Dimana secara taksonomi, Ideonella sakaiensis termasuk dalam filum Proteobacteria, kelas Betaproteobacteria, ordo Burkholderiales, dan famili Comamonadaceae.
Ideonella sakaiensis memiliki enzim spesifik yang disebut PETase, yang berfungsi memecah rantai polimer PET menjadi monomer-monomer asam tereftalat (TPA) dan etilen glikol (EG), yang kemudian digunakan sebagai sumber karbon oleh bakteri untuk pertumbuhan dan energi. PETase adalah enzim yang sangat efisien dalam memecah struktur molekul plastik PET, memungkinkan degradasi yang lebih cepat daripada proses alami.
Proses degradasi plastik oleh Ideonella sakaiensis melibatkan beberapa tahap sebagai berikut, pengikatan enzim PETase ke permukaan plastik: di mana enzim PETase pertama kali mengikat permukaan plastik PET. Bagian aktif dari enzim ini kemudian menghidrolisis ikatan ester pada PET, memutus rantai polimer menjadi molekul yang lebih kecil, terutama asam tereftalat dan etilen glikol.
Proses ini kemudian diikuti oleh pemecahan polimer PET, dimana PETase memiliki kemampuan untuk menargetkan dan memutuskan ikatan ester dalam PET melalui proses hidrolisis enzimatik, yang mengubah rantai polimer menjadi oligomer dan akhirnya menjadi monomer.
Setelah PETase mengubah PET menjadi monomer tereftalat (MHET), enzim lain yang disebut MHETase menguraikan MHET menjadi asam tereftalat (TPA) dan etilen glikol (EG). Dimana kedua senyawa ini kemudian dimetabolisme oleh Ideonella sakaiensis sebagai sumber karbon dan energi.
TPA dan EG yang dihasilkan oleh proses hidrolisis selanjutnya diolah oleh sel bakteri menjadi energi melalui jalur metabolisme standar. Dengan demikian, Ideonella sakaiensis tidak hanya mendegradasi plastik, tetapi juga mengasimilasi produk degradasi tersebut untuk pertumbuhannya.
Ajaib bukan? Kita, baca: manusia, yang merasa pintar dan serba bisa, ternyata dalam setiap langkah kreatif inovatifnya yang kerap menghasilkan ekses yang tak dapat dikelolanya, pada akhirnya bergantung juga pada bantuan semesta bukan?
Demikianlah ilmu pengetahuan berjalan pada relnya yang sepertinya mengarahkan kita untuk membangun kesadaran terkait keberadaan dan distribusi peran dalam mekanisme fisiologi kesemestaan, ada limbah ada bakteri pengurainya. Ada masalah ada solusi penawarnya. Demikianlah siklus dinamika kecerdasan akan terus berlangsung secara berkesinambungan, sebagaimana alam yang senantiasa setia menjadi ruang-ruang kelas untuk kita belajar di dalamnya. ππΎπ©΅π²π¨
Bahan Bacaan Lanjut
Yoshida, S., Hiraga, K., Takehana, T., Taniguchi, I., Yamaji, H., Maeda, Y., … & Oda, K. (2016). A bacterium that degrades and assimilates poly(ethylene terephthalate). Science, 351(6278), 1196-1199.
Geyer, R., Jambeck, J. R., & Law, K. L. (2017). Production, use, and fate of all plastics ever made. Science Advances, 3(7), e1700782.
BPS. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia.