Tauhid Nur Azhar

Belitong, Tarsius, dan Misi Khusus

Pagi itu saya berjumpa kembali dengan Om Akhian sahabat saya yang aseli orang Belitong. Meski memiliki rumah di Tanjung Pandan, ia lebih sering menghabiskan waktunya di Rumah Makan Pohon Ketapang miliknya, yang terletak di Tanjung Tinggi. Suatu daerah yang menjadi sangat terkenal karena dijadikan salah satu lokasi syuting film fenomenal Laskar Pelangi.

Belitong meski kini sudah menjadi salah satu daerah tujuan wisata nasional, bahkan regional, dan global, adalah daerah yang bagi saya masih menyimpan begitu banyak potensi yang selalu dapat dielaborasi, meski harus dilakukan secara bijak dan terintegrasi dengan prinsip utama kebersinambungan yang bijak bestari.

Kita sudah punya cukup banyak bukti tentang eksploitasi yang kebablasan dalam konteks memanipulasi sumber daya alam, hingga berdampak serius pada keberlanjutan hajat hidup populasi. Keseimbangan tak terjaga, dan bencanapun tak termitigasi. Akibatnya tentu saja akan banyak persoalan yang tak pernah diprediksi, mulai datang menghampiri dan menggerus segenap daya dan energi dalam konteks menangani dan memperbaiki~mereparasi dan membangun kembali.

Tapi marilah kita sejenak larut dalam keindahan dan syahdunya Pantai Kelayang di depan pondok makan Ketapang ini dulu ya. Selepas perjalanan darat dari bandara HAS Hanandjoeddin yang cukup panjang, tapi tak terasa, karena diisi dengan obrolan riang bersama Om Akhian yang setiap saya mampir selalu tampak girang, saya pun akhirnya nongkrong dengan sepiring ikan dan cumi bakar yang dilengkapi sambal belacan.

Angin sepoi-sepoi yang menggoyangkan pohon kelapa, membuat hammock yang saya tiduri turut mengayun lembut dan membuat suasana makin melangut. Rasanya segenap indera sudah siap untuk terlarut dalam lantunan orkestra gelombang theta yang membuat kita menghablur dengan simfoni semesta.

Dalam kantuk yang ditingkahi debur ombak itulah, saya berpikir tentang apa dan bagaimana sebuah pulau secantik ini bisa terhampar mesra nan manja di bagian barat Indonesia.

Pulau Belitung, atau Belitong dalam bahasa setempat, memiliki sejarah geologi yang unik dan menarik, dengan berbagai kekayaan mineral dan formasi batuan yang menjadikannya salah satu pulau yang khas di Indonesia. Terletak di antara Sumatra dan Kalimantan, pulau ini memiliki lanskap yang didominasi oleh batu granit raksasa, pasir kuarsa putih, dan lautan biru.

Sejarah geologi Belitong terkait erat dengan proses pembentukan bumi dan pergerakan lempeng tektonik selama jutaan tahun.

Pulau Belitong terbentuk melalui proses geologi yang panjang, yang dimulai sekitar 200 hingga 300 juta tahun lalu selama era Paleozoikum dan Mesozoikum. Pada waktu itu, wilayah ini berada di bawah laut, dengan aktivitas tektonik yang intens. Dalam proses pergerakan lempeng bumi, pulau Belitong mengalami pengangkatan sehingga terbentuklah daratan. Proses ini membawa serta berbagai material dari dasar laut, termasuk granit, kaolin, dan timah yang kini menjadi bagian penting dari lanskap dan ekonomi pulau.

Formasi granit Belitong, yang sangat terkenal, terbentuk sekitar 240 juta tahun lalu pada periode Trias. Granit ini berasal dari aktivitas magmatik yang terjadi jauh di bawah permukaan bumi. Saat magma naik ke permukaan dan mendingin perlahan, terbentuklah batuan granit yang kini kita lihat sebagai bebatuan besar yang tersebar di sepanjang pantai Belitong.

Batu-batu granit raksasa ini tererosi selama jutaan tahun oleh angin, ombak, dan air hujan, sehingga membentuk formasi yang dramatis dan unik, seperti yang terlihat di Pantai Tanjung Tinggi dan Pantai Lengkuas.

Tak heran jika Belitong juga dikenal sebagai salah satu pusat penambangan timah terbesar di Indonesia, bersama dengan Bangka. Sejarah penambangan timah di pulau ini dimulai sejak zaman kolonial Belanda pada abad ke-18. Pulau ini memiliki endapan timah alluvial yang terbentuk dari pelapukan batuan granit yang kaya mineral. Timah yang ada di Belitung merupakan sumber daya yang sangat penting, tidak hanya bagi perekonomian lokal tetapi juga sebagai bagian dari sejarah panjang perdagangan internasional.

Selain timah, Belitong juga terkenal dengan deposit kaolin, sejenis tanah liat putih yang digunakan dalam industri keramik, kertas, dan kosmetik. Kaolin dihasilkan dari pelapukan batuan granit yang berlangsung selama jutaan tahun. Mineral ini digunakan sejak zaman Belanda dan hingga kini masih menjadi komoditas penting dari pulau Belitong. Bahkan, kaolin dari Belitong dikenal memiliki kualitas yang sangat baik dan menjadi salah satu produk unggulan dari sektor pertambangan pulau ini.

Selain kaya akan mineral, sejarah geologi Belitong juga mempengaruhi ekosistem dan biodiversitas pulau ini. Proses geologis yang panjang, ditambah dengan isolasi pulau ini dari daratan utama, telah menghasilkan kekayaan flora dan fauna yang unik.

Salah satu contohnya adalah Tarsius, primata kecil dengan mata besar yang endemik di kawasan Bukit Peramun. Ekosistem hutan tropis yang tumbuh di atas tanah yang kaya mineral dan terstruktur oleh batuan granit, menciptakan lingkungan unik bagi spesies-spesies ini untuk berkembang.

Tarsius merupakan salah satu primata terkecil di dunia yang memiliki karakteristik unik. Di Pulau Belitong, terdapat spesies Tarsius bancanus saltator, subspesies dari Tarsius bancanus, yang juga ditemukan di wilayah lain di Kepulauan ex Sundaland.

Tarsius termasuk dalam ordo primata, famili Tarsiidae. Nama Tarsius berasal dari tarsal (tulang pergelangan kaki) mereka yang panjang, yang memungkinkan mereka untuk melompat dengan jarak yang luar biasa meskipun tubuh mereka kecil. Subspesies yang ditemukan di Belitong, Tarsius bancanus saltator, memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari subspesies lainnya, termasuk perilaku dan adaptasi terhadap habitat lokal.

Tarsius bancanus saltator adalah primata kecil yang hanya memiliki panjang tubuh sekitar 12-15 cm, dengan ekor yang lebih panjang mencapai 20-25 cm. Salah satu ciri paling mencolok dari tarsius adalah matanya yang sangat besar, yang memungkinkan mereka melihat dengan sangat baik di malam hari. Ukuran mata mereka bahkan lebih besar dari otaknya, sebuah adaptasi yang mendukung penglihatan nokturnal.

Ciri lain yang unik adalah jari-jarinya yang panjang, terutama jari kaki bagian belakang, yang membantu mereka menggenggam cabang pohon dan melompat dengan kuat. Tarsius memiliki gigi taring yang tajam dan rahang kuat yang cocok untuk memakan serangga, burung kecil, dan reptil yang menjadi makanan utamanya.

Habitat utama Tarsius di Belitong adalah hutan primer dan sekunder yang masih terjaga, seperti yang ditemukan di Bukit Peramun, salah satu kawasan pelestarian alam di Pulau Belitong. Bukit Peramun, yang memiliki ketinggian sekitar 129 meter di atas permukaan laut, menyediakan lingkungan yang ideal bagi Tarsius, dengan pepohonan tinggi dan lebat serta banyak serangga yang menjadi sumber makanan mereka.

Tarsius adalah hewan nokturnal, yang berarti mereka aktif berburu makanan di malam hari. Mereka biasanya hidup di kanopi pohon atau semak-semak rendah, bergerak dengan lompatan-lompatan cepat dari satu pohon ke pohon lainnya. Meskipun tubuh mereka kecil, Tarsius dapat melompat sejauh 3 meter dalam sekali lompatan, berkat kekuatan kaki belakangnya yang luar biasa.

Perilaku sosial Tarsius cenderung soliter, meskipun mereka kadang ditemukan dalam kelompok kecil, terutama pasangan induk dan anak-anaknya. Komunikasi antar individu dilakukan melalui suara ultrasonik yang tidak bisa didengar oleh telinga manusia, dan hal ini membuat Tarsius semakin sulit diamati di alam liar.

Kembali ke pantai ajaib di depan Pondok Makan Pohon Ketapang milik Bang Akhian, saya mulai “keracunan”. Efek Gangan Ketarap dan ikan Bulat bakar bumbu 2 rasa yang dimakan bersama rajungan kuah pedas, mulai berdampak pada sistem kesadaran saya.

Perlahan seiring dengan ayunan hammock yang semakin membuai seirama debur lembut ombak di pantai membuat saya berada dalam kondisi yang kata orang Sundanya adalah ereup-ereup, alias memasuki fase day dreaming yang didominasi oleh gelombang otak Alfa di frekuensi 8-13 Hz yang menawarkan ketenangan dan keselarasan dengan rentang gelombang alam di sekitar.

Pikiran setengah sadar saya segera berkelana menembus batas waktu dan geografi sedemikian rupa. Di lamunan saya, terlintaslah berbagai fakta tentang kekayaan sumber daya alam Indonesia yang begitu beragam, termasuk dalam hal pangan.

Termasuk tentu perkara laut dan daratan Belitong yang menyimpan begitu banyak potensi nutrisi yang belum sepenuhnya dieksplorasi, termasuk ikan-ikan lokal yang tidak hanya kaya protein tetapi juga mengandung senyawa bioaktif yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.

Saat leyeh-leyeh di atas hammock di tepi pantai, saya berpikir tentang bagaimana ikan bandeng, lele, kembung, patin, dan gabus yang sering kita temukan di pasar tradisional di hampir seluruh pelosok Nusantara, sebenarnya mengandung nutrisi luar biasa. Ikan bandeng (Chanos Chanos sp), misalnya, kaya akan omega-3 yang dapat mendukung fungsi kognitif dan kesehatan jantung. Nutrigenomik menunjukkan bahwa asam lemak omega-3 seperti EPA dan DHA mampu mengatur ekspresi gen yang berperan dalam proses anti-inflamasi.

Sementara ikan gabus dengan kandungan albuminnya yang tinggi, memiliki manfaat dalam mempercepat penyembuhan luka dan bahkan mendukung neuroplastisitas; kemampuan otak untuk beradaptasi dan memperbaiki diri.

Saya juga memikirkan rumput laut yang tumbuh subur di perairan Belitong dan banyak perairan tropis Nusantara di pulau dan pesisir lainnya. Jenis-jenis seperti Gracilaria, Sargassum, dan Eucheuma kaya akan serat, mineral, dan senyawa bioaktif seperti fucoidan dan astaxanthin. Fucoidan terbukti dapat meningkatkan sistem imun dan memperbaiki respons anti-inflamasi, sedangkan astaxanthin memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat, melindungi sel dari kerusakan akibat radikal bebas.

Tidak lengkap rasanya berbicara tentang kekayaan dan keragaman hayati Indonesia tanpa menyebut rempah-rempah dan tanaman obat tradisional. Temulawak, jahe, cengkeh, pala, dan tanaman seperti sambiloto serta daun kelor memiliki potensi sangat besar sebagai sumber nutrisi super. Kurkumin dalam temulawak, misalnya, mampu memodulasi ekspresi gen yang berhubungan dengan peradangan dan bahkan apoptosis sel kanker.

Eugenol dalam cengkeh membantu menghambat ekspresi gen yang mempromosikan peradangan, sementara miristisin dalam Pala berpotensi sebagai neuroprotektor yang mendukung kesehatan mental dan fungsi kognitif.

Saya jadi ingat masakan Tante Selvi, istri Bang Akhian, yang baru saja sikat habis tadi, Gangan Ketarap, hidangan berbasis ikan dengan kuah rempah yang segar, rasa kunyit dan serai yang kuat seolah membawa saya kembali ke akar kekayaan kuliner Indonesia, sebuah percampuran antara rasa dan manfaat kesehatan yang bijak dan sarat dengan kearifan lokal yang mampu memadupadankan antara potensi yang tersedia dengan kemampuan kognisi untuk melakukan berbagai proses inovasi.

Tak mau kehilangan momentum dengan menghabiskan sore yang indah di pantai pohon Ketapang itu dengan tidur yang berkepanjangan, saya memutuskan unfuk mulai berjalan menyusuri pantai terindah di Belitong itu. Keindahannya akan semakin mempesona pada saat jingga di waktu senja telah mulai merona, dan sebelum momentum luar bias itu tiba, saya ingin sejenak berkelana. Membiarkan pikiran mengembara dan melayang jauh ke masa depan.

Banyak tanya dan fakta saling berkelindan di benak saya, khususnya berkisar tentang peran teknologi dalam upaya mengoptimasi daya kelola aneka sumber daya yang sedemikian hebatnya ini. Dengan kemajuan teknologi, potensi sumber daya alam Nusantara tentu akan bisa dimaksimalkan. Teknologi nano, misalnya, dapat mengubah cara kita mengonsumsi nutrisi super dari sumber pangan lokal. Nanoemulsi minyak ikan, nanokapsul kurkumin, dan nanopartikel ekstrak rumput laut adalah inovasi yang dapat meningkatkan bioavailabilitas senyawa-senyawa bioaktif dari berbagai rempah dan tumbuhan berpotensi obat, termasuk dari endofit dan spons di terumbu karang.

Teknologi pengiriman material berskala super kecil itu akan dapat memastikan tubuh dapat menyerap nutrisi dengan lebih efisien.

Dalam inovasi makanan masa depan, sumber pangan lokal seperti ikan, rumput laut, rempah, dan tanaman obat dapat diolah menjadi makanan fungsional presisi yang disesuaikan dengan kebutuhan genetik individu. Terlebih dengan memanfaatkan mega data dan sensor biologis, kita dapat memonitor asupan nutrisi dan kondisi kesehatan secara real-time, menjadikan makanan sebagai solusi pencegahan penyakit yang dipersonalisasi sedemikian rupa. Sehingga selain enak dan lezat serta menjadi representasi kearifan budaya, sekaligus juga dapat menjadi agen peningkat kualitas sumber daya manusia Indonesia bukan?

Tak terasa senja menjingga di cakrawala, melukis cinta dengan segenap prosa yang tak mampu dirangkai pujangga lewat kata. Yang bersisa hanyalah makna yang begitu dalam hingga membuat kita terbenam dalam samudera jiwa yang hanya menyisakan 1 pinta. πŸ™πŸΎπŸ©΅πŸ‡²πŸ‡¨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts