Tauhid Nur Azhar

Dari Jogja ke Bandung Raya, Dari Cahaya Sampai ke DNA

Akhir pekan ini dipenuhi kesyukuran yang amat berlimpah. Dari sekian banyak agenda yang menjadi mandatori untuk dijalani, ada beberapa yang sangat “menggairahkan”.

Salah satunya adalah pengukuhan guru besar di ITB, dimana guru, mentor, sekaligus sahabat saya, Prof Marselina Irasonia Tan, dari SITH ITB pada hari Sabtu ini akan menyampaikan orasi ilmiahnya dalam bidang biologi sel dan imunologi yang telah saya tunggu-tunggu dengan segenap keriaan hati.

Rasa sukaria itu bahkan sudah diawali sejak hari Rabu, saat Ibu Risa Shofia, CEO Widya Genomic telah menyatakan kesediaannya untuk menerima saya di lab genom terintegrasi yang terletak di kesejukan lereng Merapi. Sungguh hidden gem dalam pengertian yang sesungguhnya, konotatif dalam konteks konstruktif dan superlatif yang menempatkannya sebagai “temuan tertinggi atau terindah”, sebagaimana grand line nya Mas Luffy the Monkey, tokoh utama di manga One Piece.

Tak hanya itu saja sebenarnya, ada satu rahasia yang juga masih saya simpan dari Mbak Risa Shofia, bahwa dalam perjalanan pulang dari lab Widya Genomik saya juga menemukan hidden gem yang tak kalah “permata”nya dibanding Widya, Bakmie Jowo Paijo namanya.

Jan nyamleng tenan bakmie ne, apalagi jika ditambah brutu dan uritan. Gegara sepiring bakmie Paijo itu, renungan soal microarray nya Mbak Risa dan orasi biologi selnya Prof Marsel tetiba “meledak” bak big bang di benak saya. Aneka cahaya dalam bentuk kumparan spektral dengan variansi panjang gelombang yang menakjubkan berkelebat tak hanya sesaat, mereka berpendar dan bak melakukan tarian kosmis ala nebula, mereka berputar melingkar, melakukan pradhaksina semesta yang mewartakan cinta tanpa perlu balut semantika yang melaut dalam berjuta kata.

Sederhana tapi nyata. Membangkitkan kesadaran secara seksama dalam waktu yang dihentikan oleh makna. Ruang kosong tanpa dark matter yang membeku karena kerja graviton flux generator yang dibuat oleh Tal Shiar pemuka bangsa Romulus atau Romulan yang berkelana di luar angkasa.

Bangsa Romulan adalah spesies Vulcanoid yang sebagian besar hidup di gugus Beta Quadrant. Mereka mendirikan dan memerintah Kekaisaran Bintang Romulan. Demikian hikayatnya dalam Star Trek.

Sinar-sinar yang berkelebat di benak saya membawa sebuah cerita tentang kapasitas visual dan cahaya, lalu lensa yang pada gilirannya menghasilkan sajian dunia mikro dengan para mikrobiotanya. Struktur kecil tak kasat mata, kini hadir dalam sebentuk citra yang membawa kita ke dalam dongeng baru sebagaimana Alice yang terpana ketika tiba di Wonderland.

Penemuan lensa pembias dan pengubah titik api cahaya ini bisa ditelusuri hingga zaman kuno. Dimana salah satu lensa paling awal yang ditemukan adalah lensa Nimrud, yang berasal dari sekitar 700 SM yang ditemukan di Irak.

Lensa ini terbuat dari batu kristal alami dan mungkin digunakan sebagai kaca pembesar sederhana atau untuk memfokuskan cahaya pada suatu titik. Surakarta dan mungkin korek api pertama.

Sebenarnya pula, bangsa Mesir dan Romawi Kuno telah menggunakan kaca dan lensa sederhana. Mereka mengetahui bahwa kaca berbentuk cembung dapat memperbesar objek. Filsuf Romawi, Seneca, mencatat bahwa kaca berbentuk bulat dapat memperbesar tulisan ketika dipegang di atasnya.

Meskipun demikian, penggunaan lensa sebagai alat optik masih terbatas pada saat itu. Sampai tibalah masa dimana Alhazen (965-1040 M) atau yang nama asli Arabnya adalah Ibnu al-Haytham, seorang ilmuwan Muslim, memberikan kontribusi besar dalam bidang optik.

Dalam bukunya kitab al-Manazir (Buku Optik), ia menyelidiki sifat cahaya, refleksi, dan refraksi. Al Haytham juga menjelaskan bagaimana lensa cembung dapat memperbesar gambar dan mengusulkan prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam pengembangan kacamata dan lensa.

Dari penemuan Al Haytham itulah kemudian para penerusnya mulai mengembangkan penggunaan lensa untuk koreksi penglihatan. Mekanisme ini mulai berkembang di Eropa pada akhir abad ke-13. Dimana kacamata pertama kali diproduksi di Italia, terutama di wilayah sekitar Pisa dan Venesia.

Kacamata ini menggunakan lensa cembung untuk membantu orang yang mengalami presbiopi (kesulitan melihat dekat akibat penuaan).

Pada awal abad ke-17, perkembangan pemanfaatan lensa mengalami lompatan besar dengan penemuan mikroskop dan teleskop. Galileo Galilei menggunakan lensa untuk membuat teleskop pada tahun 1609, yang memungkinkan pengamatan langit dengan detail yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di sisi lain, Zacharias Janssen dan Antonie van Leeuwenhoek menjadi tokoh penting dalam pengembangan mikroskop, yang memulai penjelajaha dunia mikro, hingga kita pun berkenalan dengan mikroorganisme dan sel.

Christiaan Huygens (1629-1695), seorang ilmuwan Belanda, menyempurnakan desain lensa untuk teleskop dan mengembangkan teori gelombang cahaya. Karyanya membantu meningkatkan kualitas lensa dan menghasilkan gambar yang lebih jernih dan bebas distorsi.

Lalu kemudian fisikawan agung, Isaac Newton (1642-1727) mengembangkan teleskop reflektor yang menggunakan cermin sebagai pengganti lensa untuk mengatasi aberasi kromatik, suatu masalah yang kerap dijumpai pada lensa di masa itu. Lensa temuan Newton dinamakan lensa apochromatic. Newton juga mengembangkan teori warna berdasarkan penguraian cahaya putih melalui prisma. Dimana dari penemuan Newton inilah kita mengenal konsep dasar spektrum cahaya yang kita pelajari dengan jembatan keledai; mejikuhibinu.

Pada abad ke-19, lensa mengalami peningkatan kualitas dengan pemahaman yang lebih baik tentang optik dan material. Carl Zeiss dan Ernst Abbe di Jerman memainkan peran penting dalam mengembangkan lensa presisi untuk mikroskop dan alat optik lainnya. Jadi jika kita saat ini banyak memanfaatkan teknologi lensa dan optik seperti yang terdapat di smart phone, kamera DSLR, CCTV, mikroskop dengan tingkat magnifikasi super tinggi, fiber optic dll, itu adalah bagian hilir dari suatu sungai invensi yang berhulu dari renungan bernas tentang cahaya.

Tak dinyana berawal dari lensa, peradaban manusia akhirnya mengenal sebuah dunia mikrokosmik yang isinya bak belantara mikrobiota dan sel-sel dengan berbagai organelanya.

Kisah kembara raja kelana ke dunia tak kasat mata ini diawali saat Robert Hooke, seorang ilmuwan Inggris, pada tahun 1665 dengan menggunakan mikroskop sederhana mengamati potongan tipis gabus.

Hooke melihat struktur berbentuk kotak kecil yang menyerupai kamar-kamar kecil seperti di biara atau sel penjara, yang ia sebut sebagai cells (sel). Namun, yang diamati Hooke sebenarnya adalah dinding sel dari sel-sel tumbuhan yang sudah mati, dan ia tidak mengetahui fungsi sel tersebut. Tapi tentu saja itu adalah momen dimana manusia mulai mengetahui bahwa ada dunia kecil nan tersembunyi dengan segenap keteraturannya dan aneka sistematika terstruktur yang membersamainya.

Antonie van Leeuwenhoek (1674-1683) kemudian melanjutkan legacy dengan melakukan pengamatan pada sel hidup. Antonie van Leeuwenhoek, seorang ahli mikroskop asal Belanda, mengembangkan mikroskop yang lebih kuat dan menjadi orang pertama yang mengamati sel hidup. Pada tahun 1674, ia melihat berbagai mikroorganisme di air, termasuk bakteri dan protozoa, yang ia sebut sebagai animalcules. Penemuan ini membuka wawasan tentang adanya kehidupan di dunia mikroskopis.

Lalu pada tahun 1831, Robert Brown, seorang ahli botani asal Skotlandia, menemukan struktur bulat di dalam sel tumbuhan yang ia sebut sebagai nucleus(inti sel). Penemuan ini menjadi salah satu elemen penting dalam pemahaman tentang sel sebagai unit kehidupan.

Selanjutnya Matthias Schleiden dan Theodor Schwann (1838-1839), dua orang ahli zoologi secara terpisah mengusulkan teori sel, yang menyatakan bahwa semua makhluk hidup terdiri dari sel. Schleiden menyatakan bahwa semua bagian tumbuhan terdiri dari sel, sedangkan Schwann memperluas teori ini ke hewan. Bersama-sama, mereka menyatakan bahwa sel adalah unit dasar kehidupan di setiap organisme atau makhluk hayati.

Pada tahun 1855, Rudolf Virchow, seorang dokter Jerman, menyatakan bahwa Omnis cellula e cellula, yang dapat diartikan bahwa setiap sel berasal dari sel lain. Teori Virchow ini menentang teori sebelumnya yang menyatakan bahwa sel muncul secara spontan. Melalui teori ini, Virchow melengkapi pemahaman bahwa sel tidak hanya unit dasar kehidupan tetapi juga unit reproduksi dari kehadiran sel-sel berikutnya.

Tak pelak perkembangan teknologi mikroskop dan studi tentang sel semakin maju dengan adanya berbagai temuan dan inovasi dalam konteks pencitraan. Mikroskop elektron yang ditemukan pada abad ke-20 memungkinkan para ilmuwan untuk mengamati struktur sel dengan lebih rinci, termasuk tebtabg keberadaan dan fungsi dari organela seperti mitokondria, ribosom, dan membran sel.

Terobosan terkait ilmu genetika pun dimulai. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penemuan sel, yang diikuti penemuan kromosom dan gen, pada gilirannya akan memantik lahirnya suatu revolusi bioteknologi yang hari ini kita telah rasakan manfaatnya.

Penemuan kromosom sendiri diawali oleh Karl Wilhelm von Nägeli (1842), seorang ahli botani asal Jerman, yang berhasil mengamati struktur seperti serat di dalam inti sel dengan menggunakan mikroskop.

Nageli mengamati adanya benang-benang halus yang kemudian dikenal sebagai kromatin, yang kelak akan diidentifikasi sebagai kromosom.

Lalu Walther Flemming (1879-1882), seorang ahli biologi yang juga berasal dari Jerman, melakuka suatu penelitian penting tentang mekanisme pembelahan sel (mitosis). Pada tahun 1879, Flemming memperkenalkan istilah kromatin merujuk pada materi yang ada dalam inti sel. Pada tahun 1882, ia mempublikasikan hasil studinya tentang pembelahan sel dan menggambarkan perubahan struktur kromatin selama mitosis, tetapi Flemming belum sepenuhnya memahami bahwa kromatin adalah tempat gen berada.

Lalu Edouard van Beneden (1883), seorang ahli biologi asal Belgia, menemukan bahwa setiap spesies memiliki jumlah kromosom yang tetap. Dalam studinya tentang pembelahan sel pada cacing Ascaris, ia menunjukkan bahwa setiap sel memiliki dua set kromosom (diploid), yang diwariskan dari kedua induk.

Sedangkan Wilhelm Roux(1883), seorang ahli embriologi, mengusulkan bahwa kromosom merupakan pembawa informasi genetik. Roux berteori bahwa kromosom adalah tempat penyimpanan determinant yang mengatur perkembangan organisme, meskipun belum ada bukti langsung.

Pada tahun 1887, August Weismann memperkenalkan konsep bahwa sel-sel germinal (sel kelamin) menjalani pembelahan khusus yang dikenal sebagai meiosis, mekanisme yang mengurangi jumlah kromosom menjadi setengahnya (haploid). Teori ini menjelaskan bagaimana pewarisan genetik bekerja dari generasi ke generasi melalui sel gamet.

Pada tahun 1902, Walter Sutton dan Theodor Boveri (1902), secara independen mengembangkan Teori Pewarisan Kromosom. Sutton dan Boveri mengamati bahwa perilaku kromosom selama meiosis sesuai dengan hukum pewarisan Gregorius Mendel. Mereka menyimpulkan bahwa gen terletak di dalam kromosom, dan kromosom adalah unit yang membawa materi genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pada tahun 1910 Thomas Hunt Morgan, melalui percobaannya dengan lalat buah (Drosophila melanogaster), menemukan bahwa gen tertentu terletak pada kromosom tertentu. Ia membuktikan bahwa beberapa sifat diwariskan bersama karena terletak pada kromosom yang sama, memperkuat teori bahwa kromosom adalah pembawa gen. Penemuan ini memberikan dasar bagi pemahaman modern tentang genetika.

Tapi jangan salah, terkait perkembangan penelitian kromosom sebagai pembawa sifat dan jumlahnya di inti sel manusia, ilmuwan Indonesia lah yang memiliki kontribusi paling besar. Joe-Hin Tjio namanya, ia adalah seorang ilmuwan genetika kelahiran Indonesia, yang menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 23 pasang. Tjio dilahirkan di Pekalongan pada 2 November 1919, tapi lebih sering dikenal sebagai ahli sitogenetika Amerika karena selama 23 tahun terakhir hidupnya dihabiskan untuk bekerja sebagai peneliti di National Institute of Health USA.

Dari cahaya yang berlanjut ke lensa, sampai ditemukannya sel dan kromosom, ternyata tak hanya berhenti sampai di sana, invensi ilmu hayati terus berlanjut. Energi Bakmie Paijo pun membuat saya terus bertenaga untuk mengerahkan segenap daya dalam mempelajari apa yang terjadi setelah penemuan kromosom dan jumlahnya oleh Dr Tjio yang aseli Indonesia.

Pada tahun 1869, seorang ahli biokimia asal Swiss yang bernama Friedrich Miescher berhasil mengisolasi zat yang disebutnya nuklein dari inti sel darah putih (lekosit polimorfonuklear). Nuklein ini kemudian dikenal sebagai DNA. Meski Miescher berhasil mengidentifikasi adanya struktur mikro ini, ia tidak menyadari peran pentingnya dalam pewarisan sifat.

Hingga pada 1919 Phoebus Levene, seorang ahli biokimia, mempelajari struktur kimia DNA secara lebih mendalam. Levene berhasil mengidentifikasi komponen dasar DNA yang terdiri dari gula (deoksiribosa), fosfat, dan empat basa nitrogen (adenin, guanin, sitosin, dan timin). Levene juga mengusulkan bahwa DNA terdiri dari unit-unit yang disebut nukleotida. Namun, Levene menganggap DNA terlalu sederhana untuk menyimpan informasi genetik dan lebih condong menisbatkannya pada peran protein.

Pada tahun 1944, Oswald Avery dan rekan-rekannya menemukan bahwa DNA, bukan sekedar protein, melainkan materi genetik. Penelitian ini didasarkan pada eksperimen yang menunjukkan bahwa DNA dapat mentransfer sifat-sifat genetik antar bakteri. Meskipun hasil penelitian ini penting, banyak ilmuwan pada waktu itu masih skeptis terhadap peran DNA.

Pada tahun 1950 Erwin Chargaff mengembangkan aturan yang kemudian dikenal sebagai Aturan Chargaff, dimana ia menemukan bahwa dalam DNA, jumlah adenin (A) selalu sama dengan jumlah timin (T), dan jumlah guanin (G) sama dengan jumlah sitosin (C). Temuan ini menjadi dasar penting dalam penentuan struktur DNA.

Hingga pada periode antara tahun 1951 sampai dengan 1952, Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins mulai menggunakan teknik difraksi sinar-X untuk mempelajari struktur DNA. Foto yang dihasilkan oleh Franklin, khususnya Foto 51, menunjukkan pola heliks ganda, meskipun Franklin sendiri belum menyimpulkan apakah sebenarnya struktur tersebut. Data ini kemudian sangat membantu dalam pemodelan struktur DNA oleh James Watson dan Francis Crick, yang pada 1953 berhasil menyusun model struktur DNA sebagai heliks ganda (double helix) berdasarkan data dari berbagai penelitian, termasuk hasil eksperimen Rosalind Franklin.

Model ini menunjukkan bahwa dua untai DNA saling melilit dan disatukan oleh pasangan basa: A dengan T, dan G dengan C. Penemuan ini menjelaskan bagaimana DNA mampu menyimpan dan menyalin informasi genetik.

Berangkat dari hasil penemuan Rosalind Franklin, Maurice Wilkins, James Watson, dan Francis Crick inilah dunia dan peradaban manusia mulai berkenalan dengan konsep pewarisan sifat dan berjalannya berbagai fungsi fisiologi dan psikologi melalui mekanisme berbasis DNA.

Kini kita mengenal pendekatan epigenetika, nutrigenomik, neuroplastisitas, gene engineering, sampai teknologi kloning dan terapi gen, antara lain karena berbagai penemuan dalam tapak sejarah ilmu hayati di atas telah melahirkan invensi dan inovasi seperti metoda ekstraksi DNA, blotting, sequencing, polymerase chain reaction, sampai gene chip dan microarray.

Dua yang terakhir inilah yang saat ini dikembangkan oleh Mbak Risa Shofia dan tim di Widya Genomic Jogja. Mengidentifikasi dan menganalisis gen manusia yang menurut penelitian terakhir jumlahnya berkisar antara 19.000 sampai dengan 26.000 gen, dan menemukan berbagai data terkait potensi resiko penyakit dan gangguan kesehatan lainnya sebagai bagian dari upaya mitigatif, serta menemukan berbagai potensi yang tertulis di gen untuk membantu proses perencanaan optimasinya. Termasuk melalui pendekatan epigenetik dan nutrigenomik.

Lalu apa itu chip gen atau gene chip dan microarray ? Gene chip dan DNA microarray adalah inovasi bioteknologi yang digunakan dalam sistem teknologi microarray untuk mengidentifikasi ekspresi ribuan, bahkan puluhan ribu gen secara simultan.

Teknologi ini memainkan peran penting dalam kedokteran presisi atau personalized medicine, khususnya dalam aspek diagnosis penyakit, pengembangan strategi promotif dan preventif kesehatan, wellness dsn kedokteran olahraga, serta penelitian genetika.

Pembuatan gene chip sendiri diawali dengan proses probes design. Dimana pada tahap ini dirancang suatu probes, yaitu sekuens pendek DNA yang bersifat komplementer terhadap gen yang ingin diuji.

Probes dipilih berdasarkan urutan target gen yang diinginkan. Probes DNA kemudian disintesis langsung di atas permukaan chip menggunakan teknik fotolitografi atau metode cetak. Chip nya sendiri terbuat dari bahan kaca atau silikon, yang permukaannya dibagi menjadi ribuan titik (spots) kecil. Setiap titik tersebut mengandung probes untuk satu gen tertentu.

Setelah probes disintesis atau diaplikasikan, mereka diikat (imobilisasi) secara permanen pada permukaan chip, sehingga siap digunakan untuk hibridisasi dengan sampel DNA atau RNA target.

RNA atau DNA dari sampel biologis diisolasi dan dilabeli dengan pewarna fluorescent. Sampel yang sudah dilabeli kemudian diaplikasikan ke _gene chip. Jika ada kesesuaian antara sekuens target dan probes pada chip, maka hibridisasi akan terjadi, di mana target DNA/RNA menempel pada probes yang komplementer.

Setelah hibridisasi, chip dipindai menggunakan scanner khusus yang mendeteksi sinyal fluorescent. Sinyal yang lebih kuat menandakan jumlah yang lebih besar dari target yang terikat pada probes, yang menunjukkan ekspresi gen yang lebih tinggi.

Selanjutnya pembacaan chip dilakukan dengan laser scanner atau confocal microscopy. Scanner ini mengukur intensitas sinyal fluorescent pada setiap titik di chip. Sinyal fluorescent yang terdeteksi kemudian dikonversi menjadi data digital yang dianalisis untuk menentukan ekspresi gen. Semakin kuat intensitas sinyal, semakin tinggi pula ekspresi gen tersebut.

Hasil pemindaian chip gen adalah data gen yang komprehensif dan dapat dianalisis dengan sistem komputasi cerdas yang telah tersedia. Untuk analisis data genom secara umum, misalnya telah jamak digunakan model AI deep learning seperti CNN dan RNN.

Sementara untuk penyelarasan dan pembacaan serta pencocokan hasil sekuensing DNA dapat digunakan algoritma BWA-MEM atau STAR untuk RNA-seq. Ada juga GATK atau genomic analysis toolkit yang dikembangkan Broad Institute untuk mengidentifikasi varian SNP (single nucleotide polymorphism) dari sekuens DNA germline dan RNAseq.

Berbagai kemajuan di teknologi hayati, khususnya bioteknologi yang ditunjang oleh kontribusi orkestrasi kolaborasi lintas disiplin pada gilirannya akan membawa angin segar pada upaya peningkatan kualitas hidup manusia secara sistematis dan proporsional.

Semoga keberadaan para ahli seperti Prof Marselina Irasonia Tan yang hari ini dikukuhkan sebagai guru besar di ITB, dan Mbak Risa Shofia yang gigih berjuang memperkenalkan panel pemeriksaan genomik untuk membantu proses pencegahan penyakit dan peningkatan kualitas hidup masyarakat, dapat menjadi pemantik bergulirnya upaya cerdas nan sistematik untuk bersama memperbaiki kualitas manusia Indonesia agar dapat menjadi lebih baik dan siap dalam menyongsong masa depan yang penuh dengan dinamika dan tantangan. 🙏🏾🩵🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts