Tauhid Nur Azhar

Lagu itu Obat untuk Negeri

Aku tak sempurna
Tak perlu sempurna
Akan kurayakan apa adanya
Tutur batinku tak akan salah
Silakan pergi, ku tak rasa kalah
Namun, percayalah, sejauh mana kau mencari
Takkan kau temukan yang sebaik ini

Sebelum diksi aku bisa Yura bergema di seantero jagat maya, yang bahkan sampai digunakan oleh para tokoh terkemuka bangsa, saya pernah mbrebes mili juga karena Yura.

Malam itu, saya duduk terpisah dari istri tercinta di pelataran rumput depan panggung Prambanan Jazz 2024. Ada saluran kering terbentang di antara saya dan jubelan penonton yang tersihir oleh pesona Yura.

Tetiba Yura bernarasi dengan sederet kata yang sarat akan makna, dan mendadak hingar bingar dan riuhnya pentas tergantikan oleh kesenyapan yang bersemilir dengan permenungan tentang keterbatasan, dan penerimaan dalam sebentuk keikhlasan. Ikhlas dalam mensyukuri apapun yang telah ditakdirkan melekat pada diri dan jalan hidup kita. Begitu kata Yura, sebagaimana lirik lagunya yang telah saya tuliskan di atas.

Usai prolog lagu yang bernas, Yura menyanyikan lirik itu dengan sepenuh hati…dan kami mengikutinya tak hanya dengan suara, tapi juga dengan segenap isi hati yang membanjir bersama air mata. Pasangan-pasangan saling berpelukan, seorang ibu di depan saya memeluk anak gadis kecilnya, dan banyak gadis-gadis remaja yang selama ini mungkin kerap merasa dihukum dunia, meletakkan kedua tangan bersilang di depan dada seolah ingin memeluk dirinya dan menguatkannya.

Sihir Yura ternyata sedemikian hebatnya…

Jadi kalau boleh jujur, malam itu saya menangis berkali-kali, karena sebelumnya si manis berlesung pipit bernama Nadin Amizah menyiksa saya lewat dua lagunya, Sorai dan Bertaut.

Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Awan dan alam saling bersentuh
Mencipta hangat kau pun tersenyum
Ketika itu kulihat syahdu
Lihat hati mana yang tak akan jatuh

Lirik Sorai itu membuat kenangan menerawang menembus lorong waktu yang dindingnya dipenuhi kisah tentang perjumpaan, perpisahan, kerinduan, dan juga tentu saja kesedihan dan kekecewaan. Juga cerita tentang harapan yang ternyata tak pernah terwujudkan. Atau tentang kebahagiaan yang datang meski tak pernah sedikitpun direncanakan. Bukankah semua itu amat patut untuk dirayakan?

Karena mungkin memang untuk itulah pada akhirnya manusia dihadirkan ya? Untuk melukis dinding waktu dengan berlembar cerita berisi pengalaman dalam kesendirian dan kebersamaan.

Saya terdiam, istri tercinta mungkin manusia tak kasat mata yang hadir dalam berbagai cara, hanya saja ia tak mengurungnya dalam berbait kata. Cukup mata yang berbicara, dan dunia mahfum adanya.

Jadi Bun kalau saat hancur ku disayang
Apalagi saat ku jadi juara
Saat tak tahu arah kau di sana
Menjadi gagah saat ku tak bisa
Sedikit ku jelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu
Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu

Malam itu paripurna, seiring dengan purnama yang tersenyum mesra saat sebaris awan tipis menggoda manja. Dan dunia, apalah dunia tanpa cinta, sang enzim pengudar rasa yang mengubahnya menjadi setangkup makna.

Disepertiga malam saat Prambanan kembali hening dalam kontemplasi panjang menanti fajar shaddiq yang datang menjelang, tetiba lirik-lirik lagu yang tadi berkumandang mengingatkan saya akan sebuah teori tentang compassion. Sifat welas asih yang senantiasa menginginkan hadirnya kebahagiaan bagi sesama.

Bahkan ada satu teori yang menyatakan bahwa berfokus pada compassion adalah sebentuk terapi untuk membenahi karut marutnya jiwa manusia beserta pranata dan aneka pranalanya. Teori ini dikembangkan oleh Paul Gilbert dan berfokus pada bagaimana compassion dapat digunakan sebagai terapi diri.

Gilbert menekankan pentingnya mengembangkan compassion baik untuk diri sendiri (self-compassion) maupun untuk orang lain sebagai cara untuk mengurangi emosi negatif nan destruktif seperti rasa malu dan rasa bersalah. Teori CFT Gilbert bekerja berdasarkan tiga sistem regulasi emosi, yaitu sistem ancaman (Threat System) yang diaktifkan oleh rasa takut dan berfokus pada perlindungan diri.

Lalu ada sistem dorongan (Drive System) yang berhubungan dengan pencapaian tujuan dan kepuasan. Diikuti oleh sistem soothing yang mendukung ketenangan, rasa aman, dan kenyamanan melalui hubungan sosial yang penuh kasih.

Gilbert menekankan keseimbangan antara ketiga sistem tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis. Bukankah lagu dan liriknya, beragam ruang publik di tengah ramainya kota, sampai karya susastra, drama, dan juga beragam ekspresi seni berestetika adalah berbagai cara untuk mengingatkan kita tentang fitrah compassion untuk terus saling mencintai sesama?

Sementara Kristin Neff mengembangkan konsep self-compassion, yang menekankan pentingnya bersikap penuh kasih kepada diri sendiri dalam menghadapi kesulitan. Kenali dirimu, dan temukan sumber mata air kebajikan di dalamnya…lalu alirkan (TNA, 2024). Self-compassion nya Neff terdiri dari tiga komponen utama, yaitu; kindness terhadap diri sendiri. Jangan menghakimi diri terlalu keji, jangan menyalahkan diri dan sekitar karena itu tak mengubah apapun yang telah menjadi ketetapan qodar, gantilah kritik diri dengan pemahaman berkesinambungan yang bermuara pada praduga baik dan kebaikan itu sendiri.

Karena memahami bahwa penderitaan adalah bagian dari pengalaman manusia adalah bagian dari proses penerimaan yang dapat diikuti dengan tindakan tak menghakimi, dan setia menjalankan, tanpa menjadikannya beban, itulah mindfulness.

Dimana mindfulness semestinya dapat menjaga keseimbangan dalam merespons emosi tanpa berlebihan atau menekan perasaan tersebut ke dalam sumur tanpa dasar. Karena mengikhlaskan, menjalani, dan mensyukuri adalah keniscayaan untuk menerbitkan kesadaran dari ufuk keberadaan.

Tak lama setelah gema Sorai di Prambanan usai, saya mendapati diri saya tengah asyik masyuk bertafakur dengan khusyu’ di lapang Pamedan Mangkunegaran. Kali ini saya datang untuk mengaji pada Kyai Panji Sakti. Dalam kitab yang dilantunkannya itu terdengarlah hikayat nasehat tentang seorang kelana makrifat, yang merintih dalam demam rindu yang semakin memberat;

Rindu adalah perjalanan mengurai waktu
Menjelma pertemuan demi pertemuan
Catatannya tertulis di langit malam
Di telaga dan di ujung daun itu
Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang
Rindu mengekal menyebut nama-Mu berulang-ulang
Rindu mengekal menyebut nama-Mu

Dan memang lirik itu berdentam sedemikian hebatnya di hati saya, berulang-ulang. Berulang-ulang. Berulang-ulang. Dan terus berulang sampai jiwa serasa terbang dalam sebentuk kuntum kembang. Kembang Kamboja.

Jiwaku sekuntum bunga Kemboja
Dihempas angin, didera hujan
Disengat matahari, dicekam cerita
Dan aku ‘kan mengingatnya
Sebagai cinta yang memahami
Bagaimanapun akhir cerita kita
Sekuntum jiwa yang tak letih menyerukan rindu
Pada Dia, Pemilik semesta

Kelindan hadir di titik nadir dengan muara pikir dalam sebait zikir itu membuat saya melipir dari pusar tanda yang berpusing dalam dialektika makna maya. Makna yang tercipta semata karena kesepakatan bersama antar manusia yang tak kuasa memahami makna di balik makna yang tersimpan dalam lapis halus tabir sutra rahasia.

Karena pelantar cinta telah menafikan konstruksi kognisi berdasar definisi yang kita kenal sebagai teori yang penuh konspirasi dan minim inspirasi, meski lahir dari hasil kolaborasi, yang sayangnya banyak terdistorsi oleh emosi yang merepresentasi kecemasan defensi.

Maka kerap cinta tersandera dalam keterikatan dan kemelekatan yang menghadirkan samsara kepemilikan. Attachment yang bahkan telah menjadi teori. Attachment theory yang awalnya dikembangkan oleh John Bowlby dan Mary Ainsworth untuk menjelaskan keterikatan antara anak-anak dan mereka yang membesarkan mereka, lalu teori ini pun berkembang untuk hubungan romantis.

Sekurangnya ada tiga gaya keterikatan utama ala Bowlby dan Ainsworth, secure attachment, dimana mereka-mereka yang melekat dengan gaya ini merasa nyaman dalam hubungan dan mudah terhubung secara emosional.

Lalu ada model anxious attachment, yang cenderung mengalami ketidakpastian dan takut ditinggalkan dalam sebentuk hubungan. Hingga biasanya memantik model avoidant attachment, yang cenderung menjaga jarak emosional dan menghindari keintiman.

Kekecewaan dan pengalaman traumatik tentang cinta yang tak sepadan atau setara dengan impian dan harapan, tampaknya akan memupuk penyangkalan akan ketulusan dan kejujuran yang sejatinya adalah sifat inti dari cinta itu sendiri. Bukan cinta model eros, ludus, pragma, apalagi mania dari Lee’s Color Wheel Theory of Love yang digagas oleh John Alan Lee, tapi lebih condong pada konsep Agape, yang tulus, altruistik, dan tanpa pamrih, cinta Tauhid yang semata mendamba ridho untuk sekedar ikhlas mencintai dengan segenap daya dan apa adanya, dengan adanya se-apa-apa.

Tapi apapun bentuk dan tingkat evolusi cinta yang tengah kita alami, Robert Sternberg mengusulkan bahwa cinta itu pada hakikatnya memiliki tiga komponen utama, intimasi berupa kedekatan emosional, keterikatan, dan kehangatan dalam hubungan.

Lalu masih kata Sternberg, ada gairah (passion), dimana hasrat fisik dan emosional, termasuk ketertarikan secara seksual adalah konsekuensi logis dari keberadaan sistem indera dan hormonal serta legasi reproduksi yang melekat pada makhluk hayati.

Kemudian semua itu, apapun bentuknya akan bermuara pada komitmen, dimana keputusan untuk mencintai seseorang atau sesuatu dan mempertahankan cinta tersebut dalam jangka waktu tertentu sampai tak terbatas, perlu persyaratan tentang integritas pada kesetiaan yang sudah sewajarnya memerlukan landasan keyakinan dalam bentuk keimanan dan keaminan terhadap konsekuensi yang dapat dipastikan akan hadir membersamai.

Sampai akhirnya suatu pagi di Songgoriti. Saya yang baru mulai melangkahkan kaki meninggalkan candi sumber air panas yang tersembunyi, mendapati pesan singkat dari dokter Nyoman Suci, isinya : Mas Noor telah berpulang ke hadirat Illahi…

Izinkan saya di lain waktu mengisahkan sosok Mas Noor yang sholeh dan senantiasa menjadi sumber inspirasi ini ya, karena pagi itu di Songgoriti tetiba lirik Sal Priadi yang terlantun dari gadget saya tepat di depan segerumbul bunga Matahari di tepi jalan yang mendaki, membuat segenap kesedihan saya runtuh dalam tangis rindu pada semua yang telah menuliskan cerita indah di hati yang rapuh ini….

Mungkinkah..
Mungkinkah..
Kau mampir hari ini
Bila tidak mirip kau jadilah Bunga Matahari
Yang tiba-tiba mekar di taman
Meski bicara dengan bahasa tumbuhan
Kan ku ceritakan padamu
Bagaimana hidupku tanpamu

Menangislah kawan, lepaskan beratnya beban rindu. Menangislah saudaraku, karena bahasa air mata adalah bahasa yang segenap semesta paham artinya. Dan menangislah saya, dengan segenap rasa yang tak mungkin diwadahi oleh kata-kata.

Karena air mata emosional itu tak hanya bersifat universal, tapi juga punya proporsi personal yang selalu selaras dengan situasi kondisional. Karena air mata emosional yang berasal dari kelenjar lakrimal itu mengandung beberapa hormon yang berkaitan dengan stress dan emosi.

Di dalamnya ada Adrenokortikotropin (ACTH), dimana hormon ini berperan dalam respons tubuh terhadap stress, lalu juga ada Leu-enkephalin, sebuah peptida yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit alami dan modulator suasana hati.

Tak lupa, turut serta pula Prolaktin, hormon terkait dengan stress dan respons emosional serta muncul dalam proses menyusui pada ibu yang sedang jatuh cinta pada bayinya. Kadar prolaktin lebih tinggi dalam air mata emosional dibandingkan dengan air mata lainnya (basal dan refleks yang bersifat fisiologis).

Air mata emosional juga mengandung protein dalam jumlah yang berbeda dibandingkan air mata basal atau refleks. Protein itu antara lain adalah Lisozim, suatu enzim yang berfungsi sebagai antimikroba, yang juga ditemukan dalam air mata emosional, meski dalam jumlah yang lebih rendah dibandingkan dalam air mata basal.

Albumin pun banyak ditemukan dalam air mata emosional, dan berkaitan dengan pengangkutan hormon dan beberapa zat komunikator.

Lalu ada Imunoglobulin A (IgA) yang berperan untuk melindungi mata dari infeksi. Khususnya pada saat kita menangis dan bersimbah air mata yang rawan dengan sentuhan fisik dari lingkungan yang berpotensi membawa banyak mikroba dan berbagai zat berbahaya.

Lalu tentu saja ada neurotransmiter seperti serotonin dan dopamin yang berperan dalam regulasi suasana hati dan respons emosional.

Maka menangislah karena memang kita manusia…, hingga kata Ghea Indrawari,

Menangislah
Kan kau juga manusia
Mana ada yang bisa
Berlarut-larut
Berpura-pura sempurna
Sampaikan pada jiwa yang bersedih
Begitu dingin dunia yang kau huni
Jika tak ada tempatmu kembali
Bawa lukamu biar aku obati

 

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts