Mencari Solusi Objektif Bermetodologi Untuk Mengurai Kompleksitas Problematika Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia
Dalam beberapa pekan terakhir ini dunia pendidikan kedokteran tengah dihangatkan oleh eskalasi dari berbagai dinamika sosial akibat adanya silang pendapat terkait ekses dari sistem pendidikan kedokteran spesialis dan model layanan kesehatan di rumah sakit pendidikan.
Sungguh di balik kedukaan teriring dengan adanya berita tentang kepergian seorang peserta didik di program dokter spesialis yang penyebabnya sampai saat ini masih berada dalam domain investigasi oleh pihak yang berwenang, momentum kali ini sebenarnya dapat menjadi momen kontemplatif dan evaluatif yang bersifat konstruktif untuk menemukan solusi yang asertif, akomodatif, dan adaptif terhadap dinamika dan kompleksitas permasalahan yang saling berkelindan dengan banyak faktor dan variabel sistemik.
Mungkin ada baiknya jika kita menyelaraskan niat bersama untuk melangkah ke depan dalam konteks sinergi, dan mengorkestrasi potensi dalam membangun harmoni fungsi agar kompleksitas persoalan yang dihadapi dapat dipilah dan dipetakan secara jernih, objektif, dan bebas dari asumsi ataupun perspektif subjektif yang tentu akan menghasilkan lebih banyak lagi perbedaan sudut pandang.
Salah satu konsep yang ingin saya tawarkan dalam tulisan hari ini adalah pendekatan sistematik, terstruktur, dan bermetodologi yang sekiranya dapat digunakan tentu akan membawa kita bersama menelaah persoalan yang dihadapi hingga menemukan akar permasalahannya, serta dapat kita mengonstruksi solusi sistematik dengan tahapan terukur dan indikator objektif dalam mengawal prosesnya.
Secara umum tentulah kita bersama mahfum bahwa ada berbagai domain penyebab atau elemen pengaruh yang berkontribusi dalam konteks pendidikan kedokteran di tanah air tercinta. Ada aspek legal formal yang maujud dalam bentuk paket regulasi seperti perundang-undangan, peraturan pemerintah, peraturan menteri, sampai regulasi terkait anggaran dasar dan rumah tangga setiap institusi.
Ada pula persoalan kapasitas dan kapabilitas peserta didik yang tentu berhubungan dengan sistem pendidikan dasar dan menengah yang juga berkelindan dengan tahapan psikologi perkembangan, pola pengasuhan, kurikulum yang diterapkan, aspek psikososial, identitas generasi, yang keluarannya dapat berwujud way of life, konsep resiliensi, hingga cara berkomunikasi dalam konteks perilaku sosial dan profesional.
Di sisi lain ada kerangka acuan yang bersifat fundamental dalam konteks pendidikan tinggi, tujuan, misi, visi, dan kebutuhan yang mendasarinya. Dimana kebutuhan akan tenaga terdidik, terampil, yang ditandai dengan indikator kompetensi dan proficiency terstandardisasi baik dari aspek kognitif maupun psikomotorik perlu diakomodir dalam konteks kurikulum sampai model pembelajaran.
Maka lahirlah berbagai model pembelajaran seperti OBE atau outcome based education, LCE atau learner centered education, BBDM atau belajar bertolak dari masalah yang dikenal juga sebagai PBL atau problem based learning, dan mungkin akan lahir lebih banyak lagi model pembelajar seiring dengan dinamika pertumbuhan kebutuhan terhadap hasil dari proses pendidikan.
Di sisi lain proses pendidikan dengan berbagai model di dalamnya yang disertai dengan berbagai pendekatan profesi terkait dengan ciri proporsi antara aspek kognisi-konasi-afeksi yang beragam, sesuai dengan tuntutan profesi yang akan dijalani, juga tidak terlepas dari medium belajar dan sistem yang berlaku di dalamnya. Pendidikan kesehatan adalah salah satu model pendidikan khas/unik karena senantiasa terkait dan terasosiasi dengan sistem pelayanan kesehatan di berbagai tingkatan.
Maka tentu saja sistem pelayanan kesehatan dengan berbagai model, hirarki, algoritma, regulasi, dan berbagai fungsi substantif yang maujud dalam ranah implementasinya turut mempengaruhi kompleksitas perencanaan dan penyelenggaraan serta evaluasi proses pendidikan kesehatan di tanah air, mungkin juga terjadi di seluruh dunia dengan aneka dinamika sesuai dengan situasi kondisinya masing-masing.
Maka proses pendidikan profesi kesehatan tentu saja tak terlepas dari pengaruh kebijakan negara, seperti ketersediaan infrastruktur, pola pembiayaan pendidikan dan pelayanan kesehatan, rencana pengadaan dan pembinaan sumber daya (termasuk manusia), sistem jaminan kesehatan nasional, remunerasi tenaga kesehatan, sistem rujukan, kualitas layanan kesehatan primer dan sekunder, konsep kesehatan masyarakat di domain promotif-preventif, penerapan teknologi, sampai kondisi ekonomi terkait dengan daya beli, alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan, juga kerjasama lintas sektoral yang memiliki faktor kontribusi signifikan baik langsung maupun tidak langsung.
Saat ini mungkin dapat menjadi momentum yang tepat untuk kita bersama berbenah dalam kerangka mencari solusi terbaik dan bersama mengeskalasi dan memvektorisasi energi ke arah yang konstruktif untuk mengoptimasi sistem dan sumber daya yang ada agar dapat tercipta suatu model pendidikan profesi yang ideal secara sistematis dan terstruktur.
Saatnya segenap stake holder dan share holder atau pemangku kebijakan dan kepentingan duduk bersama dalam platform dan semangat kolaboratif konstruktif mencari solusi optimal sesuai dengan dinamika kondisional.
Saatnya lembaga penyelenggara pendidikan, kementerian dan lembaga negara terkait, organisasi profesi, civitas akademika, alumni, para mitra pengguna jasa, para pengambil kebijakan di tingkat lokal, regional, maupun nasional, perwakilan masyarakat, sampai representasi peserta didik, dan masyarakat secara umum dapat berpartisipasi dengan semangat gotong royong untuk urun rembug dengan dikanalisasi dan dikatalisis sedemikan rupa agar bersama kita dapat menjadi bagian dari proses penyelesaian masalah.
Inisiatif bisa datang dari mana saja, yang terpenting pendekatannya bermetodologi dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena bersifat objektif, rasional, minim falasi dan subjektivitas, serta dapat diimplementasikan dengan memanfaatkan potensi sumber daya yang tersedia.
Untuk itu kita dapat bersama membedah masalah dengan berbagai pendekatan yang diharapkan dapat dipertanggungjawabkan dan mudah untuk dilaksanakan, tanpa mengurangi validitas hasilnya dan urgensitas penerapannya. Maka jika kita berbicara tentang pengelolaan pendidikan kedokteran spesialis di fakultas kedokteran yang saat ini tengah menjadi isu sentral, maka kita hari menyadari bahwa persoalan di program tersebut merupakan sebuah persoalan kompleks yang melibatkan banyak variabel, seperti kurikulum, sumber daya, kebijakan pendidikan, teknologi, dan dinamika sosial.
Mengingat kerumitan dan kompeleksitasnya diperlukan berbagai metode saintifik untuk menganalisis dan mencari solusi yang holistik serta berkelanjutan. Beberapa metoda yang relevan untuk mengatasi persoalan ini meliputi pendekatan sistemik, metode berbasis bukti, pendekatan kualitatif, serta penerapan teknologi maha data (big data) dalam konteks pengambilan keputusan.
Salah satu teori yang bisa diterapkan dalam menelaah persoalan dalam proses pendidikan dokter ataupun program spesialisasi adalah Systems Thinking, dimana teori dasar pendekatan sistemik berakar dari teori sistem umum yang pertama kali dikembangkan oleh Ludwig von Bertalanffy pada tahun 1936.
Teori ini menyatakan bahwa sebuah entitas tidak bisa dipahami secara terisolasi, melainkan harus dilihat sebagai bagian dari keseluruhan sistem yang lebih besar. Dalam konteks pendidikan kedokteran spesialis, pendekatan ini melihat fakultas kedokteran sebagai bagian dari ekosistem yang lebih luas, yang melibatkan mahasiswa, dosen, rumah sakit pendidikan, asosiasi profesional, dan regulator.
Penerapan pendekatan ini dapat digunakan untuk menganalisis hubungan antara berbagai komponen dalam pendidikan kedokteran, seperti bagaimana perubahan dalam kebijakan kurikulum memengaruhi praktik klinis, hubungan regulasi dengan model layanan, atau bagaimana penggunaan teknologi dalam pembelajaran memengaruhi efektivitas pelatihan spesialis dll. Piranti seperti diagram kausalitas dan pemetaan sistem dapat membantu memvisualisasikan dinamika antara berbagai komponen terkait.
Kelebihan dari model analisis Systemic Thinking adalah kemampuannya untuk :
– Mempertimbangkan hubungan antara komponen yang saling berinteraksi.
– Mampu mengidentifikasi dampak tidak langsung dari kebijakan yang diterapkan.
Hanya model ini memerlukan beberapa prasyarat fundamental seperti;
– Ketersediaan data yang komprehensif dari setiap komponen sistem.
– Perlu strategi khusus untuk diterapkan dalam konteks dengan banyak variabel yang tidak terukur.
Dunia kedokteran dan pendidikan kesehatan sebenarnya sudah cukup lama menerapkan komsep berpikir metodologis berbasis bukti, khususnya dalam konteks pengobatan dan pencegahan penyakit, maka tentu sudah cukup akrab pula jika kita bersama menggunakan Metode Berbasis Bukti (Evidence-Based Management) dalam upaya mencari akar masalah dalam berbagai dinamika yang hari ini mewarnai program pendidkan kedokteran di tanah air.
Dasar teori dari
Evidence-Based Management (EBM) mengacu pada pengambilan keputusan yang didasarkan pada bukti ilmiah terbaik yang tersedia. Metode ini berakar dari Evidence-Based Medicine, yang juga telah banyak diterapkan dalam dunia medis. Dalam konteks pendidikan kedokteran spesialis, EBM digunakan untuk membuat kebijakan pengelolaan berdasarkan bukti empiris.
Penerapan
EBM dalam pengelolaan pendidikan kedokteran bisa dilakukan dengan melakukan proses meta-analisis dengan mengacu pada data dari berbagai penelitian tentang pendidikan spesialis, seperti efektivitas metode pembelajaran berbasis kasus (problem-based learning) atau dampak simulasi klinis pada keterampilan mahasiswa. Kebijakan seperti penyusunan kurikulum atau pengembangan sumber daya manusia dapat didasarkan pada hasil penelitian ini.
Kelebihan penerapan EBM dalam analisis kasus antara lain adalah;
– Keputusan yang diambil lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
– Mengurangi bias subjektif dalam pengambilan keputusan.
Tentu saja ada beberapa keterbatasan yang menyertai setiap model bukan, keterbatasan itu antara lain adalah;
– Keterbatasan akses pada bukti/ evidence berkualitas tinggi dalam konteks lokal.
– Tidak semua keputusan pengelolaan bisa ditangani hanya dengan data ilmiah, terkadang konteks sosial dan budaya juga penting.
Ada pula model analisis masalah dengan pendekatan kualitatif atau lebih dikenal sebagai Qualitative Research Methods, dimana secara teori dasar
pendekatan kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena kompleks melalui perspektif orang-orang yang terlibat secara langsung.
Metode ini sering digunakan dalam bidang sosial dan humaniora, dan berguna dalam memahami konteks, motivasi, dan persepsi yang memengaruhi perilaku individu atau kelompok.
Penerapan metode ini relevan untuk memahami bagaimana mahasiswa, dosen, dan staf mendefinisikan pengalaman mereka dalam program pendidikan spesialis. Teknik seperti wawancara mendalam, grup diskusi terfokus (focus group discussion/FGD), dan observasi partisipatif dapat digunakan untuk mengumpulkan data kualitatif yang memperkaya pemahaman mengenai tantangan dan peluang dalam pengelolaan pendidikan.
Kelebihan dari pendekatan kualitatif adalah sebagai berikut;
– Mampu memberikan pemahaman mendalam tentang motivasi dan persepsi individu.
– Menyediakan wawasan yang lebih kontekstual yang mungkin terlewat dalam pendekatan kuantitatif.
Sementara perlu pula diantisipasi berbagai kelemahan dari metoda ini seperti;
– Rentan terhadap bias peneliti dan keterbatasan sampel.
– Hasil penelitian tidak bisa digeneralisasikan ke populasi yang lebih luas.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi kita pun dapat memanfaatkan Teknologi Big Data dalam Pengambilan Keputusan
Dimana dasar teori dari analisa
Big data adalah analisis data dalam volume besar, berkecepatan tinggi, dengan beragam sumber yang digunakan untuk menemukan pola-pola tersembunyi atau tren. Dengan kemajuan teknologi informasi, khususnya AI atau kecerdasan artifisial, big data telah mulai diterapkan dalam pendidikan, termasuk dalam pengelolaan pendidikan kedokteran spesialis.
Penerapan big data dapat digunakan untuk menganalisis data mahasiswa, performa akademis, dan hasil klinis dari berbagai fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan. Teknologi ini dapat membantu dalam peramalan tren kebutuhan spesialisasi, personalisasi kurikulum berdasarkan performa mahasiswa, dan pengelolaan logistik terkait rotasi klinis di berbagai rumah sakit.
Kelebihan dari penerapan model analisis maha data antara lain adalah;
– Memungkinkan analisis secara real-time dan dalam skala besar.
– Membantu menemukan pola yang mungkin tidak terlihat melalui analisis tradisional.
Sementara faktor kendala penerapannyabyabg mungkin teridentifikasi antara lain adalah;
– Membutuhkan infrastruktur teknologi yang canggih dan sumber daya manusia yang terlatih.
– Tantangan dalam pengelolaan dan keamanan data pribadi.
Secara klasik kita juga masih dapat menggunakan metoda Analisis SWOT dan PESTEL dalam prosss evakuasi dan perencanaan strategis penyelenggaran program pendidikan dokter spesialis.
Dimana secara teoritis model analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) dan PESTEL (Political, Economic, Social, Technological, Environmental, Legal) adalah dua metode analisis strategis yang digunakan untuk memahami kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman, serta faktor eksternal yang memengaruhi organisasi.
Penerapan dalam konteks pendidikan kedokteran spesialis, antara lain adalah SWOT dapat digunakan untuk menilai kekuatan dan kelemahan internal fakultas (seperti kualitas dosen dan fasilitas), sementara PESTEL membantu memahami dinamika eksternal, seperti kebijakan kesehatan nasional, perkembangan teknologi, sistem rujukan, atau tren sosial terkait dengan profesi medis.
Kelebihan dari metoda SWOT dan PESTEL adalah,
– Mudah diterapkan dan memberikan pandangan strategis yang jelas.
– Membantu dalam perencanaan jangka panjang dan adaptasi terhadap perubahan eksternal.
Sementara kekurangannya antara lain adalah ;
– Analisis bisa menjadi terlalu sederhana dan tidak mempertimbangkan hubungan dinamis antara faktor-faktor.
– Rentan terhadap bias subjektif dalam menentukan elemen SWOT atau PESTEL.
Sebagai model pamungkas yang saat ini mungkin dapat memberi harapan dalam mengonstruksi solusi inovatif terhadap berbagai permasalahan kronis di dunia pendidikan, termasuk di ranah kesehatan adalah analisa akar masalah atau Root Causes Analysis/ RCA.
Root Cause Analysis (RCA) adalah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi akar penyebab suatu masalah kompleks, dengan tujuan mencari solusi yang efektif dan mencegah terulangnya masalah tersebut di masa depan. Dalam konteks beban kerja dokter residensi di rumah sakit pendidikan, yang dipengaruhi oleh tingginya volume pasien, frekuensi tindakan medis, dan remunerasi terkait dengan sistem rujukan dan jaminan kesehatan sosial misalnya, RCA dapat diterapkan secara sistematis dengan tahapan sebagai berikut:
Identifikasi Masalah Utama
Tahap pertama dalam RCA adalah mengidentifikasi masalah utama yang dihadapi. Misal dalam kasus ini, masalah utama adalah beban kerja yang tinggi pada dokter residensi, yang dapat disebabkan oleh:
– Tingginya volume pasien di rumah sakit pendidikan.
– Frekuensi tindakan medis yang harus dilakukan.
– Remunerasi yang belum proporsional dengan beban kerja.
– Pengaruh sistem rujukan dan jaminan kesehatan sosial.
Pengumpulan Data dan Informasi
Setelah masalah utama diidentifikasi, data dan informasi harus dikumpulkan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang situasi. Data yang perlu dikumpulkan meliputi:
– Jumlah pasien yang dirujuk ke rumah sakit pendidikan dalam periode tertentu.
– Frekuensi tindakan medis yang dilakukan oleh dokter residensi.
– Remunerasi yang diterima dokter residensi dibandingkan dengan beban kerja mereka. Saat ini memang belum ada konsep remunerasi yang ditetapkan pada peserta didik, tapi dengan adanya wacana hospital based education, tentu remunerasi dapat menjadi salah satu poin konsiderasi.
– Kebijakan sistem rujukan yang berlaku, serta pengaruh jaminan kesehatan sosial terhadap jumlah pasien dan pendanaan rumah sakit.
Sumber data bisa berasal dari laporan rumah sakit, survei dokter residensi, data rujukan dari fasilitas kesehatan primer, serta laporan terkait dengan sistem jaminan kesehatan nasional (misalnya BPJS Kesehatan di Indonesia).
Identifikasi Akar Penyebab (Root Causes)
Pada tahap ini, metode RCA yang sering digunakan adalah 5 Why’s Analysis dan Fishbone Diagram (diagram tulang ikan). Tujuannya adalah untuk mengurai faktor-faktor penyebab masalah utama secara mendalam.
– Volume pasien tinggi: Mengapa banyak pasien dirujuk ke rumah sakit pendidikan? Jawaban ini bisa berhubungan dengan mekanisme sistem layanan kesehatan primer yang menyebabkan peningkatan jumlah rujukan.
– Frekuensi tindakan medis tinggi: Mengapa tindakan medis yang dilakukan dokter residensi begitu banyak? Hal ini mungkin terkait dengan kurangnya dokter spesialis yang berpraktik, atau kebijakan rumah sakit yang membebankan tugas klinis lebih banyak kepada dokter residensi.
– Remunerasi yang belum memadai
– *: Mengapa remunerasi dokter residensi tidak sesuai dengan beban kerja? Hal ini bisa disebabkan oleh alokasi anggaran yang tidak memadai dari pemerintah atau kebijakan rumah sakit yang tidak memberikan insentif yang adil serta tentu saja saat ini sistem pendidikan yang belum mengakomodir konsep peserta didik sebagai tenaga kerja profesional.
– Sistem rujukan: Mengapa sistem rujukan menyebabkan peningkatan beban pada rumah sakit pendidikan? Sistem rujukan yang belum efektif dapat menyebabkan overutilisasi rumah sakit pendidikan untuk kasus yang seharusnya bisa ditangani di tingkat fasilitas kesehatan primer atau sekunder.
– Jaminan kesehatan sosial: Mengapa jaminan kesehatan sosial dapat mempengaruhi situasi ini? Implementasi jaminan kesehatan sosial yang luas dan keterbatasan kapasitas layanan kesehatan bisa meningkatkan jumlah pasien yang mencari perawatan di rumah sakit pendidikan.
Penyusunan Solusi Berdasarkan Akar Penyebab
Setelah akar penyebab diidentifikasi, solusi yang dirancang harus spesifik untuk mengatasi masing-masing penyebab tersebut. Berikut adalah beberapa kemungkinan solusi:
– Perbaikan sistem rujukan: Optimalisasi sistem rujukan sehingga hanya pasien yang memerlukan layanan spesialis yang dirujuk ke rumah sakit pendidikan. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat kapasitas fasilitas kesehatan primer dan sekunder.
– Penguatan layanan primer: Meningkatkan kompetensi dan fasilitas di layanan kesehatan primer agar mampu menangani lebih banyak kasus secara mandiri, sehingga mengurangi beban pada rumah sakit pendidikan.
– Penyesuaian remunerasi: Meninjau kembali kebijakan remunerasi bagi dokter residensi, dengan memperhitungkan beban kerja dan frekuensi tindakan medis yang dilakukan. Insentif atau kenaikan upah bisa diberikan berdasarkan volume kerja. Konsep ini sejalan dengan kebijakan yang tengah dirumuskan oleh fakultas kedokteran dan universitas penyelenggara pendidikan dokter spesialis, regulator, dan organisasi profesi.
– Pengelolaan jumlah pasien: Penerapan sistem triase yang lebih ketat untuk memastikan bahwa hanya pasien yang benar-benar membutuhkan penanganan di rumah sakit pendidikan yang dirujuk.
– Penggunaan teknologi: Memanfaatkan teknologi seperti telemedicine untuk konsultasi antara layanan kesehatan primer dan spesialis, sehingga kasus ringan bisa ditangani di fasilitas kesehatan primer tanpa perlu merujuk ke rumah sakit pendidikan.
Implementasi Solusi
Langkah selanjutnya adalah mengimplementasikan solusi yang telah dirancang, yang mungkin memerlukan kerjasama antara pihak rumah sakit, regulator kesehatan, dan pemerintah. Misalnya:
– Perubahan kebijakan sistem rujukan dapat dilakukan oleh kementerian kesehatan atau dinas kesehatan setempat.
– Penyesuaian remunerasi membutuhkan pembahasan dengan pihak manajemen rumah sakit dan asosiasi profesi, fakultas kedokteran, serta regulator seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan.
– Penguatan layanan primer bisa dilakukan melalui pelatihan dan pemberian sumber daya tambahan pada fasilitas kesehatan primer.
Monitoring dan Evaluasi
Setelah solusi diimplementasikan, perlu ada mekanisme monitoring untuk mengevaluasi apakah beban kerja dokter residensi telah berkurang dan apakah solusi yang diterapkan efektif. Indikator yang bisa dipantau meliputi:
– Jumlah pasien yang dirujuk ke rumah sakit pendidikan setelah perbaikan sistem rujukan.
– Frekuensi tindakan medis yang dilakukan dokter residensi.
– Tingkat kepuasan dokter residensi terhadap remunerasi dan beban kerja mereka.
– Kualitas pelayanan yang diterima oleh pasien di tingkat layanan primer dan rumah sakit pendidikan.
Disclaimer, semua poin dalam contoh analisis RCA di atas hanya bersifat asumtif dan tidak merepresentasikan berbagai faktor dan elemen pengaruh yang berkontribusi riil pada kompleksitas persoalan pada penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis. Faktor yang dicantumkan di atas hanya contoh yang diharapkan dapat menggambarkan berbagai proses dan tahapan analisis RCA jika digunakan untuk menelaah masalah yang belakangan ini tengah tereskalasi.
Besar harapan, jika segenap pemangku kepentingan dan kebijakan dalam proses penyelenggaraan program pendidikan dokter spesialis dapat bersinergi untuk menghasilkan solusi inovatif berdasar pendekatan objektif bermetodologi, maka momen yang terjadi saat ini justru dapat menjadi momen kebangkitan yang membuka cakrawala harapan perbaikan dan peningkatan kualitas program pendidikan di masa depan bukan?
Mari kita bersama mengedepankan niat untuk menjadi bagian dari solusi dengan berkolaborasi dan mengorkestrasi segenap potensi yang kita miliki, semata agar semua energi dapat digunakan untuk kebaikan negeri ini ππΎππΎπ²π¨