Tauhid Nur Azhar

Kisah Padi, Nutrigenomik, dan Masa Depan Bangsa Ini

Akhir pekan jelang hari kemerdekaan RI ke 79 yang akan diperingati di Ibukota Nusantara, banyak kisah yang berseliweran di lini masa saya. Feed di media sosial dan beberapa chat di WA terasa asyik mengusik benak saya dengan tanda-tanda tanya cantik dengan aneka topik yang menarik.

Tapi ada garis merahnya, bak jelujur benang semacam benang bedah di jahitan subcuticular yang siap ditarik untuk merapatkan luka permukaan yang semula lebar menganga, seolah tertawa pada dunia yang mabuk oleh drama dan akrobat kata-kata yang mendelusikan makna dalam pusar persepsi yang dilahirkan interpretasi berbagai fakta maya.

Bangsa ini sebagaimana sebagian besar bangsa yang hidup di benua Asia dan sebagian Afrika, mencatudayai dirinya melalui konversi adenosin trifosfat dari fosforilasi oksidatif yang terjadi di siklus asam sitrat. Dimana siklus asam sitrat memiliki delapan reaksi enzimatik yang dimulai dengan kondensasi asetil-KoA dengan oksaloasetat untuk membentuk sitrat, yang dikatalisis oleh sitrat sintase, dan berakhir dengan dehidrogenasi malat untuk menghasilkan oksaloasetat oleh enzim malat dehidrogenase.

Siklus asam sitrat berfungsi sebagai hub mitokondria untuk langkah terakhir dalam katabolisme oksidatif rangka karbon untuk karbohidrat, asam amino, dan asam lemak. Setiap langkah oksidatif, pada gilirannya, mereduksi koenzim seperti nikotinamida adenina dinukleotida (NADH) atau flavina dinukleotida (FADH2).

Pada akhir setiap siklus, oksaloasetat empat karbon telah diregenerasi, dan siklus berlanjut. Dari proses ini sekurangnya didapatkan 6 ATP yang digunakan sebagai energi hayati. Pertanyaannya darimanakah gerangan sumber bahan baku yang diolah di siklus penghasil ATP ini?

Dari karbohidrat salah satunya, yang dalam tradisi kuliner kita didominasi oleh nasi yang ditanak atau diliwet dari beras yang aslinya adalah spesies rerumputan bernama Oryza sativa.

Homo sapiens diduga telah mengenal padi yang diolah menjadi beras dan nasi sejak 10.000 tahun lalu. Tak hanya sekedar mengeksploitasi sumber-sumber di alam, tetapi juga kemudian mengembangkan konsep budidaya dan produksi yang berkesinambungan dan menjadi bagian dari strategi dan upaya mempertahankan ketahanan pangan.

Saking pentingnya peran padi, maka pengelolaan sumber-sumber pangan hayati ini telah melahirkan tradisi dan kultural yang menjadi rahim budaya bagi bertumbuh dan berkembangnya berbagai nilai inti kehidupan dan berbagai pranata penyertanya.

Terkait hal ini, Sensei Janoe San yang berada di Kyoto dalam ziarah musim panasnya, dengan sangat antusias mewartakan bahwa ia tengah mempelajari konsep INARI, atau dewi pembawa padi (berkah) salah satu kuil tertuanya berada di Kyoto.

Pas benar sejalan dengan hari kebangkitan teknologi nasional tahta jatuh pada setiap tanggal 10 Agustus, tengah diadakan ekspo hasil riset dan inovasi yang diberi tajuk acara : INARI expo 2021. Meski berbeda akronim, tapi ada irisan kuat antara INARI yang merupakan akronim Indonesia Research and Innovation Expo dengan INARI yang dewi padi Jepang. Pertama banyak peneliti dan pejabat BRIN yang pernah bersekolah di Jepang dan memahami dengan baik budaya adiluhung negeri tempatnya belajar itu. Yang kedua tentu saja terkait persoalan kesejahteraan yang sangat erat hubungannya dengan proses riset dan teknologi serta ilmu pengetahuan dan inovasi yang menjadi produk ikutannya.

Kembali pada Sensei Janoe San di Kyoto, ziarahnya du kuil kuno jauh sebelum era Meiji, membawa beliau pada atmosfer budaya yang menempatkan INARI sedemikian istimewa.

Inari (稲荷) adalah salah satu Kami dalam kepercayaan Jepang. Nama kehormatan bagi Inari adalah Inari no kami, Oinari-sama, Oinari-san, atau Inari Daimyōjin (稲荷大明神).

Dalam pendekatan filologi dan bahasa Jepang, Ine (稲) berarti tanaman padi. Kuil yang memuliakan Inari disebut kuil Inari (稲荷神社, Inari jinja). Pusat dari berbagai kuil Inari yang terdapat di seluruh Jepang adalah Kuil Fushimi Inari di distrik Fushimi, Kyoto. Tempat Sensei Janoe San datang untuk lebih memahami peran padi dalam suatu konstruksi peradaban.

Dalam sistem kepercayaan shinbutsu shūgō, Inari dianggap sebagai perwujudan dari Dakini. Selain itu, Inari antara lain dipercaya sebagai Ukanomitama (dewa palawija), Toyoukebime, dan Ukemochi (dewa makanan) Inari sebagai dewa pertanian diperkirakan berasal dari kata hasil panen tanaman padi (ine) yang diperlakukan sebagai barang bawaan atau produk (nari). Dimana INARI adalah dewi para Geisha, Samurai, dan pedagang, serta pandai besi yang berhubungan dengan sosok Kitsune atau rubah.

Bagaiamana dengan di Nusantara? Jangan salah, legenda dewi kesuburan bumi, Dewi Sri sampai hari ini masih sangat lekat pada nilai-nilai budaya dan tradisi masyarakat Jawa, juga di Sulawesi selatan dan berbagai daerah lain, tentu dengan artikulasi dan istilah yang beragam, sesuai dengan dinamika budaya yang bersifat lokal, regional, dan global.

Di wilayah Sunda dikenal sosok atau figur yang sangat diagungkan dan dihormati oleh para petani dan penguasa yang fondasi kekuasaannya berbasis pada produk agraris, Nyai Pohaci Sanghyang Sri.

Dimana Nyi Pohaci Sanghyang Sri adalah dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris dalam sistem kepercayaan Kerajaan Sunda kuno. Ia adalah dewi pelindung yang mengawasi perilaku dan aktivitas agraris masyarakat Sunda. Nyi Pohaci juga dianggap sebagai konstruksi relasi kuasa dari Batara atau Bujangga yang dikepalai oleh Sunan Ambu.

Nyi Pohaci memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau Sadono). Cerita-cerita ini berlatar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.

Mitologi Nyi Pohaci tak cuma disimpan dalam ingatan masyarakat Sunda, tetapi ia tersebar juga pada masyarakat Jawa, Bali, dan Melayu.

Bahkan salah satu putri dari pendiri kerajaan Sunda kuno, Aki Tirem diberi nama Pohaci. Mungkin juga ini bagian dari upaya menegasikan relasi kuasa yang membutuhkan legitimasi ultra natural.

Dalam babad Wangsakerta karya Pangeran Wangsakerta, Aki Tirem digambarkan adalah seorang Penghulu atau penguasa daerah pesisir Jawa Barat bagian barat (Teluk Lada Pandeglang). Aki Tirem disebut juga Aki Luhur Mulya, putrinya bernama Pohaci Larasati yang diperistri oleh Sang Dewawarman.

Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa di situ dengan nama penobatan Prabu Darmalokapala Dewawarnan Haji Raksa Gapura Sagara, tokoh ini oleh para sejarawan disebut Dewawarman Pertama. Istrinya, Pohaci Larasati, menjadi permaisuri dengan nama nobat Dewi Dwani Rahayu. Kerajaan yang dipimpin oleh Dewawarman ini diberi nama Salakanagara yang artinya negeri perak beribukota di Rajatapura.

Sumber yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Salakanagara di antaranya, adalah berita Cina (Dinasti Han), dimana dalam berita tersebut, Raja Yeh Tiao-pien mengirim utusan ke Cina pada tahun 132 M. Ye-tiao diduga sama dengan Yawadwipa atau Yabadiu (Pulau Jawa), sedangkan Tiao-pien diduga adalah Dewawarman.

Sumber informasi lainnya tentang Salakanagara adalah seorang ahli geografi bernama Claudius Ptolemeus yang menuliskan dalam bukunya Geographia yang ditulis tahun 150 M, tentang keberadaan pulau Labadiou yang subur dan menghasilkan banyak emas di dunia timur.

Masih menurut Geographia, di ujung barat Labadiou (pulau Jawa) terletak kota Argyre (perak). Argyre inilah kemungkinan besar adalah ibukota Salakanagara. Kota canggih dengan penggunaan elemen logam yang menunjukkan tingginya ilmu metalurgi yang telah dicapai bangsa Nusantara pada saat itu.

Membahas lebih mendalam tentang sebaran manusia (Homo sapiens) dan perkembangan budaya agraris yang menyertainya akan membawa kita untuk mempelajari lebih mendalam perkara kecocokan alias kompatibilitas antara entitas biologis, ekosistem, habitat, dan biodiversitas, serta bahan pangan dan beraneka jenis makanan sebagai bentuk adaptasi nya terhadap dinamika lingkungan termasuk posisi geografis dan konsekuensi iklimnya bukan?

Berbagai varian biologis pada entitas yang bernama manusia, secara genetika dapat dipelajari melalui haplotip dan haplogrupnya. Dimana hubungan di antara lingkungan dan makanan serta manusia dan gennya kini banyak dipelajari dalam nutrigenomik.

Nutrigenomik adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara genom manusia dan pola makan, yang dapat memengaruhi kesehatan dan risiko penyakit. Salah satu aspek penting dalam nutrigenomik adalah pengaruh haplogroup, kelompok genetik yang diwariskan melalui garis keturunan, terhadap preferensi makanan dan kebutuhan nutrisi.

Nutrigenomik adalah bidang penelitian yang mempelajari bagaimana profil genetika dapat mempengaruhi respons individu terhadap makanan.

Sementara Haplogroup, yang merupakan kategori besar dalam filogenetik yang menggambarkan asal usul genetika manusia, diketahui telah terbukti mempengaruhi berbagai aspek biologi, termasuk metabolisme dan kebutuhan nutrisi.

Selain itu, wilayah geografis dan habitat tempat tinggal juga berperan penting dalam membentuk kebiasaan makan melalui ketersediaan pangan dan adaptasi genetik terhadap lingkungan tertentu.

Haplogrup adalah kelompok besar dari haplotip, kombinasi dari alel yang berada dekat satu sama lain di genom dan diwariskan bersama-sama. Haplogroup sering dikategorikan berdasarkan kromosom Y (untuk garis keturunan paternal) dan DNA mitokondria (untuk garis keturunan maternal).

Setiap haplogrup memiliki distribusi geografis yang berbeda, yang sering kali mencerminkan migrasi dan adaptasi manusia sepanjang sejarah.

Nutrigenomik adalah cabang ilmu yang meneliti interaksi gen seseorang dalam mempengaruhi kebutuhan nutrisinya dan bagaimana nutrisi dapat memengaruhi ekspresi gennya. Misal variasi genetik dalam enzim metabolik dapat mempengaruhi bagaimana tubuh memproses lemak, karbohidrat, dan protein.

Genotipe tertentu mungkin juga mempengaruhi risiko penyakit yang berkaitan dengan diet, seperti diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.

Studi menunjukkan bahwa haplogroup tertentu berkorelasi dengan adaptasi genetik terhadap diet yang dominan di wilayah geografis tertentu. Misalnya, populasi yang berasal dari daerah kutub (seperti haplogroup Q dan C di Inuit) memiliki adaptasi genetik terhadap diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, yang dominan dalam makanan laut dan hewan darat di wilayah tersebut.

Sebaliknya, populasi dari daerah tropis (seperti haplogroup L di Afrika) mungkin lebih disesuaikan dengan diet tinggi karbohidrat dan serat yang berasal dari buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian.

Migrasi manusia dan urbanisasi modern telah menyebabkan perubahan signifikan dalam pola makan yang tidak selalu selaras dengan profil genetik mereka. Ini dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit kronis ketika populasi dengan haplogroup tertentu mengadopsi pola makan yang tidak sesuai dengan adaptasi genetik mereka. Misal, populasi dengan sejarah diet rendah lemak yang kini mengadopsi diet tinggi lemak dan gula lebih rentan terhadap obesitas dan penyakit terkait.

Lactose Intolerance dan Haplogroup intoleransi laktosa adalah salah satu contoh adaptasi genetik terhadap pola makan yang dipengaruhi oleh haplogroup. Pada populasi Eropa dengan haplogroup H, terdapat prevalensi tinggi dari alel yang memungkinkan pencernaan laktosa hingga usia dewasa. Hal ini berhubungan dengan sejarah domestikasi hewan ternak dan konsumsi susu. Sebaliknya, haplogroup lain di Afrika dan Asia memiliki prevalensi intoleransi laktosa yang lebih tinggi karena sejarah pola makan yang berbeda.

Contoh lain dari hubungan antara jenis makanan dengan kondisi lingkungan dapat dilihat pada pola genetik dan pola makan suku Inuit.

Haplogroup Q, ditemukan di populasi Inuit atau orang Eskimo yang habitatnya adalah lingkungan Arktik di sekeliling kutub utara dengan suhu sangat rendah dan ketersediaan pangan terbatas.

Jenis makanan mereka terkategori det tinggi lemak, yang bahan bakunya terutama berasala dari mamalia laut seperti anjing laut dan Paus.

Populasi Inuit menunjukkan adaptasi genetik terhadap diet tinggi lemak yang dominan di lingkungan mereka. Gen-gen yang terlibat dalam metabolisme asam lemak, seperti FADS (Fatty Acid Desaturase), telah berevolusi untuk meningkatkan kemampuan metabolisme lemak dari sumber makanan laut. Ini sangat penting di lingkungan Arktik di mana karbohidrat langka dan lemak adalah sumber energi utama.

Variasi genetik dalam gen FADS memungkinkan individu Inuit untuk lebih efisien mengonversi lemak rantai panjang (yang kaya akan asam lemak omega-3) menjadi energi.

Contoh lain adalah Haplogroup L dan pola makan dominan nabati di wilayah Afrika Sub-Sahara. Haplogroup L jamak dijumpai di populasi yang bermukim di Afrika Sub-Sahara. Kondisi habitatnya adalah lingkungan tropis dengan ketersediaan tinggi sumber makanan nabati seperti buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian.

Populasi di Afrika Sub-Sahara yang tergabung dalam haplogroup L memiliki adaptasi yang mendukung metabolisme karbohidrat kompleks. Mereka memiliki variasi genetik yang mendukung efisiensi dalam pemecahan karbohidrat dan pengelolaan glukosa, yang penting dalam diet yang kaya akan tanaman bertepung.

Pasa populasi tersebut gen AMY1, yang mengkode enzim amilase salivari, menunjukkan peningkatan jumlah salinan di populasi yang secara historis mengonsumsi diet tinggi karbohidrat. Ini memungkinkan pemecahan pati menjadi gula lebih cepat di mulut, yang sangat berguna dalam diet berbasis tanaman.

Adaptasi genetik terhadap pola makan tertentu sering kali melibatkan perubahan dalam ekspresi gen. Perubahan ini dapat dipicu oleh mutasi di daerah pengatur gen (seperti promotor) atau perubahan dalam jumlah salinan gen (seperti pada gen AMY1).

Ketika individu dengan adaptasi genetik tertentu mengonsumsi makanan sesuai dengan profil genetik mereka, ekspresi gen ini diatur sedemikian rupa sehingga mendukung metabolisme yang efisien, mengurangi risiko penyakit, dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan.

Selain mutasi genetik, faktor epigenetik seperti metilasi DNA juga dapat memengaruhi ekspresi gen terkait adaptasi diet. Misal pola makan tinggi lemak dapat menyebabkan perubahan epigenetik yang memodulasi ekspresi gen terkait metabolisme lipid, yang bisa berpengaruh pada risiko penyakit metabolik dll.

Sebelum kita kembali membahas tentang kecocokan profil genetika dengan kondisi lingkungan (ekosistem dan habitat) serta bahan makanan yang tersedia, kita bahas terlebih dahulu sekilas, teknik untuk menentukan haplogroup ya.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi haplotipe dan haplogroup, yang melibatkan proses analisa DNA dengan beberpaa teknik berikut,

Analisis SNP (Single Nucleotide Polymorphism), dimana SNP adalah variasi di satu nukleotida dalam urutan DNA. Pemeriksaan SNP digunakan untuk mengidentifikasi variasi genetik spesifik yang mendefinisikan haplotipe dan haplogroup.

Teknik ini melibatkan sekuensing atau genotyping menggunakan teknologi seperti microarray atau sekuensing generasi baru (NGS).

PCR (Polymerase Chain Reaction) dimana PCR adalah teknik yang digunakan untuk memperbanyak segmen DNA tertentu sehingga dapat dianalisis lebih lanjut. PCR digunakan dalam kombinasi dengan teknik lain seperti Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) untuk memetakan SNP atau mikrosatelit yang mendefinisikan haplotip dan haplogroup.

Sekuensing DNA Mitokondria (mtDNA), dimana mtDNA yabf diwariskan secara maternal dan tidak mengalami rekombinasi adalah target ideal untuk menganalisis haplogroup maternal.

Teknik sekuensing mtDNA melibatkan pengurutan bagian spesifik dari DNA mitokondria, seperti HVR (Hypervariable Region), untuk mengidentifikasi haplogroup.

Lalu ada pula Analisis STR (Short Tandem Repeats), dimana STR adalah urutan pendek DNA yang diulang berkali-kali di sepanjang kromosom Y atau mtDNA.

Analisis STR dapat digunakan untuk menelusuri garis keturunan paternal dan menentukan haplotipe berdasarkan variasi dalam jumlah pengulangan STR.

Next-Generation Sequencing, NGS), dimana NGS memungkinkan pengurutan cepat dan komprehensif dari seluruh genom atau bagian besar dari genom. Dengan NGS, para peneliti dapat memetakan semua SNP yang ada pada genom individu dan mengidentifikasi haplogroup mereka secara lebih akurat.

Setelah haplotip dan haplogrup dari suatu populasi dapat dipetakan, maka pemetaan dan analisis pada gen-gen tertentu dapat digunakan untuk menilai proses adaptasi genetik dari individu terhadap dinamika lingkungannya.

Gen yang dapat diamati selain gen AMY-1 yang berperan dalam pengolahan karbohidrat kompleks, juga ada banyak gen lain seperti TCF7L2. Gen AMY1 sendiri mengkode enzim amilase, yang berperan penting dalam memecah pati menjadi gula sederhana (maltosa dan glukosa) selama proses pencernaan.

Enzim ini dapat ditemukan dalam air liur (amilase saliva) dan merupakan langkah pertama dalam metabolisme karbohidrat. Jumlah salinan gen AMY1 bervariasi antar individu dan populasi, dengan variasi yang dipengaruhi oleh pola makan yang telah menjadi tradisi atau kebiasaan.

Studi menunjukkan bahwa individu dengan jumlah salinan gen AMY1 yang lebih tinggi memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mencerna karbohidrat. Pada populasi yang secara historis mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat (seperti nasi di Asia Tenggara), jumlah salinan gen AMY1 cenderung lebih tinggi.

Peningkatan aktivitas amilase akibat tingginya jumlah salinan gen AMY1 dapat menyebabkan peningkatan cepat kadar glukosa darah setelah konsumsi makanan yang kaya karbohidrat. Respons glikemik yang tinggi ini dapat meningkatkan risiko resistensi insulin, kondisi di mana sel-sel tubuh tidak merespons insulin secara efektif.

Resistensi insulin adalah salah satu faktor utama dalam pengembangan diabetes tipe 2. Namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa orang dengan lebih banyak salinan gen AMY1 besar kemungkinan memiliki risiko yang lebih rendah untuk obesitas, karena efisiensi dalam metabolisme karbohidrat. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara AMY1 dan risiko diabetes melitus bersifat kompleks dan mungkin tergantung pada faktor lingkungan dan pola makan serta berbagai aspek lainnya.

Gen TCF7L2 (Transcription Factor 7-Like 2) adalah salah satu gen yang memiliki kaitan paling signifikan dengan resiko diabetes tipe 2. Gen ini mengkode faktor transkripsi yang terlibat dalam jalur pensinyalan Wnt, yang memainkan peran penting dalam regulasi pertumbuhan sel, diferensiasi, dan homeostasis glukosa.

Polimorfisme dalam gen TCF7L2, seperti varian rs7903146, telah dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2. TCF7L2 berperan dalam regulasi ekspresi gen yang terlibat dalam sekresi insulin dari sel beta pankreas. Varian dari TCF7L2 dapat mengurangi kemampuan sel beta untuk memproduksi dan mensekresi *insulin*sebagai respons terhadap glukosa. Akibatnya, kadar glukosa darah bisa tetap tinggi setelah makan, dan berkontribusi pada perkembangan diabetes tipe 2.

TCF7L2 juga berperan dalam regulasi produksi glukosa di hati. Varian tertentu dari gen ini dapat meningkatkan produksi glukosa oleh hati, bahkan ketika kadar glukosa darah sudah tinggi, yang memperburuk hiperglikemia pada penderita diabetes tipe 2. Meskipun TCF7L2 lebih dikenal karena pengaruhnya pada sekresi insulin, ada juga bukti bahwa polimorfisme dalam gen ini dapat memengaruhi sensitivitas insulin di jaringan perifer, seperti otot dan lemak, yang berkontribusi pada resistensi insulin.

Lalu bagaimana dengan potensi pemanfaatan haplogrup dan haplotip dalam mengoptimasi kualitas sumber daya manusia Indonesia?

Mari kita bayangkan jika kita memiliki basis data atau dataset genomik berupa haplogrup populasi di berbagai habitat di Indonesia, dan juga kita memiliki basis data atau dataset berupa komposisi presisi setiap elemen nutrisi dari berbagai bahan pangan endemik di Indonesia, maka penggunaan teknologi AI akan dapat menghadirkan pendekatan nutrigenomik presisi.

Dataset yang sudah ada saat ini seperti haplogrup suku tertentu di habitat tertentu dapat menjadi langkah awal yang sangat baik dalam merumuskan strategi pangan nasional dan juga optimasi kualitas hidup manusia Indonesia.

Sebagai contoh, haplogroup Y-DNA J-M67 ditemukan pada 14% orang Jawa di Indonesia. Haplogroup P* basal (P-PF5850*) juga ditemukan di Asia Tenggara.

Dimana suku Jawa adalah suku bangsa terbesar di Indonesia, dengan asal-usul genealogis wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Indramayu, Kabupaten/Kota Cirebon (Jawa Barat), dan Kabupaten/Kota Serang–Cilegon (Banten).

Pada 2010, setidaknya 40,22% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. Suku Jawa memiliki beberapa sub-suku, yakni Banyumasan, Cirebon, Osing, Samin, Tengger, Jawa Merauke, sampai ke Jawa Suriname yang merupakan kaum migran lintas benua.

Jika kita pelajari lebih lanjut maka terdapat fakta bahwa suku Jawa juga memiliki kesamaan Y-DNA Haplogroup O1b1a1a dengan orang-orang Kalimantan dan Daratan Asia Tenggara (Indo-China). Hal ini berbeda dengan orang Sumatra (O2), dan manusia Nusantara yang tersebar di berbagai lokus ataupun habitat lain yang secara ekoregion memiliki perbedaan karakter lingkungan sebagaimana yang kita kenal melalui batas maya ekoregion yang ditandai oleh garis Wallacea dan Weber.

Dengan adanya basis pengetahuan yang didapatkan dengan analisa data genom (haplogrup), nutrigenomik ekoregion, biodiversitas hayati, iklim wilayah, dan prosesing pangan berbasis teknologi, kita akan dapat :

1. Merencanakan strategi pangan nasional dengan mengacu kepada;
– Data Genom Nasional
– Data Keanekaragaman hayati
– Data teknologi pertanian yang relevan
– Data iklim lokal, nasional, regional
– Data pengolahan dengan teknologi pangan
– Data kesehatan berupa data fisiologi dan morbiditas

2. Merancang peningkatan kualitas hidup manusia
3. Merancang peningkatan kualitas dan daya dukung lingkungan
4. Merancang berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif terkait dengan re-positioning global
5. Merancang model pendidikan dan penataan wilayah secara berkesinambungan untuk mendapatkan struktur sosial masyarakat yang dapat berperan secara optimal

Besar harapan, akuisisi pengetahuan dan pengembangan kapasitas dalam konteks upaya peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia berbasis genomik dan metoda ramah ekoregion dapat menjadi suatu entry point untuk mengembalikan kejayaan Nusantara secara terintegrasi dan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mengakomodir sepenuhnya berbagai kearifan lokal yang telah menjadi warisan adiluhung para leluhur kita. 🙏🏾🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts