Paijo di Kedonganan
Di tengah padatnya aktivitas wira-wiri mengisi berbagai acara dengan topik yang berbeda-beda dan bikin kerja keras isi kepala, saya senantiasa berusaha untuk selalu bersyukur dan menikmati indahnya rasa bahagia. Meski tentu bagi setiap manusia sensasi yang dirasa tentulah berbeda-beda.
Bagi saya misalnya, bertemu dengan banyak orang baru dan saling bertukar cerita adalah hal yang selalu memberikan kesan menyenangkan yang sangat mendalam. Saat mendengar cerita itu seolah kita tengah menikmati suguhan drama persepsi yang bermain di theater of mind berdasar skenario yang dikonstruksi oleh rangkaian kata yang diterima oleh telinga.
Terlebih jika ada intonasi khusus, perubahan gestur dan mimik, serta gerakan tangan yang masif sedemikian rupa, untuk memberikan penekanan pada beberapa hal yang menurut sang pencerita sangat penting untuk dapat dipahami secara menyeluruh.
Mungkin itulah peran dari mirror neuron, dimana korteks somatosensoris di otak kita dapat teraktivasi saat melihat sang pencerita memperagakan aneka gerakan dan sentuhan di tubuhnya sendiri. Kita jadi dapat hanyut dan bahkan terlarut, kadang sampai melangut dan turut masuk dalam pusar emosi yang sedemikian kuat memagut.
Dari cerita demi cerita itulah kemudian saya kerap merenung tentang perjalanan diri dan belajar dari proyeksi perjalanan orang lain. Kontemplasi terjadi, meski tentu saja banyak informasi bersifat beda dimensi ataupun diproduksi oleh pihak lian yang beda persepsi, tapi semua itu punya nilai inti alias esensi yang dapat menjadi santapan rohani dan kognisi.
Salah satu kisah yang meski tak saya dengar langsung dari mulut pelakunya, tapi kerap saya nikmati dari sosial media, adalah kisah tentang transformasi PT Kereta Api Indonesia yang diinisiasi oleh seorang pria bernama Ignasius Jonan. Ada yang menjuluki beliau dengan panggilan Paijo, alias Pak Ignasius Jonan. Tokoh yang sepekan kemarin berhasil menyelenggarakan sambutan kedatangan Paus dari Tahta Suci Vatikan yang menggelar misa akbar di stadion utama Bung Karno dan melakukan berbagai kunjungan kehormatan (courtesy call) ke beberapa tokoh penting negeri ini. Termasuk kunjungannya ke Imam Besar Masjid Istiqlal yang menjadi viral.
Kisah Paijo merubah wajah kereta Indonesia melalui kerja cerdas dan keras nan ikhlas telah menjadi milestone luar biasa yang sekaligus menjadi sumber mata air harapan, bahwa perubahan menuju kebaikan itu masih selalu dapat dilakukan. Sesulit apapun kondisi yang dihadapi, ternyata selalu masih menyisakan jalan dan kesempatan bagi kita untuk memperbaiki keadaan. Jonan membuktikan tidak hanya lewat kata, tapi juga lewat perbuatan. Aksi nyata yang menghasilkan perubahan, membumikan dongeng nan utopia, menjadi kisah nyata yang kini sehari-hari dapat kita rasa.
Paijo memang manusia langka dengan tingkat determinasi gagasan yang luar biasa. Tokoh yang dapat berperan sebagai enzim perubahan, dan mengkatalisa reaksi transformasi secara efektif dan efisien. Hasilnya adalah legacy berupa nilai keteladanan dan rangkaian kebaikan demi kebaikan. Beliau berhasil menciptakan reaktor kebaikan yang mampu beroperasi secara berkesinambungan.
Tapi bagi saya berpikir tentang Paijo dan Prof Hono guru besar ITB serta Pak Sarwoto Komisaris Telkomsel yang terus saja tanpa pamrih mencintai Republik ini dengan segenap daya dan air mata tanpa berharap pada reward semata, membuat saya ingin merenung dan menyepi. Mengapa? Karena saya tak habis pikir, kok bisa? Darimana sumber energi itu? Mengapa beliau-beliau ini begitu deeply in love dengan sebuah negeri yang di dalamnya centang perenang berbagai masalah dan konflik, mulai dari ekonomi sampai benturan kepentingan antar kelompok yang ingin menghegemoni.
Saya perlu berlari ke pantai rupanya. Karena bercumbu dengan alam adalah cara manusia untuk mengeskalasi potensi dirinya. Lalu yang perlu saya lakukan di sana adalah melepas sandal dan berlari ke tepi laut. Bermain air dan berkejaran dengan ombak.
Setelah lelah, duduklah di pasir pantai yang lembut dan hangat. Benamkan segenap penat dan beban yang melekat ke pasir yang seolah mendekapmu erat. Dengarkan suara debur ombak yang datang bersahut-sahutan, seolah tak lelah mensyukuri nikmatnya perjalanan dan kesadaran.
Dan pantai Kedonganan yang riuh dengan anak nelayan serta pedagang ikan adalah tempat favorit saya. Bukan Kuta atau Jimbaran yang mulai dipenuhi aroma dan hasrat gawat dari banyak manusia yang mulai mabuk karena syahwat.
Malam-malam purnama di tepi dermaga Kedonganan akan membawa kita larut dalam keriaan anak-anak nelayan yang asyik masyuk bermain bola di bibir pantai yang dipenuhi perahu bercadik yang diunggah ke darat bersama.
Teriakan mereka berbaur mesra dengan kepulan asap batok kelapa yang membakar ikan kakap merah di atasnya. Aroma nya hampir membuat saya gila, karena rasa lapar tetiba menyandera selera. Itulah mungkin yang namanya cinta, berawal dari rasa lalu surut meninggalkan makna, dan berakhir dalam rindu tiada terpana. Atau mungkin juga penyesalan yang tiada berkesudahan.
Duduk di pantai Kedonganan di malam purnama adalah healing dari segenap beban karena overthinking, dan itu tentu saja something. Karena seriously, beberapa teori psikologi dapat digunakan untuk menjelaskan pengalaman ketenangan jiwa saat berada di alam.
Misal ada Attention Restoration Theory (ART), dimana teori ini dikembangkan oleh Kaplan dan Kaplan (1989) dan menyatakan bahwa alam memiliki kemampuan untuk memulihkan perhatian yang terkuras.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sering kali menggunakan directed attention yang memerlukan fokus intensif. Alam memberikan lingkungan di mana seseorang bisa menggunakan involuntary attention, yang lebih ringan dan otomatis.
Proses ini memungkinkan otak untuk beristirahat dan pulih, yang menghasilkan perasaan tenang dan segar.
Lalu ada juga teori Biophilia Hypothesis, dimana teori yang dipopulerkan oleh Edward O. Wilson ini, menyatakan bahwa manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk mencari hubungan dengan alam.
Menurut teori BH ini, keberadaan manusia di alam memberikan rasa keterhubungan dan keseimbangan, karena kita berevolusi dalam lingkungan alami. Ketika seseorang berada di alam, mereka merasa lebih dekat dengan esensi kehidupan itu sendiri, yang dapat mengurangi stres dan meningkatkan kesejahteraan psikologis.
Jangan lupa, ada juga teori Stress Reduction Theory (SRT), dimana teori yang dikemukakan oleh Roger Ulrich ini, menyatakan bahwa kontak dengan alam dapat mengurangi stres secara langsung.
Ketika seseorang dihadapkan dengan pemandangan alami, terutama yang melibatkan air atau pemandangan hijau yang luas, tubuh merespons dengan menurunkan tekanan darah, memperlambat detak jantung, dan mengurangi ketegangan otot. Pengalaman sensoris ini menciptakan kondisi yang optimal untuk pemulihan dari stres.
Demikian juga saat kita duduk di pasir pantai, disinari kelembutan cahaya purnama, sembari mendengar debur ombak, teriak riang anak nelayan, dan menghidui aroma ikan kakap merah bakar yang dipanggang di atas arang, segenap indera dan otak kita seakan berlomba menyesap serotonin, dopamin, dan endorfin untuk membantu korteks prefrontal dan hipokampus serta ventral tegmental area, memetakan suasana dan membangun kesadaran yang penuh cinta.
Mari duduk bersama menikmati keindahan suguhan purnama, lalu esok kita kembali berkarya dari mana saja dan dengan siapa serta apa saja, semata bagi Indonesia. Negara kita tercinta ππΎπ²π¨