Tauhid Nur Azhar

Mengubah Limbah Menjadi Anugerah

Tadi sebelum menunaikan ibadah sholat Jumat di salah satu mall yang saya suka lokasi Jumatannya, di basement tersembunyi, dan khatib nya biasanya menyampaikan materi yang singkat, padat, dan cerdas, saya menyempatkan diri berjalan-jalan di area Sky Walk di jalan legendaris di mana mall tempat saya Jumatan berlokasi.

Jembatan atau jalan layang yang berisi ruang publik plus pedestrian itu kini mulai hidup kembali setelah cukup lama vakum karena berbagai sebab. Ada faktor pandemi, dan ada pula perubahan kebijakan yang terjadi karena adanya suksesi kekuasaan. Hal yang jamak terjadi di negeri ini, dimana policy, termasuk kebijakan publik agak sulit untuk berjalan secara berkesinambungan karena mungkin masih adanya ego sektoral dan personal dalam arah kebijakan yang bersifat komunal.

Wajar dan sah-sah saja sebenarnya, asalkan tidak menimbulkan kerugian akibat fasilitas publik yang menjadi idle, ataupun diperlukannya anggaran tambahan yang sesungguhnya tidak diperlukan. Semangat yang wajib dikedepankan mungkin adalah optimasi dan efisiensi hingga arah gerak pembangunan dan laju pertumbuhan dapat berjalan secara signifikan.

Tapi mohon maaf, tampaknya itu bukan ranah amatan saya kali ini, gairah saya justru terpantik saat menikmati berjalan dan menghirup udara segar di pedestrian layang itu. Bersama beberapa wisatawan mancanegara yang tampaknya juga tertarik dengan konsep berjalan kaki dekat dengan pucuk dan tajuk tanaman berkayu keras seperti Mahoni yang cukup masif menghasilkan oksigen itu, saya menelusuri pojok-pojok menarik dan bahkan sempat duduk di keteduhan untuk mengetik menyelesaikan satu tulisan yang akan saya unggah sebelum pelaksanaan Jumatan.

Pada saat saya duduk itulah pandangan saya tertumbuk pada beberapa tumpuk sampah plastik di salah satu petak tanaman hias. Setelah lebih saya perhatikan, banyak juga sampah berupa bekas kemasan minuman dan makanan serta bungkus rokok tersebar di beberapa lokasi sekitar.

Padahal di salah satu sudut sangat jelas terlihat, telah disediakan kantong plastik hitam sebagai tempatbsampah sementara sebagai antisipasi jika pengunjung keberatan untuk membuang sampah di tempat sampah permanen yang memang terletak agak jauh.

Walhasil saya sempatkan diri untuk memunguti sampah-sampah itu dan meletakkannya di tempat yang telah disediakan. Mungkin hanya hal kecil itu yang bisa saya lakukan, di saat untuk penegakan aturan diperlukan ketegasan dari para pemilik otoritas yang telah dilengkapi dengan dasar aturan sebagau landas pijakan dalam melakukan tindakan.

Hampir semua sampah yang saya kumpulkan berbahan dasar plastik. Plastik sendiri adalah sebuah temuan teknologi yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam konstruksi peradaban. Menghadirkan banyak kemudahan dan kebaikan, juga kepraktisan, meski di sisi lain tentu juga membawa ekses yang tidak selalu kita harapkan.

Menurut data dari Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia menghasilkan 64 juta ton sampah plastik per tahun. Dari jumlah ini, 85.000 tonnya adalah kantong plastik yang terbuang ke lingkungan.

Pada tahun 2022, produksi sampah plastik di Indonesia mencapai 12,54 juta ton, yang merupakan peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia, dan merupakan penyumbang sampah kelaut terbesar kedua. Dari 3,2 juta ton sampah plastik yang tidak terkelola yang dihasilkan Indonesia setiap tahun, 1,29 juta tonnya berakhir di laut.

Pada mulanya plastik dikembangkan di sekitar tahun 1855, dan dikenal sebagai materi Parkesine, karena penemunya adalah Alexander Parkes, seorang ahli kimia Inggris.

Material Parkesine terbuat dari selulosa, substansi yang ditemukan pada tanaman, dan dapat dibentuk ketika dipanaskan. Parkesine adalah salah satu plastik sintetis pertama di dunia.

Selanjutnya pada tahun 1907 ditemukanlah Bakelite, oleh seorang peneliti yang bernama Leo Baekeland. Leo adalah seorang ahli kimia keturunan Belgia yang tinggal dan berkarya di Amerika.

Bakelite adalah plastik sintetis pertama yang benar-benar serbaguna dan tahan panas, menjadikannya sangat populer untuk berbagai aplikasi, termasuk peralatan listrik dan rumah tangga.

Hingga pada tahun 1930-an dikembangkanlah Polimer Sintetis, termasuk yang berumus bangun polistirena dan polietilena. Hal ini menandai awal dari produksi plastik secara massal.

Pada tahun 1950-an, plastik seperti polipropilena dan polivinil klorida (PVC) mulai diperkenalkan. Plastik jenis ini memberikan fleksibilitas lebih baik dan aplikasi yang lebih luas, termasuk dalam industri otomotif dan konstruksi.

Saat ini beberapa jenis plastik yang berasal dari proses sintesis sudah menjadi bagian yang nyaris tak terpisahkan dari berbagai aktivitas kehidupan kita, mulai dari kemasan makanan, sampai alat pembawa barang atau makanan yang kita kenal sebagai kantong keresek.

Adapun jenis-jenis plastik yang kini jamak dijumpai dalam penggunaan keseharian, antara lain adalah:

Polietilena (PE): digunakan antara lain untuk kantong plastik, botol, dan mainan. Terdiri dari berbagai jenis seperti HDPE (High-Density Polyethylene) dan LDPE (Low-Density Polyethylene).

Polipropilena (PP): banyak digunakan untuk wadah makanan, peralatan laboratorium, dan bagian/spare part otomotif.

Polivinil Klorida (PVC): banyak digunakan untuk pipa, insulasi kabel, dan produk konstruksi lainnya.

Polistirena (PS): yang digunakan untuk produk kemasan, peralatan makan sekali pakai, dan isolasi bangunan.

Lalu ada Polietilen Tereftalat (PET): yang digunakan untuk botol minuman, wadah makanan, dan serat tekstil.

Kemudian ada jenis Akrilonitril Butadiena Stirena (ABS), banyak digunakan untuk mainan seperti LEGO, peralatan rumah tangga, dan bagian otomotif.

Masih mengacu kepada data dari berbagai institusi yang berwenang dalam pengelolaan dan pengendalian limbah, baik di skala nasional maupun global, didapati pula fakta bahwa sampah atau limbah di Indonesia (secara umum, tidak spesifik hanya plastik), baru sekitar 7,5% saja yang dapat diolah dan memiliki nolak ekonomi.

Tapi tentu saja kondisi tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang yang dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari proses inovasi yang berkesinambungan bukan?

Belum lama cukup ramai diskursus di media sosial terkait keabsahan metoda pengolahan limbah plastik menjadi bahan bakar melalui mekanisme pirolisis. Ada skeptisisme akademik, khususnya pada hasil yang dikhawatirkan bersifat over rated, juga berbagai pertanyaan terkait teknis pelaksanaannya, berapa besar energi yang dikonsumsi dalam prosesnya? Masuk tidaknya skala ekonomi yang diusungnya? Dapatkah berlangsung dan diterapkan dalam skala yang bersifat massal? Dan seterusnya. Tentu itu semua sangat baik dan diharapkan dapat terus memantik pengembangan baik secara akademik yang dapat memberikan fondasi saintifik, maupun dari aspek ekonomi yang diharapkan dapat melahirkan lagi suatu lini produksi jasa lingkungan yang menarik bagi skema investasi yang biasanya membutuhkan proof of concept dari sistem dan kesiapan pasar untuk menerimanya.

Salah satu metoda yang sejak beberapa waktu lalu mulai menarik perhatian para peneliti pengolahan limbah dan energi terbarukan adalah teknik pirolisis.

Pirolisis adalah proses dekomposisi termal material organik tanpa kehadiran oksigen atau dengan jumlah oksigen yang sangat sedikit. Dalam konteks limbah plastik, pirolisis digunakan untuk mengubah plastik menjadi bahan bakar cair, gas, dan padatan.

Proses Pirolisis untuk mengelola limbah plastik agar dapat diubah menjadi bahan bakar sendiri secara ilmiah dapat dilakukan dengan tahapan bermetodologi sebagai berikut;

1. Pengumpulan dan Pemilahan: Plastik dikumpulkan dan dipilah berdasarkan jenisnya karena setiap jenis plastik memiliki sifat pirolisis yang berbeda.

2. Pembersihan dan Pencacahan: Plastik dibersihkan untuk menghilangkan kotoran dan bahan yang tidak diinginkan. Setelah itu, plastik dicacah menjadi ukuran yang lebih kecil untuk mempermudah proses pirolisis.

3. Pemanasan (Pyrolysis Reactor): Plastik yang telah dicacah dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis. Reaktor ini kemudian dipanaskan hingga suhu tertentu tanpa kehadiran oksigen.

Tentu ada persyaratan dan kualifikasi jenis plastik limbah yang dapat diproses melalui mekanisme pirolisis. Berikut adalah jenis-jenis plastik yang dapat diolah dengan pirolisis,

– Polyethylene (PE): Termasuk high-density polyethylene (HDPE) dan low-density polyethylene (LDPE).
– Polypropylene (PP): Plastik yang sering digunakan dalam kemasan makanan dan produk lainnya.
– Polystyrene (PS): Sering ditemukan dalam bentuk foam, seperti styrofoam.
– Polyethylene terephthalate (PET): Digunakan untuk botol minuman.
– Polyvinyl chloride (PVC): Meski dapat dipirolisis, PVC menghasilkan asam klorida yang korosif sehingga membutuhkan peralatan khusus.

Suhu yang dibutuhkan dalam proses pirolisis plastik untuk menghasilkan bahan bakar (terkait energi yang dikonsumsi selama proses pirolisis) ;
– LDPE, HDPE, PP: 300-500°C
– PS: 400-600°C
– PET: 500-600°C
– PVC: 300-600°C (dengan peralatan khusus untuk menangani HCl)

Dalam proses pirolisis plastik, reaksi kimia utama yang terjadi adalah pemutusan ikatan polimer menjadi molekul yang lebih kecil, seperti monomer, dimer, dan trimer. Reaksi-reaksi ini meliputi:

1. Depolimerisasi: Pemutusan rantai polimer menjadi molekul-molekul lebih kecil (C2H4)n.

2. Reaksi Radikal Bebas: Molekul plastik dipecah menjadi radikal bebas yang kemudian bereaksi lebih lanjut untuk membentuk produk akhir.

3. Reaksi Pembentukan Hidrogen: Beberapa plastik akan menghasilkan gas hidrogen sebagai salah satu produk.

Produk dari pirolisis plastik terdiri dari tiga fraksi utama:

1. Bahan Bakar Cair (Liquid Fuel): Seperti bensin, diesel, dan minyak tanah yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif. Cairan ini adalah campuran dari hidrokarbon dengan panjang rantai yang berbeda-beda (CnH{2n+2})

2. Gas Pirolisis (Pyrolysis Gas): Gas yang dihasilkan terdiri dari hidrokarbon ringan seperti metana, etana, propana, butana, dan hidrogen. (CH4, C2H6, C3H8, C4H10, H2)

3. Residu Padat (Solid Residue): Terutama berupa karbon padat atau char yang dapat digunakan sebagai bahan bakar padat atau untuk aplikasi lain seperti penjernihan air.

Dengan teknik yang semakin stabil dan adanya inovasi yang terus dilakukan dari berbagai riset laboratorium, diharapkan akan ada penyempurnaan yang berkesinambungan pada teknik dan metoda pengolahan limbah plastik. Hingga yang semula sifatnya adalah limbah, dapat diubah menjadi produk yang dapat menghasilkan banyak anugerah.

Tak luput tentunya edukasi yang berkelanjutan dan penguatan law enforcement dalam konteks pengelolaan sampah pribadi, rumah tangga, maupun industri, perlu terus dilaksanakan dengan konsisten. Kesadaran dalam menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan adalah tanggung jawab kita bersama bukan? 🙏🏾🙏🏾🇲🇨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts