Tauhid Nur Azhar

Mengapa Merundung ?

Belakangan ini tengah ramai menjadi sorotan dan perbincangan di ranah publik berbagai hal yang terkait dan terindikasi berasosiasi dengan tindakan atau perilaku perundungan.

Dalam terminologi bahasa, perundungan atau bullying kerap diartikan atau didefinisikan sebagai tindakan agresif yang dilakukan secara berulang kali dan disengaja untuk menyakiti, merendahkan, atau mendominasi orang lain. Perundungan bisa dilakukan secara fisik, verbal, atau sosial.

Pada kesempatan kali ini saya ingin mengelaborasi hal-hal yang bersifat fundamental dan agaknya perlu kita ketahui bersama terkait dengan perundungan, tentu saja agar kita dapat mencegah, menghindari, atau bahkan melakukannya tanpa kita sadari.

Terlepas dari berbagai isu perundungan yang terjadi di institusi pendidikan, termasuk pendidikan profesi kedokteran spesialis yang sampai saat ini masih dalam proses investigasi pihak yang berwenang, dan dengan mengedepankan azas praduga tak bersalah, menjadi krusial bagi kita untuk mengenal anatomi dan sistematika proses perundungan agar kita dapat melakukan proses penilaian secara objektif terhadap suatu situasi dan kondisi yang terindikasi perundungan.

Dalam tulisan kali ini saya ingin mencoba mengupas perundungan dari aspek yang menurut saya cukup relevan: psikologi dan budaya, wa bil khusus dari sisi pendekatan antropologi nya.

Perundungan dapat menimbulkan dampak cukup serius pada kesehatan mental seseorang. Dampak perundungan bagi korban yang kerap dijumpai adalah terpicunya masalah kesehatan mental seperti gangguan cemas, depresi, hingga post-traumatic stress disorder (PTSD).

Dimana Post Traumatic Stress Disorder(PTSD) atau gangguan stres pascatrauma adalah gangguan mental yang dapat terjadi setelah seseorang mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatis. Kode diagnosis untuk PTSD di ICD-10-CM 2024 adalah F43.1.

Pengaruh perundungan terhadap kesehatan mental ini biasanya dialami oleh korban dalam jangka waktu panjang. Dimana secara situasional ada ketidakmampuan dari korban untuk memutus rantai masalah yang biasanya disertai dengan inadekuatnya dukungan sosial atau support system pada yang bersangkutan, yang dikarenakan antara lain posisinya yang inferior atau tersubordinasi oleh sistem dan hirarki, termasuk oleh pranata budaya yang berlaku di lingkungan dimana proses perundungan terjadi.

Untuk itu agar kita dapat mengevaluasi secara objektif dan berimbang, kita perlu memahami anatomi kejiwaan dan kontribusi model relasi dan interaksi sosial yang berperan dalam memantik sifat perundung pada sebagian dari kita, dan faktor apa saya yang memantik terjadinya perundungan pada sebagian dari kita.

Untuk itu kita akan coba menganalisis fenomena perundungan dari dua perspektif yang secara teoritis punya kontribusi besar terhadap lahirnya perilaku merundung, yaitu: psikologi dan antropologi/ budaya. Analisis dari kedua aspek ini diharapkan akan dapat membantu memahami akar penyebab dan dinamika sosial dari perundungan serta implikasinya yang lebih luas dalam konteks budaya.

Perundungan dari Perspektif Psikologi

Dari sudut pandang psikologi, perundungan sering kali dilihat sebagai hasil atau keluaran dari kombinasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi individu.

Terdapat beberapa teori psikologi yang dapat digunakan untuk menjelaskan tindakan perundungan, di antaranya adalah:

Teori Perkembangan Sosial
Menurut teori perkembangan sosial, individu yang menjadi pelaku perundungan sering kali memiliki masalah dalam hal empati dan keterampilan sosial. Mereka cenderung mengalami kesulitan dalam memahami perasaan orang lain, sehingga lebih mudah bagi mereka untuk mendominasi atau mengintimidasi individu lain.

Perundungan sering kali terjadi pada masa remaja, di mana individu sedang mencari identitas dan status sosial. Mereka yang merasa tidak aman tentang posisi mereka dalam kelompok sosial mungkin menggunakan perundungan sebagai alat untuk memperoleh kendali atau kekuasaan.

Teori Frustrasi-Agresi
Teori frustrasi-agresi menyatakan bahwa perundungan bisa jadi adalah hasil dari akumulasi rasa frustrasi yang dialami individu. Ketika seseorang merasa terhalang dalam mencapai tujuan atau keinginannya, frustrasi tersebut dapat diarahkan ke orang lain dalam bentuk agresi.

Pada kasus perundungan, pelaku mungkin melampiaskan frustrasinya terhadap individu yang lebih lemah sebagai cara untuk merasa lebih superior.

Teori Belajar Sosial
Albert Bandura melalui teori belajar sosialnya menyatakan bahwa perilaku seperti perundungan dapat dipelajari melalui observasi. Individu yang tumbuh di lingkungan di mana agresi dan dominasi sering digunakan sebagai alat untuk mendapatkan apa yang diinginkan, mungkin menginternalisasi perilaku tersebut dan mengulanginya dalam hubungan sosialnya.

Media, keluarga, dan lingkungan sekolah atau institusi pendidikan lainnya juga memainkan peran penting dalam membentuk perilaku perundungan, jika membiarkan dominansi berdasar superioritas dan agresi terjadi, atau bahkan tanpa disadari, sistemnya justru mengakomodasi berbagai prasyarat untuk terjadinya proses perundungan yang sebenarnya tidak dikehendaki.

Dampak Psikologis pada Korban, dari aspek psikologi juga dapat dipelajari berbagai dampak perundungan yang biasanya akan mengalami manifestasi dalam jangka panjang dan dapat sangat merugikan, karena memantik berbagai gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, penurunan harga diri, hingga munculnya pikiran atau tindakan bunuh diri.

Studi juga menunjukkan bahwa korban perundungan mungkin mengalami trauma jangka panjang yang memengaruhi kesehatan mental mereka hingga dewasa. Termasuk dalam kasus ini korban-korban yang sampai mengalami kondisi PTSD sebagaimana yang telah kita bahas di atas.

Perundungan dari Perspektif Antropologi dan Ilmu Budaya

Sementara dari perspektif antropologi dan ilmu budaya, perundungan dapat dilihat sebagai bagian dari dinamika kekuasaan dan hierarki dalam suatu masyarakat. Setiap budaya memiliki norma, nilai, dan aturan yang mengatur perilaku sosial, dan perundungan dapat terjadi ketika individu atau kelompok berusaha menegaskan kekuasaan atau mempertahankan status sosial.

Perundungan sebagai Kontrol Sosial
Dalam beberapa budaya, tindakan perundungan mungkin digunakan sebagai bentuk kontrol sosial, di mana individu yang tidak mematuhi norma atau harapan kelompok dikucilkan atau diserang secara verbal maupun fisik.

Hal ini sering terlihat dalam masyarakat yang sangat hierarkis, di mana individu dengan kekuasaan lebih besar merasa berhak mengontrol perilaku individu yang dianggap lebih rendah dalam tatanan sosial.

Struktur Hierarki dan Kekuasaan
Antropologi budaya sering meneliti bagaimana struktur kekuasaan dalam masyarakat dapat mempengaruhi perilaku individu, termasuk perundungan. Dalam masyarakat di mana kesenjangan kekuasaan sangat besar, tindakan perundungan mungkin lebih umum karena individu yang berada di posisi kekuasaan merasa berhak untuk mendominasi atau menindas yang lebih lemah (kelompok minoritas dan inferior).

Sebaliknya, dalam masyarakat yang lebih egaliter, perundungan cenderung lebih jarang karena ada upaya kolektif untuk menjaga keseimbangan kekuasaan.

Perundungan dalam Konteks Budaya Lokal
Fenomena perundungan dapat terjadi dengan model yang berbeda-beda di setiap budaya. Sebagai contoh, di beberapa masyarakat adat, perundungan tidak terjadi secara terang-terangan karena adanya budaya kolektivisme yang kuat. Dalam budaya yang menekankan kebersamaan dan kerjasama, tindakan perundungan akan dikutuk oleh masyarakat secara luas. Sebaliknya, dalam budaya yang lebih individualistik, perundungan mungkin lebih sering terjadi karena adanya kompetisi sosial yang tinggi.

Globalisasi dan Perundungan di Era Digital
Globalisasi dan perkembangan teknologi digital juga membawa perubahan dalam fenomena perundungan, terutama dengan munculnya cyberbullying (perundungan di dunia maya). Dari perspektif antropologi budaya, teknologi digital telah mengubah dinamika kekuasaan, di mana individu dapat melakukan perundungan secara anonim atau dari jarak jauh. Ini memberikan tantangan baru bagi masyarakat dalam mengatasi fenomena perundungan, karena norma sosial yang mengatur interaksi langsung tidak selalu berlaku dalam dunia digital.

Implikasi dan Solusi
Memahami perundungan dari perspektif psikologi dan antropologi budaya memberi kita wawasan yang lebih holistik mengenai fenomena ini. Secara psikologis, pencegahan perundungan memerlukan intervensi yang berfokus pada pengembangan empati dan keterampilan sosial, terutama pada anak-anak dan remaja.

Sementara dari perspektif budaya, perlu ada upaya untuk mengubah norma sosial yang mendukung hierarki kekuasaan yang tidak sehat dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kesetaraan dalam hubungan sosial.

Kebijakan di sekolah, tempat kerja, dan lingkungan sosial yang lebih luas harus dirancang untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dan menghargai perbedaan, serta menolak semua bentuk kekerasan dan dominasi. Pendekatan lintas disiplin, termasuk kolaborasi antara psikolog, antropolog, pendidik, dan pembuat kebijakan, diperlukan untuk mengatasi perundungan secara komprehensif.

Maka terlepas dari telaah kasus perkasus yang memang masih berlangsung proses investigasinya, sekurangnya kita telah memiliki gambaran kompleksitas faktor penyebab terjadinya proses perundungan.

Adanya disparitas yang maujud dalam polarisasi posisi tawar di berbagai bidang adalah salah satunya. Maka proporsi hirarki fungsional yang selaras dengan tatanan bersemangat proporsional perlu dikedepankan.

Pembentukan karakter dan akhlaq dapat menjadi jalan untuk menanamkan benih-benih kesadaran tentang nilai-nilai fundamental yang maujud dalam sikap dan perilaku yang berintegritas, empatif, partisipatif, dan mampu mengembangkan sikap kolaboratif dengan tetap berdisiplin, loyal, dan selalu mengedepankan nilai moral, tanpa perlu membangun budaya manipulatif dan eksploitatif sebagaimana dikeluhkan kerap terjadi di beberapa bidang saat ini.

Mari bersama kita melakukan proses evaluasi melalui serangkaian tahapan kontemplatif mendalam, agar kita dan sistem yang kita menjadi bagiannya, dapat berkembang menjadi sistem yang mampu mengakomodir berbagai potensi unik manusia yang menjadi pemangku kepentingan di dalamnya. Sistem cerdas psikososial yang ditandai dengan adanya sifat asertif, egaliter, dan berkeadilan secara proporsional. πŸ™πŸΎπŸ‡²πŸ‡¨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts