Tauhid Nur Azhar

Merdeka Belajar, Belajar secara Merdeka

Dunia pendidikan kita saat ini tengah menghadapi banyak sekali tantangan yang lahir dari dinamika yang tercipta karena pesatnya teknologi yang pada gilirannya mengubah cara kita mengelola berbagai aspek dalam kehidupan kita.

Isu terkait kesehatan mental juga turut menggejala seiring dengan meningkatnya pajanan informasi dan kemudahan yang dihasilkan berkat campur tangan teknologi dalam peradaban. Banyak hal yang semula tak menyentuh ruang privasi kita, kini dapat hadir, bahkan tanpa kita minta.

Dampaknya tentu sistemik dan menggurita. Di satu sisi tentu kita memperolah banyak kemudahan dalam berbagai aspek layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain ada ekses berupa eskalasi peningkatan ekspektasi, juga perubahan perimeter persepsi.

Di dunia pendidikan kedokteran, khususnya pada pendidikan profesi pun dijumpai berbagai kondisi yang mungkin saja adalah ekses dari akumulasi kebijakan, sistem, perilaku individu dan kerumunan, serta perubahan point of view yang cukup signifikan. Pandangan dan cara memandang hidup dapat diperkaya dengan kesan augmented, juga dapat bersifat virtual, yang kemudian dapat bertransformasi menjadi nilai yang kemudian terimbibisi menjadi nilai inti.

Beberapa peristiwa bahkan sampai pada tahap yang sangat mengkhawatirkan dan memakan korban jiwa. Tentu masih sangat perlu didalami melalui serangkaian proses investigasi untuk mengetahui akar masalah (root causes) nya dan juga berbagai elemen penyebab utamanya (causa prima).

Semoga peristiwa yang telah terjadi di program pendidikan profesi kedokteran (spesialis) dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran yang dapat menjadi awal dari suatu upaya sistematik untuk memetakan permasalahan dan merumuskan solusi secara bijak.

Kompleksitas pendidikan profesi kedokteran dari tingkat sarjana sampai spesialis, termasuk program pascasarjananya memang unik dan memiliki banyak elemen serta variabel yang saling terkait. Perlu objektivitas dalam menilai da n menganalisa berdasar fakta.

Memandang dengan jernih segenap komponen permasalahan, sesuai dengan bobotnya. Karena tentu saja ada berbagai pra kondisi yang secara akumulatif bermuara pada suatu peristiwa.

Sebagai gambaran, tindakan medis yang memerlukan bantuan keahlian anestesi di rumah sakit rujukan sekelas RSCM, dr Kariadi, atau juga dr Hasan Sadikin itu bisa mencapai 120-150 tindakan perhari. Sungguh suatu frekuensi aktivitas yang teramat tinggi dengan tekanan yang juga sangat tinggi, disertai keterbatasan sumber daya yang tersedia.

Walhasil tentu saja tercipta kondisi okupansi waktu kerja berdurasi panjang, kelelahan fisik dan mental, serta perubahan pola-pola hubungan sosial. Kondisi ini tentu juga disebabkan oleh kontribusi berbagai aspek terkait seperti kebijakan layanan kesehatan di Indonesia, kondisi sarana dan prasarana fasilitas kesehatan, sistem rujukan, konsep pendidikan kedokteran dan kesehatan, sampai kondisi psikososial masyarakat.

Terkait beban atau masalah pada program pendidikan tertentu, tentu masih banyak elemen lain yang berperan, karena sebagaimana peserta didik di disiplin ilmu manapun tentu kesiapan personal dan latar belakang peserta didik seperti profil psikologi, ekonomi, serta latar budaya atau sosiokultural punya pengaruh signifikan dalam proses adaptasi di peran yang tengah dijalankan.

Demikian pula dinamika generasi yang dipantik oleh disrupsi teknologi dan perubahan model interaksi, tentu juga perlu mendapatkan perhatian khusus dari entitas penyelenggara pendidikan. Perbedaan karakter lintas generasi serta perubahan pola komunikasi kini menjadi krusial.

Di sisi lain konsep, sistem, dan karakter penyelenggara pendidikan pun perlu dievaluasi secara berkala secara transparan dan objektif. Hal tersebut terkait antara lain dengan efektivitas program, kesahihan metoda, kesesuaian kurikulum dll, sampai observasi terhadap dinamika yang terjadi dalam model relasi akademik, termasuk hubungan interpersonal yang terjadi dalam berjalannya proses.

Pendidikan kedokteran memang cukup unik posisinya, mengingat kentalnya aspek humanistik di dalamnya. Elemen kemanusiaan menjadi poros utama dalam pendidikan kedokteran. Pengabdian tertinggi yang memerlukan pengorbanan dan juga resiliensi tinggi serta maqom kesadaran yang membutuhkan proses pendidikan holistik yang melibatkan kapasitas kognitif, ketrampilan konatif, pengelolaan afektif, dan tingkat kesadaran yang harus dikelola secara berkesinambungan.

Pendidikan kedokteran sendiri telah berevolusi selama berabad-abad untuk mendapatkan formulasi yang paling sesuai dengan kebutuhan zaman. Berbagai penemuan di bidang farmasi dan biomedis seperti antibiotika oleh Alexander Flemming, ataupun pengembangan teknik pembedahan oleh Al Zahrawi telah berkontribusi pada peta jalan pendidikan kedokteran dan pelayanan kesehatan sebagai muaranya.

Salah satu tokoh terkenal dalam sejarah pendidikan kedokteran di masa awal adalah Hippocrates (460–370 SM), yang dianggap sebagai Bapak Kedokteran Modern, dimana beliau memperkenalkan konsep bahwa penyakit adalah hasil dari akumulasi sebab alami, bukan sesuatu yang semata bersifat mistis.

Sebagai tindak lanjut konsepnya, didirikanlah sekolah kedokteran pertama yang diorganisir berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah, Sekolah Kedokteran Kos, yang didirikan oleh Hippocrates di Yunani.

Selama abad pertengahan, pendidikan kedokteran terpusat di universitas-universitas Eropa seperti Universitas Bologna di Italia dan Universitas Paris di Prancis, tapi jangan salah, ilmu kedokteran pada masa awal perkembangannya banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh cendekiawan Muslim seperti Avicenna (Ibnu Sina), yang menulis Canon of Medicine, sebuah ensiklopedia medis yang menjadi rujukan utama selama berabad-abad di dunia Barat dan Timur.

Pada era Renaissance, pendidikan kedokteran mengalami kebangkitan dengan perkembangan anatomi dan pembedahan. Andreas Vesalius (1514–1564), seorang profesor di Universitas Padua, adalah pelopor dalam memajukan studi anatomi manusia melalui otopsi. Bukunya De Humani Corporis Fabrica adalah karya monumental yang mengubah cara pemahaman tentang tubuh manusia. Pada abad ke-19, pendidikan kedokteran mengalami perubahan drastis. William Osler (1849–1919), seorang dokter asal Kanada, mengembangkan model pendidikan berbasis praktik di rumah sakit yang berfokus pada pendekatan pasien, yang dikenal sebagai bedside teaching. Metode ini kemudian menjadi standar pendidikan kedokteran di seluruh dunia.

Abad ke-20 ditandai lahirnya pendidikan kedokteran yang lebih sistematis dan ilmiah. Pada awal abad ini, Abraham Flexner menerbitkan laporan berjudul The Flexner Report (1910) yang mengevaluasi standar pendidikan kedokteran di Amerika Serikat dan Kanada. Laporan ini mendorong reformasi besar-besaran, termasuk peningkatan standar kurikulum dan pengajaran berbasis laboratorium. Era evidence based medicine pun dimulai.

Dalam perkembangannya pendekatan ilmu kedokteran juga tidak semata berfokus pada aspek fisik saja, melainkan juga mulai mengedepankan konsep terintegrasi yang menempatkan manusia sebagai entitas holistik.

Ada aspek mental yang berkontribusi signifikan dalam penentuan derajat kualitas hidup. Ada karakterisasi personal yang perlu diketahui dan dikenali, termasuk dalam konteks kesesuaian potensi terkait dengan pilihan profesi.

Sebagai contoh, salah satu alat tes psikologi yang dikembangkan untuk menginventarisasi karakter personal manusia adalah MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory). Tes MMPI pertama kali dibuat pada tahun 1937 oleh seorang ahli psikologi klinis bernama Starke R. Hathaway dan seorang ahli neuropsikiatri bernama J. Charnley McKinley yang bertugas di University of Minnesota.

Fase pembaruan pada tes MMPI dirilis pada tahun 1989. Dimana MMPI-2 adalah suatu alat inventori kepribadian yang dikembangkan oleh Butcher, Dahlstrom, Graham, Tallegen dan Kaemer pada tahun 1989. Lahirnya MMPI-2 merupakan usaha untuk menyempurnakan generasi sebelumnya yaitu MMPI edisi pertama yang dipublikasikan oleh Hathaway. MMPI-2 terdiri dari 567 item inventori personalitas dan 9 skala validitas yang dapat menilai kejujuran-kebohongan, dan berbagai dinamika pada poros polaritas personal.

Tentu ada banyak teori terkait aspek kejiwaan yang saat ini berkembang, ada teori psikoanalisis klasik yang digagas oleh Sigmund Freud, dan ada pula teori kepribadian yang digagas oleh Carl Gustav Jung, dimana Carl Gustav Jung melakukan penggabungan pandangan teleologi dan kausalitas. Tingkah laku manusia itu ditentukan tidak hanya oleh sejarah individu (kausalitas) tetapi juga oleh tujuan dan aspirasi individu (teleologi).

Perkembangan di berbagai bidang terkait tentu saja juga berlangsung teramat pesat. Integrasi berbagai disiplin ilmu telah melahirkan banyak terobosan dalam perkembangan teknologi kedokteran. Kini kita mulai dapat melihat peran nanobot dalam proses operasi dan juga drug delivery yang mendukung kedokteran presisi. Sejalan dengan perkembangan teknik bioteknologi seperti CRISPR Cas 9, dll.

Berbagai dinamika ini tentu mempengaruhi proses pendidikan dokter, demikian pula dinamika psikososial yang dialami oleh peserta didik, pendidikan, perencana pendidikan, dan juga segenap pemangku kepentingan dan kebijakan pendidikan. Dunia yang secara konstan melakukan proses perubahan akan terus melahirkan kebaruan yang memerlukan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas adaptasi secara berkesinambungan.

Pendidikan profesi kedokteran, termasuk pendidikan spesialis tergolong dalam kategori pendidikan atau proses pembelajaran orang dewasa. Dimana menurut Malcolm Knowles, seorang ahli pendidikan dewasa, pembelajaran orang dewasa (andragogi) memiliki karakteristik khusus.

Orang dewasa lebih cenderung mengandalkan pengalaman hidup mereka dalam proses belajar, memiliki motivasi intrinsik yang tinggi, dan memerlukan relevansi langsung dalam pembelajaran. Knowles menekankan bahwa pendidikan orang dewasa harus bersifat partisipatif, di mana mereka memiliki otonomi dalam mengarahkan proses belajarnya.

Teori andragogi Knowles menjadi dasar dalam pendidikan orang dewasa. Beberapa prinsip utama dalam teorinya antara lain, kebutuhan untuk tahu (Need to Know), dimana orang dewasa perlu memahami mengapa mereka harus mempelajari suatu keterampilan atau pengetahuan tertentu sebelum mereka mulai belajar.

Konsep Diri (Self-concept), dimana orang dewasa cenderung melihat diri mereka sebagai individu yang bertanggung jawab atas keputusan hidupnya, sehingga mereka lebih suka terlibat aktif dalam proses pembelajaran.

Dalam konteks pendidikan orang dewasa pengalaman hidup merupakan sumber belajar yang berharga, oleh karena itu, program pendidikan orang dewasa harus memanfaatkan pengalaman tersebut sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Orientasi Belajar Berbasis Masalah, orang dewasa lebih menyukai pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pemecahan masalah praktis dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Dimana pemecahan masalah dengan segenap prosesnya juga terkait dab berpengaruh pada pembentukan karakter.

Proses ini idealnya dilakukan melalui pengembangan keterampilan profesional, dimana pembentukan karakter ideal juga menjadi fokus penting dalam pendidikan orang dewasa.

Pembentukan karakter dalam konteks pendidikan mencakup nilai-nilai seperti integritas, tanggung jawab, empati, dan kolaborasi.

Hal ini juga sejalan dengan Albert Bandura yang mengusung teori tentang Social Learning atau Observational Learning yang memberikan wawasan penting dalam pembentukan karakter. Bandura berpendapat bahwa individu belajar melalui pengamatan dan peniruan perilaku orang lain, terutama dari model atau tokoh yang mereka anggap sebagai panutan.

Dalam pendidikan orang dewasa, model atau mentor memainkan peran penting dalam menanamkan nilai-nilai positif melalui teladan.

Carl Rogers dan Abraham Maslow adalah tokoh utama dalam pendekatan humanistik yang menekankan pentingnya pengembangan diri (self-actualization) dan potensi penuh setiap individu. Menurut Maslow, orang dewasa yang belajar dengan motivasi intrinsik cenderung mencapai puncak aktualisasi diri ketika kebutuhan-kebutuhan dasar seperti rasa aman dan kebutuhan sosial telah terpenuhi.

Sementara Rogers menekankan bahwa proses pembelajaran haruslah berpusat pada peserta didik (learner-centered), di mana mereka dipandang sebagai individu yang mampu mengarahkan proses belajarnya. Dalam konteks ini, pendidikan orang dewasa tidak hanya fokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga pada pemberdayaan individu untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Maka pada saat kita sebagai orang dewasa yang juga warga negara di sebuah bangsa yang telah menyatakan merdeka sejak 79 tahun lalu, ingin belajar meningkatkan kapasitas kognisi, ketrampilan profesi, dan kemahiran dalam mengkontribusikan manfaat bagi sesama, ada baiknya kita pun dalam keadaan merdeka dan bebas dari berbagai tekanan yang dapat mengurangi efektifitas proses belajar, atau bahkan membuka peluang terjadinya distorsi yang berkelanjutan.

Proses belajar di bidang tertentu memang unik dan memerlukan kapasitas mental serta kemampuan adaptif serta daya resiliensi yang luar biasa. Tapi jangan lupa, standar profesi juga sudah semestinya mengakomodir aspek manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, termasuk pemenuhan kebutuhan dasar dari peserta didik.

Model pendidikan dokter spesialis di Indonesia memang saat ini tengah dievaluasi dan sedang berproses untuk mencari formula yang ideal. Salah satu yang tengah diinisiasi adalah model hospital based. Tetapi tentu saja selain model pendidikan dan perbaikan status peserta didik terkait dengan penghargaan secara profesi dan ketenagakerjaan, ada banyak pekerjaan rumah lainnya.

Dari aspek kinerja dan optimasi fungsi pelayanan seorang dokter sebenarnya sudah cukup banyak acuan yang dapat dijadikan panduan. Di banyak negara, jam kerja standar bagi dokter seringkali antara 40 hingga 48 jam per minggu. Ini adalah jam kerja dasar sebelum memperhitungkan tugas on-call atau overtime.

Di Eropa, menurut Working Time Directive (WTD) Uni Eropa, pekerja, termasuk dokter, seharusnya tidak bekerja lebih dari 48 jam per minggu rata-rata, dihitung selama periode tertentu (biasanya 17 minggu).

Dokter sering kali harus menjalani tugas on-call atau shift malam. Jam kerja ini biasanya diatur terpisah dari jam kerja standar. Di beberapa sistem kesehatan, on-call dapat menambah beban kerja hingga 60-80 jam per minggu atau lebih.

Di negara seperti Amerika Serikat, dokter residen di rumah sakit harus mematuhi batas maksimum 80 jam kerja per minggu (termasuk on-call) yang diatur oleh Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME).

Untuk menghindari kelelahan dan risiko medis, beberapa aturan mengatur durasi maksimum shift seorang dokter. Contohnya, di Uni Eropa, shift tidak boleh lebih dari 12-13 jam per kali. Di Amerika Serikat, dokter residen biasanya dibatasi bekerja hingga maksimal 28 jam dalam satu shift (24 jam utama dan 4 jam tambahan untuk tugas administratif atau transisi).

Aturan global merekomendasikan adanya periode istirahat minimum antara shift untuk mengurangi kelelahan. Sebagai contoh, WTD mengharuskan jeda minimal 11 jam antara shift. Dokter yang melakukan shift malam atau on-call seharusnya memiliki waktu istirahat yang cukup di antara jam kerja tersebut.

Tetapi tentu saja karena program pendidikan dokter spesialis berkelindan dengan sistem di fasilitas pelayanan kesehatan tempatnya belajar, maka proses dan mekanismenya juga bergantung kepada kebijakan fasyankes yang menjadi rumah sakit pendidikan.

Tingginya volume dan beban pekerjaan berbanding lurus dengan jumlah pasien dan tindakan medik yang harus dilakukan. Sebuah RS rujukan tentu mendapatkan kiriman pasien dalam jumlah besar dari RS yang berada dalam ruang lingkup pelayanannya.

Mengapa jumlah pasien rujukan menjadi sangat tinggi? Tentu banyak pula penyebabnya. Belum meratanya fasilitas kesehatan berupa sarana dan prasarana tindakan medis dan penunjang medis salah satunya. Salah duanya adalah belum meratanya sebaran tenaga ahli atau spesialis yang dapat melakukan tindakan medis atau perawatan di daerah. Demikian pula sistem penjaminan kesehatan yang terkait dengan pembiayaan tindakan tertentu yang terkadang menjadi kendala dalam pemberian layanan medik dan berpengaruh pula pada model rujukan.

Intinya bersekolah dan menempuh pendidikan profesi adalah suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi profesional agar dapat berkontribusi secara optimal pula bukan? Dalam konteks pelayanan kesehatan, kebutuhan terhadap profesi dokter spesialis yang memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat adalah suatu kenyataan. Maka merumuskan dan mencari solusi optimal agar belajar dapat merdeka dan setiap insan cendekia dapat merdeka belajar tampaknya adalah salah satu PR kita sebagai rasa syukur atas nikmat usia negara yang telah beranjak dewasa, 79 tahun merdeka. πŸ™πŸΎπŸ™πŸΎπŸ‡²πŸ‡¨πŸ‡²πŸ‡¨πŸ‡²πŸ‡¨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts