Tauhid Nur Azhar

Dari Stasiun ke Stasiun Kucari Kamyuuuu…

Dalam salah satu petikan artikel yang bersumber dari tabloid digital Kontan yang dipublikasikan secara daring pada 28 Agustus 2024 pukul 15.00 BBWI, Mbak Amalia Adininggar Widyasanti, yang saat ini mendapat amanah sebagai salah satu pejabat tinggi madya di Bappenas RI, menyampaikan bahwa ada perubahan pada pola belanja masyarakat dalam 1 dekade terakhir, 2014 – 2024.

Pada tahun 2014, belanja prioritas masyarakat kelas menengah mayoritas dibelikan untuk makanan sebesar 45,53% dan untuk perumahan sebesar 32,67%. Namun 10 tahun kemudian, yakni pada tahun 2024, pola belanja tersebut berubah, menjadi 41,67% untuk makanan dan 28,52% untuk perumahan.

Rupanya penurunan pada kedua sektor tersebut diikuti dengan peningkatan pada pengeluaran barang jasa lainnya dari 4,68% jadi 6,48%, kemudian untuk keperluan pesta naik dari 0,75% menjadi 3,18%, juga untuk hiburan yang tadinya tipis sekali 0,22%, meningkat menjadi 0,38%.

Pengeluaran untuk kebutuhan lain yang meningkat adalah pengeluaran pajak dan iuran dari sebelumnya 1,62% menjadi 4,53%. Demikian pula untuk belanja kendaraan meningkat dari 2,97% menjadi 3,90%. Serta kebutuhan beberapa belanja barang dan jasa lainnya juga meningkat dari 4,58% menjadi 6,48%.

Selanjutnya, kebutuhan belanja kendaraan juga meningkat dari 2,97% menjadi 3,90%, barang tahan lama meningkat dari 1,72% menjadi 2,29%, dan pakaian meningkat dari 2,18% menjadi 2,44%.

Angka-angka ini secara tidak langsung juga dapat menggambarkan berbagai dinamika dan transformasi aspek pengambilan keputusan di ranah psikologi atau psikososial, dan juga profil ekonomi dari generasi produktif yang secara demografis tengah memasuki fase shifting karakter dengan dominasi kelompok usia produktif.

Konsekuensi dari berbagai perubahan yang dipantik (enabling) oleh pesatnya kemajuan teknologi, dalam hal ini TIK, dan masifnya pemanfaatan teknologi terkait di berbagai bidang, menghadirkan kondisi yang lebih kompetitif (bahkan hypercompetition), hingga terjadi pula perubahan pola tekanan atau stressor sosial. Belanja dan investasi tentu terpengaruh pula pada skala prioritas yang tercipta karena berbagai perubahan kondisi lingkungan sosial.

Eskalasi dari peningkatan tekanan sosial yang tercipta sebagai dampak dari ketatnya kompetisi dan semakin terakselerasinya berbagai sektor terkait informasi, pada gilirannya melahirkan kebutuhan baru untuk melakukan proses homeostatik. Recovery dan healing menjadi idiom fungsional yang kini dan di masa depan akan jamak ditemui.

Maka dalam tulisan hari ini saya akan mencoba menawarkan model healing yang bundling dengan traveling menggunakan moda transportasi publik yang paling happening, kereta api.

Salah satu legacy Pak Jonan mungkin adalah konsep value creating yang sampai saat ini masih terus dijalankan oleh generasi Mas Raden Agus yang saat ini menjadi corporate secretary KAI. Generasi beliau dan Mas Edo Dirut KCIC, adalah generasi kinyis-kinyis yang dalam konteks psikologi pendidikan, dapat terbangun karakternya melalui konsep kepemimpinan berketeladanan yang diusung seorang Ignatius Jonan pada masanya menjabat.

Penekanan Pak Jonan pada prinsip beyond mikir itu menekankan pada hasil pemikiran berupa lahirnya nilai tambah (added value), bukan sekedar konsep yang mengawang-awang. Pak Jonan adalah pemimpi yang realistis sekaligus pemimpin yang amat berdisiplin. Disiplin terhadap niat dan semangatnya sendiri.

Hasilnya terlihat, contoh; digitalisasi tiketing, model transaksi non tunai, sampai peningkatan kapasitas dan kualitas sarana dan prasarana perkeretapian terus terjadi sampai saat ini.

Ada face recognition untuk boarding, dan ada menu Rail Food untuk rekreasi lidah perut di sepanjang perjalanan yang menyuguhkan keindahan alam Indonesia yang nyaris tiada banding.

Lalu berbagai kelas layanan juga menjadi bagian dari keunikan berkereta api di Indonesia. Mulai dari kelas ekonomi bersubsidi PSO (public service obligation) yang semuanya ber AC, ekonomi New Generation hasil refurbished gerbong lama oleh Balai Yasa, atau New Generation made in INKA yang canggih dan nyaman punya, dirangkaikan dengan kereta Luxury ataupun Compartment yang sangat mewah dan full services dengan pendekatan advanced hospitality, semua ada di KAI saat ini.

Stasiun cantik seperti Garut Kota dan Purwokerto serta Jatinegara juga Tugu Jogja berpadu mesra dengan kereta dominan kaca yang menawarkan panorama cantik, unik, nan ciamik yang dapat dinikmati dari kereta Panoramic. Asyik banget gak sih?

Nah terkait dengan itu semua, kali ini saya akan berkisah tentang pentingnya menikmati perjalanan berkereta, khususnya di tanah Jawa. Seperti tokoh dalam novel juara Kereta Semar Lembu, karya Zaky Yamani yang berkisah tentang seorang pria immortal bernama Semar Lembu yang ditakdirkan untuk hadir dan melekat pada batangan baja rel tanah Jawa, dan tak bisa meninggalkannya, maka berkereta di tanah Jawa memang senyaman dan semenyenangkan itu.

Dalam 2 minggu terakhir ini saya wara-wiri memanfaatkan tarif reduksi dan skema Go Show berkali-kali hingga hematlah biaya perjalanan dinas kali ini. Menikmati kursi di kelas bisnis KA Baturaden yang tiketnya dengan skema reduksi adalah Rp. 86.000 untuk relasi Bandung – Purwokerto, dan sambung Jaka Tingkir dengan gerbong New Generation Economy nya yang nyaman dengan harga tiket Go Show, Rp. 105.000 untuk sampai di Lempuyangan tepat di waktu jam makan malam.

Keluar dari rangkaian KA Jaka Tingkir, keluar stasiun belok kanan lalu belok kiri, sampailah di area parkir pasar Lempuyangan, yang di malam hari menjadi tempat berkumpulnya para pecinta kuliner khas Jogja.

Sate Pak Parno dengan andalan tongseng dan tengkleng kepala sudah siap menanti pesanan. Demikian juga bakmie Jawa dan penyetan yang ada di sebelahnya. Tongseng Pak Parno menurut saya termasuk legenda rasa Jogja, karena ambang batas umaminya ga kira-kira.

Lanjut perjalanan ke arah timur, tak lupa pesan di menu Rail Food Access pecel Madiun kesayangan, Yu Gembrot. Tak lama setelah kereta lepas dari stasiun Madiun yang berelevasi +63 meter dan di titik km 165+783 lintas Surabaya Kota–Kertosono–Madiun–Solo-Jogja, pecel Yu Gembrot dengan bumbu kacang yang dibonusi serundeng segera terhidang.

Soal rasa dalam jagat perpecelan yang saya ketahui sampai saat ini, Yu Gembrot memang belum ada lawan. Terlebih jika kita menyantapnya di tempat, dimana di warung beliau selalu tersedia ubo rampe seperti lidah goreng dan otak tepung. Pecel Pojok dll tak kalah sedapnya memang, tapi ini kan kembali ke masalah selera yang merdeka bukan?

Ketika kereta seperti Kertanegara, Jayabaya, Malabar, ataupun Gajayana, serta Brawijaya, mendekati Malang, lain cerita. Baik keluar dari gedung baru stasiun Malang Kota Baru, ataupun dari pintu stasiun lama ke arah Jl. Trunojoyo, kita bisa menemui Rawon. Ada Rawon Rampal dekat stasiun baru, dan ada rawon Buntut pisah Depot Indah serta rawon Tessy di dekat stasiun lama.

Tak afdhol kiranya jika tak bercerita tentang kesaktian kuliner Daop 5 Purwokerto. 4 stasiun besarnya punya pesona yang sedemikian luar biasa dalam hal kuliner Nusantara. Di stasiun besar Purwokerto baru arah Jl Kober, kita bisa menemui Mie Ayam terlezat sedunia, Mie Ayam Daplun di depan kantor resort jalan jembatan.

Mie ayam yang satu ini unik pisan, Daplun membubuhkan adonan kacang dalam kuah mie ayamnya. Hasilnya? Aroma surga terasa dalam gelimang kaldu kenikmatan, membuat pusat rasa kita seolah dicakar-cakar ceker yang juga terhidang bersama mie nya. Daplun oh Daplun…engkau membuatku berasa menjadi makhluk culun yang terpaku dan tertegun, lalu terdiam melamun. Tak percaya dan gumun. Kok ada mie ayam seenak ini?

Di Kroya malah ada permata. Warung kecil di halaman depan sebuah penginapan di seberang kantor Sintelis, menawarkan sajian pecel Kecombrang dengan aroma yang khas dan amat menyenangkan. Tak hanya itu saja, pecel di warung Bu Murni ini, menyediakan rempeyek atau peyek urang alias udang yang gurih, renyah, dan udang kali Serayunya diberikan secara masif, alias banyak banget.

Dimakan di siang hari menjelang sore, di saat menanti kereta Wijayakusuma relasi Cilacap-Ketapang melintas, atau saat mencegat KA Manahan relasi Gambir-Solo, juga menunggu Joglosemarkerto yang memutari Jateng-DIY tanpa lelah dan tanpa henti, makan di Warung Bu Murni ditemani Es Kopi adalah suatu kebahagiaan sejati yang ongkosnya murah sekali.

Lain lagi cerita tentang stasiun klembhak menyan Kutoarjo. Stasiun dengan depo lok yang bau menyan karena hobi masinis dan teknisinya menyimpan bako menyan (jaman dulu saaf konsep safety tidak jelas), punya hidden gem kuliner yang ajaib pisan.

Apakah itu gerangan? Mangut Lele Girli. Mangut lele yang menurut saya lebih enak dibandingkan dengan mangut lele di wilayah DIY yang viral itu. Tapi sekali lagi selera itu subjektif ya. Beda-beda, tapi tetap satu Indonesia bukan?

Mangut lele Girli Kutoarjo bagi saya pribadi adalah puncak kenikmatan kuliner khas Jowo Ndeso. Kuah bersantannya sarat rempah dan mlekoh-mlekoh, plus sambel terasinya itu… ga ku ku deh, uenaaak tenan.

Dapat dipesan melalui Access by KAI dan dimakan sambil menikmati indahnya perjalanan di tengah persawahan kawasan pantai selatan Jawa. Apalagi kalau ditingkahi menyeruput wedang uwuh produksi jn house RESKA.

Jadi salah satu model spending yang cucok dengan generasi milenial dan Zeeeeee, adalah hardolin dengan sepur ya. Ke Ketapang Banyuwangi dengan KA Blambangan, ke Madiun dengan Bangunkarta, mencoba Bogowonto, Mataram, dan Jayabaya. Atau mungkin mau coba KA Menoreh relasi Jakarta Kota/Pasar Senen – Semarang Tawang ? Sudah pakai gerbong ekonomi baru loh… Jangan lupa wisata kuliner dekat Tawang atau Poncol ya. Sekurangnya mampir nasi goreng babat Pak Karmin di jembatan Mberok ya. 🙏🏾🩵

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts