HAPS, LEO, dan GURU
Mengajar itu amat menyenangkan, dan Alhamdulillah sebagian masa produktif saya dilalui dengan mengajar dan tentu saja belajar.
Salah satu pengalaman unik yang masih membekas dalam kenangan adalah saat saya diamanahi untuk menjadi pengajar atau instruktur di Telkom Corporate University, dan lebih senangnya lagi saya diminta untuk mengisi kelas Directorship yang merupakan kelas khusus bagi kader-kader pemimpin masa depan di lingkungan Telkom Group.
Terbukti seiring dengan waktu dan proses transformasi BUMN yang berlangsung secara berkesinambungan, alumni program ini ternyata juga banyak berkiprah di level direksi beberapa BUMN strategis di luar Telkom Group, misal di holding farmasi Biofarma, PT Pos Indonesia dll.
Materi yang saya sampaikan adalah constructive thinking, yang sifatnya beyond kreatif dan bersifat lebih holistik. Maka apa yang saya lakukan di kelas adalah memantik diskusi berbasis evidence based approach dan problem based learning yang mengupas kasus-kasus dan fenomena dari berbagai topik kajian lintas disiplin, bahkan dimensi. Diskusinya asyik sekali.
Asyiknya tuh semacam ada adrenaline rush gitu, karena bukannya saya yang mengajar, tapi saya yang seperti diuji dalam sidang tertutup doktoral atau viva voce begitu.
Maklumlah para peserta program directorship ini kan terdiri dari talenta-talenta pilihan PT Telkom Indonesia tbk yang dari latar belakang pendidikan, pengayaan profesi, serta rekam jejak kepemimpinan adalah creme de la creme dari segenap pegawai Telkom yang dari awal proses seleksinya saja sudah sangat ketat bukan?
Tapi keluarannya juga memang saya rasa cukup istimewa dan sangat menggembirakan. Seingat saya dari beberapa angkatan yang pernah saya ajar, saat ini beberapa sudah menempati jajaran pimpinan atau BoD (board of director) di beberapa perusahaan atau anak perusahaan BUMN.
Salah satu yang kini sedang menjadi trending topic adalah CEO Mitratel atau Daya Mitra Telekomunikasi, anak perusahaan Telkom Indonesia yang telah menjalin kerjasama dengan anak perusahaa Airbus Aerospace (AALTO Zephyr HAPS) untuk mengembangkan program Flying Tower System.
Flying Tower System yang juga dikenal sebagai High Altitude Platform Station (HAPS), adalah teknologi komunikasi nirkabel yang menggunakan pesawat tanpa awak atau balon yang terbang di stratosfer untuk menyediakan koneksi internet ke wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh infrastruktur tradisional.
HAPS biasanya terdiri dari pesawat tanpa awak atau balon yang beroperasi pada ketinggian sekitar 20 km (65.000 kaki) di stratosfer. Pesawat atau balon ini dilengkapi dengan panel surya yang menyediakan energi untuk operasionalnya.
Panel surya mengubah sinar matahari menjadi energi listrik yang digunakan untuk menjalankan semua sistem di platform, termasuk sistem komunikasi dan navigasi.
HAPS dilengkapi dengan transponder atau perangkat komunikasi yang dapat berkomunikasi dengan menara seluler di darat, satelit, atau langsung dengan perangkat pengguna (seperti ponsel atau modem).
Platform ini bertindak sebagai repeater yang memperluas jangkauan sinyal komunikasi. Mereka menerima sinyal dari infrastruktur darat atau satelit dan memancarkannya kembali ke wilayah yang ditargetkan.
HAPS dapat menyediakan akses internet melalui teknologi 4G, 5G, atau Wi-Fi. Sinyal internet yang diterima oleh platform kemudian dipancarkan kembali ke perangkat pengguna di darat.
Ketinggian operasional HAPS adalah sekitar 20 km di atas permukaan laut, hingga dapat mencakup area layanan koneksi internet hingga ratusan kilometer persegi tergantung pada teknologi yang digunakan.
HAPS dapat menyediakan kecepatan koneksi hingga beberapa ratus Mbps, tergantung pada teknologi dan konfigurasi yang digunakan.
Latency atau keterlambatan sinyal dari HAPS umumnya lebih rendah dibandingkan dengan satelit geostasioner karena ketinggian operasionalnya yang lebih rendah. Latency HAPS dapat berkisar antara 20 hingga 50 ms, sementara satelit geostasioner biasanya memiliki latency sekitar 600 ms, termasuk LEO nya Starlink yang latency nya berkisar di 30-50 ms.
Mekanisme koneksi internet HAPS dilakukan melalui mekanisme transmisi Ground Stations atau stasiun di darat yang berkomunikasi dengan HAPS menggunakan gelombang radio atau laser.
HAPS menerima sinyal dari stasiun darat atau dari satelit dan memancarkannya kembali ke perangkat pengguna.
HAPS dirancang untuk dapat melakukan layanan Direct to Device, dimana HAPS dapat berkomunikasi langsung dengan perangkat pengguna seperti ponsel atau modem, tanpa perlu infrastruktur tambahan di darat.
Sistem di HAPS mengelola aliran data untuk memastikan bahwa pengguna mendapatkan koneksi yang stabil dan cepat.
Dengan memanfaatkan energi surya dan ketinggian operasional yang optimal, HAPS menawarkan solusi yang efisien dan ramah lingkungan untuk meningkatkan konektivitas internet di daerah-daerah yang sulit dijangkau (remote area).
Pemanfaatan dan pengembangan teknologi HAPS ini tentu masih terkait dengan disrupsi konektivitas karena masuknya layanan LEO Starlink di wilayah Indonesia. Tentu kita memerlukan produk substitusi dan komplementernya bukan? Terlebih jika isu kemandirian teknologi komunikasi dan kedaulatan ruang udara serta frekuensi ternyata berkelindan erat dengan profil pertahanan dan keamanan nasional.
Dapat dipertimbangkan juga secara lebih saksama, kompetensi dan kapasitas industri strategis nasional yang telah memiliki kemampuan setara dengan industri di beberapa negara maju. PT DI dan LEN misalnya, telah memiliki pengalaman dalam pengembangan UAV (unmanned air vehicle) seperti program PUNA MALE dan Elang Hitam yang konsorsiumnya dipimpin oleh BPPT.
Disrupsi teknologi terkait coverage layanan koneksi internet diinisiasi oleh hadirnya teknologi yang memanfaatkan kapasitas dari Low Earth Orbital Satellites atau LEO. Low Earth Orbital (LEO) satellites adalah satelit yang mengorbit bumi pada ketinggian rendah, antara 500 hingga 2.000 km. Satelit ini digunakan untuk berbagai aplikasi, termasuk menyediakan koneksi internet berkecepatan tinggi dan bertingkat latensi rendah.
Satelit LEO diluncurkan ke orbit rendah bumi, dan karena ketinggian orbitnya yang rendah, satelit LEO mengelilingi bumi dengan cepat, biasanya dalam waktu sekitar 90 hingga 120 menit per orbit.
Untuk menyediakan cakupan global yang berkesinambungan, satelit LEO biasanya ditempatkan dalam konstelasi yang terdiri dari ratusan atau ribuan satelit. Contoh yang saat ini kita ketahui adalah konstelasi Starlink milik SpaceX.
Fungsi satelit LEO membutuhkan stasiun bumi untuk berkomunikasi dengan satelit yang berada di orbit, untuk mengirim dan menerima data. Stasiun inilah yang menghubungkan jaringan internet global ke satelit.
Satelit LEO dilengkapi dengan kemampuan untuk berkomunikasi satu sama lain melalui tautan antar satelit (inter-satellite links). Teknik yang biasa diginakan adalah delay tolerant network yang memungkinkan data untuk dikirim dari satu satelit ke satelit lain, hingga terciptalah jaringan yang luas di angkasa.
Satelit LEO mentransmisikan sinyal internet langsung ke antena penerima di rumah, kantor, atau perangkat bergerak pengguna. Pengguna akhir menerima sinyal ini melalui antena parabola kecil atau terminal penerima khusus.
Sebagai contoh koneksi yang difasilitasi oleh satelit LEO adalah Starlink yang menggunakan frekuensi antara 110 dan 188 MHz, yang jauh di bawah frekuensi radio 10,7β12,7 GHz yang digunakan untuk sinyal komunikasi downlink.
Satelit LEO milik Starlink bobotnya hanya 259 kg dan dibawa ke orbit geostasioner rendah (482 km dari permukaan bumi) dengan menggunakan roket Falcon 9 milik Space-X. Dimana Falcon-9 bisa mengangkut hingga 60 satelit sekaligus. Untuk memenuhi kebutuhan layanan koneksi internet global, SpaceX merencanakan konstelasi hampir 42 ribu satelit berukuran tablet yang mengelilingi dunia.
Starlink terhubung ke jaringan internet melalui gateway yang dikendalikan oleh Network Operation Center (NOC). Dimana fungsi gateway adalah penghubung jaringan ke jaringan lain dengan sistem aturan yang diatur dengan protokol khusus.
Internet gateway membutuhkan guidance dan direction dari jaringan milik penyedia layanan internet (ISP) ke jaringan internet global. Setiap pengguna beraktivitas di dunia maya, data akan ditransmisikan ke gadget/ gawai melalui jaringan ISP/internet service provider yang menerima dan mentransmisikan data dari antena BTS, kabel fiber optic, atau satelit.
Jika kita kembali pada topik yang mengawali tulisan pada hari ini, maka esensi dari proses belajar dan juga mengajar atau transfer knowledge dan pembentukan sikap mental pembelajar, scholar attitude, juga akan terbantu dengan dukungan teknologi yang memungkinkan terjadinya peningkatan akses kepada sumber informasi dan referensi yang dapat membantu mengonstruksi pemahaman berbasis pengetahuan.
Maka HAPS, LEO, ataupun jejaring fiber optic yang menjadi infrastruktur proses transmisi data adalah salah satu elemen kunci dalam diseminasi pengetahuan. Tapi di sisi lain kita juga perlu memotret peran dan posisi guru, dosen, ataupun mentor di era digital dan berkembangnya teknologi AI saat ini.
Mengutip kajian dan telaah Munif Chatib almarhum, seorang tokoh pendidikan yang juga penulis buku legendaris Gurunya Manusia, guru atau pendidik itu sekurangnya memiliki 4 level dalam perjalanan kariernya.
Level pertama adalah medium teacher, guru atau pengajar yang bisa menyampaikan materi sesuai dengan arahan panduan kurikulum, SAP, LMS, dan modul-modul mata pelajaran. Level berikutnya adalah Good Teacher, dimana pendidik sudah dapat menjelaskan pelajaran yang disampaikannya secara detail dan memberikan ilustrasi yang bernas karena memang guru sudah menguasai materi yang diajarkan dan relevansinya dengan berbagai bidang terkait.
Lalu ada tingkatan Excellent Teacher, dimana seorang guru sudah dapat mendemonstrasikan atau mensimulasikan berbagai penerapan dari ilmu yang diajarkannya. Guru di level ini tidak hanya paham secara teori dari materi yang diajarkannya, melainkan juga sudah mahfum akan kegunaan ilmu tersebut di kehidupan nyata.
Terakhir ada Great Teacher, yaitu saat seorang guru sudah dapat menjadi sumber inspirasi bagi murid-muridnya. Guru yang menjaga dan mengalirkan mata air kebijakan hingga dapat memberi kebermanfaatan berupa energi untuk terus mengembangkan diri, berkreasi, dan senantiasa berusaha menjadi bagian dari solusi, melalui berbagai kiat inovasi.
Sebenarnya dengan segenap kompetensi dan kapasitas yang kita miliki, kita punya peluang dan potensi untuk menjadi guru dalam berbagai model dan dimensi, menjadi sumber inspirasi yang senantiasa berkontribusi sesuai proporsi. Dan proporsi itu berkorelasi dengan proses pengembangan diri yang berkesinambungan secara berkelanjutan. Jika kita terus bertumbuh, akan semakin rindang pula tajuk kebijaksanaan dan kewaskitaan kita. Merimbun dan hasilkan pohon ilmu yang teduh, dimana buah dan daunnya siap untuk diseduh, diserap agar menubuh pada entitas cerdas yang senantiasa menjadi manfaat di saat menjalani takdirnya untuk meluruh. ππΎπ²π¨