Keracunan Kecubung dan Kebijakan Bertolak dari Data
Mendadak nama Sambang Lihum, suatu institusi pelayanan kesehatan jiwa di kecamatan Gambut kabupaten Banjar Kalimantan Selatan, viral di dunia maya.
Mengapa? Karena ada dugaan 47 pasien yang dikirimkan ke sana, dengan 2 kasus meninggal dunia, adalah para penyalahguna tanaman Kecubung. Meski dalam pernyataan resmi pihak kepolisian dari Polda Kalimantan Selatan, hal tersebut belum dapat dikonfirmasi disebabkan masih menunggu hasil uji substansi di laboratorium forensik Polda Jatim di Surabaya.
Padahal jika nama Kalimantan Selatan melintas di sistem indera, otak saya biasanya langsung menugaskan insula untuk mengorek-ngorek dan menggali kembali memori berupa kenangan lama tentang itik Alabio, ketupat Kandangan, lontong Orari, dan beraneka jenis masakan olahan ikan seperti Haruan, Baung, Toman, Tapah, Jelawat, Hampala, Patin, Sepat, sampai ikan endemik sungai Martapura, Seluang. Bukan Kecubung tentu saja.
Kecubung alias Datura spp adalah keluarga terong-terongan (Solanaceae) yang memang di beberapa bagian tanamannya mengandung unsur alkaloid tropane, yang terdiri dari atropin, scopolamin, dan hiosiamin yang bersifat anti kolinergik.
Teman-teman dokter dan farmasi hafal sekali dengan peran ketiga zat ini sebagai salah satu produk farmaseutikal yang kerap digunakan untuk mengatasi masalah kolik saluran cerna, atau spasme pada otot di berbagai organ visceral.
Tapi yang dirawat di Sambang Lihum sepertinya bukan pasien dengan gangguan saluran cerna seperti radang kronis pada usus besar ataupun dismenorea alias nyeri haid bukan?
Zat alkaloid tropane dalam tanaman kecubung punya efek halusinogenik dan efek terapeutik untuk mengatasi spasme dll karena punya mekanisme kerja serta titik tangkap reseptor yang mendorong terjadinya relaksasi atau pelemasan otot.
Alkaloid tropane seperti atropin, scopolamin, dan hiosiamin berperan sebagai antagonis kompetitif terhadap reseptor muskarinik asetilkolin di sistem syaraf pusat dan perifer. Ini berarti mereka dapat menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik, yang dapat mempengaruhi fungsi normal sistem syaraf otonom, khususnya parasimpatis.
Dalam konteks penyalahgunaan Kecubung sebagai substitusi narkoba dan zat terlarang lainnya, alkaloid tropane bertindak sebagai antagonis reseptor pro kolinergik. Alkaloid ini menghambat reseptor muskarinik di otak, khususnya di hipokampus, korteks, dan daerah lain yang terlibat dalam fungsi memori dan persepsi.
Akibatnya dapat terjadi gangguan kognitif yang disebabkan adanya gangguan dalam transmisi sinaptik, yang dapat menyebabkan kebingungan, kehilangan memori jangka pendek, delusi, dan halusinasi.
Selain efek halusinogenik, penyalahguna Kecubung juga dapat mengalami efek samping seperti pupil melebar, mulut kering, takikardia (jantung berdetak cepat), retensi urin, dan hipertermia.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa? Apakah para pengguna atau penyalahguna Kecubung ini kurang bahagia? Apa yang mereka cari dari berhalusinasi? Apakah kenyataan hidup atau realita telah membuat mereka begitu menderita, hingga erlu menciptakan semesta paralel yang tak menghadirkan duka dan perihnya luka?
Apa yang mereka ingin lupa? Kesakitan apa yang telah merajam mereka dalam kubang derita, hingga lelah jiwa tak mampu dibasuh lagi hanya dengan sekedar cerita.
Mengapa mereka ingin bersuka dengan cara menghapuskan ingatan akan kenyataan? Membenamkan diri dalam samudera ilusi yang tak bisa dihadirkan dalam kehidupan.
Bersamaan dengan menyimak liputan harian Kompas pagi ini tentang Sambang Lihum dan banjir pasien Kecubung, mata saya bersirobok dengan notifikasi e-mail dari Mas David, mitra kerja dari Bank Indonesia Institute yang mengingatkan adanya jadwal mengisi kelas IHT daring tentang data driven policy making in public sector, judul dan topik yang “gawat”.
Padanan kata data driven belum sempat saya cari dan temukan, bisa jadi diterjemahkan sebagai berbasis data, atau izinkan saya mengapresiasi tata berbahasa penuh logika dari Dekan saya semasa pendidikan dan bekerja di FK Undip, dr Anggoro DB Sachro, SpA(K), DTMH almarhum, beliu dengan cerdasnya telah menerjemahkan problem based learning menjadi belajar bertolak dari masalah.
Boleh jadi data driven policy making dapat diterjemahkan sebagai Perumusan Kebijakan Berbasis atau Bertolak dari Data bukan?
Bertolak dari Data soal penyalah gunaan Kecubung (jika benar dan telah terkonfirmasi secara saintifik), apa yang bisa dirumuskan dari aspek kebijakan publik? Khususnya di sektor-sektor terkait dengan kesejahteraan jiwa, kebahagiaan warga.
Karena tentunya peristiwa penyalahgunaan zat tertentu yang juga dapat bersifat adiktif (menimbulkan ketergantungan) dalam konteks Kecubung ini, bisa masuk dalam kategori klasifikasi ICD-10 CM F16, penyalahgunaan zat halusinogen tanpa komplikasi (hallucinogen abuse uncomplicated, F16. 1,2, dst nya), yang sudah menjadi concern pada ranah ilmu kesehatan jiwa.
AADM muncul dong. Ada Apa dengan Masyarakat ? Atau ya bisa tetap AADC sih, Ada Apa dengan Community ?
Benarkah data dapat membantu kita untuk mencari alternatif solusi yang paling optimal dalam mengatasi berbagai persoalan yang lahir sebagai konsekuensi interaksi sosial yang tentu saja beririsan dan sangat dipengaruhi oleh kebijakan publik bukan?
Tekanan atau stressor dan kondisi represif yang membuat orang perlu berhalusinasi memang bisa datang dari aspek personal (privat, genetik, herediter), lingkungan internal, sampai dengan kondisi ekosistem di skala lokal, nasional, dan global.
Adanya kegagalan mengelola sektor publik tentu punya kontribusi pada eskalasi tekanan kejiwaan pada warga bangsa atau masyarakat di suatu lokus yang terpapar efek langsung dan tidak langsung dari kebijakan tersebut.
Maka saya jadi teringat, ada sebuah infografik menarik di harian digital Kompas (edisi tahun 2023, waktu tepatnya saya tidak ingat). Diawali dengan sebuah pertanyaan klasik namun tetap unik, sebagai berikut: Dalam setahun ini, apakah anda merasa hidup anda sudah bahagia ?
Lalu jawabannya diharapkan terdispersi dalam rangkaian infografik yang berusaha memetik makna jurnalistik dari sederet tanya yang diajukan kepada sampel masyarakat desa dan kota.
Data dikumpulkan melalui pertanyaan yang diajukan melalui panggilan telepon oleh tim Litbang Kompas pada tanggal 8 sampai dengan 10 Maret 2023, dan total responden yang berasal dari 34 propinsi yang berhasil dihubungi dan diajukan pertanyaan adalah 502 orang.
Data yang didapatkan dari pengumpulan pendapat itu antara lain adalah; masyarakat kota yang dalam setahun terakhir merasa bahagia ada 85,4%, sedangkan masyarakat desa 63,6%. Masyarakat kota yang merasa kurang bahagia 13,8% dan masyarakat desa 30%. Masyarakat kota yang merasa tidak bahagia 0,8% dan masyarakat desa 6,4%.
Lalu pada pertanyaan tentang daya dukung kondisi kota terhadap tingkat kebahagiaan hidup, didapatkan data bahwa 74,5% responden menyatakan bahwa kondisi kotanya mendukung kebahagiaan hidup. Sementara 20,2% responden menyatakan kurang mendukung, dan 3,7% merasa tidak terdukung. Selebihnya menjawab tidak tahu (1,6%).
Adapun berbagai kondisi kota yang dianggap membuat tidak bahagia, antara lain adalah; pengelolaan sampah (12,5%), kemacetan (11,2%), akses ke pelayanan kesehatan dan pendidikan (6,8%), lingkungan hidup/ kualitas air dan udara (6,7%), kondisi ekonomi (5,4%), kriminalitas (2%), dan yang cukup menarik adalah sekitar 14,8% responden merasa kurang bahagia karena kondisi masyarakat yang kurang toleran. Tentu hasil ini harus diuji kesahihan metodologi samplingnya, mengingat sampel ideal semestinya dapat merepresentasikan berbagai karakter populasi penelitian secara berimbang dan memenuhi azas keterwakilan.
Membicarakan konsep bahagia, terutama yang berkorelasi dengan kondisi habitat atau ekosistem memang sangat kompleks. Ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya. Misal dari data di atas, ada hasil yang tentu masih perlu dielaborasi melalui rangkaian pertanyaan lanjutan yang bisa lebih menjelaskan, mengapa masyarakat desa yang merasa kurang bahagia prosentasenya lebih besar daripada masyarakat kota ? Apakah ini terkait dengan akses terhadap layanan publik ? Ketersediaan sarana dan prasarana penunjang kehidupan ? Peluang ekonomi ? Atau lebih menyasar kepada aspek psikologis yang berkelindan dengan pergeseran ekspektasi tentang indikator kebahagiaan ?
Mungkin saja derasnya arus informasi melalui cakupan layanan operator telekomunikasi dan semakin terjangkaunya gawai seluler membuat pajanan berbagai informasi terkait gaya hidup mendorong terjadinya pergeseran orientasi, ekspektasi, dan pada gilirannya tingkat kepuasan terhadap kondisi hidup.
Berdasarkan hasil survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia mencapai 215,63 juta orang pada periode 2022-202, sementara data dari laporan We Are Social menunjukkan, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang per Januari 2023. Dimana jumlah tersebut setara dengan 60,4% dari populasi penduduk negeri. Sedangkan pengguna gawai seluler atau handphone di Indonesia pada tahun 2022 adalah 192,15 juta orang. Jumlah yang cukup luar biasa bukan ?
Jumlah penduduk Indonesia sendiri dari data sensus tahun 2021 adalah 273,8 juta orang. Dimana 49,7 persen penduduk Indonesia adalah perempuan, sedangkan 50,3 persen penduduk adalah laki-laki. Pada awal tahun 2022, 57,9 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan, sementara 42,1 persen tinggal di pedesaan.
Maka dari 42,1% total penduduk desa inilah yang dari hasil survey di atas 30% nya merasa kurang bahagia. Padahal selama ini banyak orang (kota) mengasumsikan bahwa tinggal di desa adalah salah satu cara untuk mencapai rasa bahagia.
Lingkungan yang asri dan tenang, masyarakat yang santun dan ramah, ketersediaan bahan pangan yang terjangkau dengan harga murah, antara lain menjadi faktor yang kerap dikaitkan dengan kondisi hidup di desa. Tetapi mungkin sebaliknya, secara asumtif penduduk di pedesaan mendambakan adanya akses terhadap layanan pendidikan yang berkualitas sebagaimana terdapat di perkotaan, juga layanan kesehatan bermutu yang mungkin juga baru tersedia di kota-kota terdekat. Dan untuk mendapatkan akses ke sana dibutuhkan daya beli yang berhubungan dengan kondisi ekonomi.
Sebagai gambaran, layanan kesehatan primer yang berada di pedesaan dan menjadi garda depan sistem pelayanan kesehatan berjenjang adalah Puskesmas. Dimana dari laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI tercatat, jumlah puskesmas di Indonesia mencapai 10.292 unit pada 2021. Jumlah itu terdiri dari dari 4.201 puskesmas rawat inap dan 6.091 puskesmas non-rawat inap. Sementara rujukan tingkat berikutnya adalah rumah sakit daerah dengan berbagai tipe dan jenjang rujukan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah rumah sakit (RS) di Indonesia ada sebanyak 3.112 unit per 2021. Angka tersebut naik 5,17% dari tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 2.959 unit. Jumlah tersebut terdiri dari RS umum dan RS khusus. Secara rinci, Indonesia memiliki 2.514 RS umum dan 598 unit RS khusus.
Dari data tersebut tentulah masih perlu kita elaborasi terkait sebaran dan rasio layanan terhadap agregasi penduduk di suatu wilayah. Karena hal tersebut akan menentukan tingkat kemudahan aksesibilitas dan kekuatan cakupan layanan. Juga perlu kita kaji lebih mendalam terkait sumber daya, baik manusia maupun alat dan logistik pendukungnya.
Menurut data Kementerian Kesehatan yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah dokter di Indonesia mencapai 176.110 orang pada 2022. Jumlah tersebut merupakan gabungan dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis.
Berdasarkan laporan Profil Kesehatan Indonesia 2021 yang dirilis Kementerian Kesehatan, terdapat 43.173 dokter spesialis di seluruh Indonesia per tahun 2022. Sebagian besar berada di Provinsi DKI Jakarta, yakni sebanyak 7.592 orang atau sekitar 18 persen dari angka nasional.
Dari data tersebut dapat kita lihat bahwa sebaran dokter spesialis masih terkonsentrasi di kota-kota besar yang memang tak dapat dipungkiri memiliki konsentrasi demografi tinggi dan pusat layanan kesehatan rujukan pun dibangun berdasar pendekatan itu. Tentu perlu direncanakan dengan baik program redistribusi sumber daya secara holistik. Termasuk penyiapan sarana dan prasarana pendukung yang dibutuhkan dalam praktik kedokteran spesialistik. Juga remunerasi dan sistem pembiayaan kesehatan yang berkeadilan hingga tercipta keselarasan antara kebutuhan masyarakat dan tercapainya kesejahteraan semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Perlu dipertimbangkan juga unit cost yang tinggi dalam proses mencetak sumber daya terampil dengan kualitas berstandar global, hingga perlu ada perumusan ulang sistem pendidikan dokter dan tenaga kesehatan yang bisa saja merupakan bagian dari obligasi pemerintah dengan sistem beasiswa serta investasi sarana dan prasarana pendidikan yang terintegrasi, mulai dari pendidikan dasar kedokteran sampai sarana belajar kepaniteraan di rumah sakit pendidikan. Teaching based hospital yang wacananya saat ini sudah mulai digaungkan, perlu lebih dimatangkan dan konsep terkait diekstraksi hingga menjadi panduan peserta pedoman akademik yang lebih membumi.
Penerapan teknologi seperti AI diharapkan juga dapat membantu berbagai proses dalam mata rantai pelayanan kesehatan. Mulai dari ranah pendidikan sampai di tingkat pelayanan seperti pada berbagai pendekatan tele (telemedisin, teleradiologi, telelaboratorium, telediagnostik, dll).
Di sisi lain perlu dipertimbangkan juga bahwa tingkat kebahagiaan masyarakat terkait erat dengan akses terhadap layanan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Dari hasil survey Kompas yang menjadi rujukan, 6,8% penduduk desa dan kota menisbatkan ketidak bahagiaannya pada akses ke layanan kesehatan dan pendidikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah sekolah di Indonesia mencapai 217.283 sekolah pada tahun ajaran 2020/2021. Jumlah itu terdiri dari 148.743 Sekolah Dasar (SD), 40.597 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 13.865 Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 14.078 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sedangkan jumlah perguruan tinggi di Indonesia per 2022 adalah 3107, dengan rincian 2982 unit perguruan tinggi dikelola oleh institusi swasta dan 125 unit perguruan tinggi negeri yang dikelola pemerintah. 1477 perguruan tinggi berada di Jawa, 768 PT ada di Sumatera, 365 PT ada di Sulawesi, 187 PT ada di Kalimantan, 180 PT ada di wilayah Bali dan Nusa Tenggara, serta 130 PT ada di Maluku dan Papua.
Sebaran perguruan tinggi yang terkonsentrasi di Jawa dapat dilihat pada keberadaan 388 PT di Jawa Barat. Kondisi ini juga amat dimungkinkan karena perguruan tinggi dikembangkan sejalan dengan konsentrasi demografis di wilayah tertentu. Sehingga dapat diasumsikan perguruan tinggi sebagaimana berbagai fasilitas pelayanan publik terbaik lainnya dibangun di wilayah padat penduduk, dan itu akan menjadi magnet yang terus menerus mempengaruhi pola migrasi, dalam hal ini urbanisasi ke pusat-pusat peradaban yang terkonsentrasi hanya di beberapa kota besar negeri ini.
Konsentrasi masyarakat urban ini tentu menimbulkan dampak lingkungan berupa degradasi daya dukung dan meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021 mencatat volume sampah di Indonesia yang terdiri dari 154 Kabupaten/kota se-Indonesia mencapai 18,2 juta ton/tahun. Sampah yang terkelola dengan baik hanya sebanyak 13,2 juta ton/tahun atau 72,95%.
Sementara laju konversi lahan yang mendukung terjadinya degradasi daya dukung lingkungan tercatat cukup tinggi. Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 1.080.000 hektar pertahun, yang antara lain disumbang oleh deforestasi yang dilakukan oleh sektor pertambangan.
Semakin berkurangnya daya dukung lingkungan yang ditandai dengan alih guna lahan dan pelanggaran peruntukan wilayah sebagaimana yang terjadi di daerah aliran sungai Citarum, dimana lebih dari 25 ribu hektar daerah resapan air (catchment area) telah berubah fungsi, berpotensi menimbulkan bencana alam yang tentu saja dapat menggerus tingkat kebahagiaan penduduk. Terlebih jika masalah limbah terintegrasi di dalamnya. Kualitas air dan udara akan mengalami penurunan secara signifikan, dan pada gilirannya tak hanya faktor kenyamanan saja yang dapat terpengaruh, melainkan juga derajat kesehatan dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Di sisi lain tingkat kebahagiaan juga turut ditentukan oleh kenyamanan hidup yang antara lain dipengaruhi oleh kualitas infrastruktur publik. Sarana dan prasarana transportasi misalnya, selain memiliki arti strategis dalam konteks ekonomi, juga memberikan kepastian dan rasa aman serta nyaman kepada pengguna jasa menjadi aspek psikososial penting yang berhubungan dengan tingkat kebahagiaan masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah panjang jalan di Indonesia mencapai 548.423 kilometer (km) pada 2021. Jumlah tersebut mengalami pertumbuhan 0,32% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sepanjang 548.423 km.
Sedangkan angkutan rel yang meski masih terkonsentrasi di pulau Jawa dan Sumatera, telah menunjukkan progres yang signifikan. Jalur kereta api pertama di Sulawesi telah mulai dapat dioperasikan, menyusul di Kalimantan. Diproyeksikan pada tahun 2024 Indonesia akan memiliki panjang rel aktif 7451 km. Pada tahun 2020 telah dilakukan pembangunan jalur rel kereta api baru sepanjang 1129,83 km. Jumlah itu naik 10,16% dari tahun sebelumnya 2019 yang panjangnya 1025,61 km.
Di sektor perhubungan udara saat ini tercatat di seluruh Indonesia, terdapat 340 bandara, dimana 32 di antaranya berstatus bandara internasional, sedangkan yang lainnya adalah bandara kelas I, Kelas III, dan Satuan Kerja.
Sebagai negara maritim yang terdiri dari banyak kepulauan tentulah sektor angkutan laut memegang peran yang amat strategis. Berdasar catatan Kementerian Perhubungan, jumlah pelabuhan di Indonesia untuk melayani berbagai pelayaran penumpang, barang, dan penyeberangan, ada sebanyak 2.439 pelabuhan pada 2020. Angka tersebut meningkat 38,6% dibandingkan tahun 2019 sebelumnya yang berjumlah 1.760 pelabuhan.
Maka perlu rencana strategis dengan target terukur untuk meningkatkan konektivitas multi moda agar proses redistribusi pusat peradaban dan kemasyarakatan dapat tercapai. Seiring sejalan dengan itu, peningkatan kualitas infrastruktur tampaknya tak bisa terlepas dari perlunya strategi khusus dalam upaya meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Pendekatan antropologi terpadu perlu dikedepankan dalam memetakan dinamika masyarakat Indonesia yang memiliki latar budaya yang amat heterogen. Menurut hasil sensus BPS yang sudah agak lawas diketahui bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa, termasuk sub suku bangsa, di seluruh Indonesia. Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek Dikti juga mencatat, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh provinsi. Dari jumlah tersebut, 326 bahasa daerah digunakan di Papua.
Dengan 17.508 pulau dan panjang garis pantai mencapai 81.290 km serta luas lautan berdasarkan hasil Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaica, yang mencapai 3.257.357 km², tentulah Indonesia memiliki potensi maritim luar biasa untuk membahagiakan warganya.
Karena laut memiliki potensi sebagai pemasok sumber daya protein melalui asupan nutrisi, selain menghasilkan devisa melalui berbagai komoditasnya, juga penentu iklim dan sumber energi.
Menurut rilis dari Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, potensi ikan tangkap di Indonesia mencapai 12,01 juta ton berdasarkan kajian estimasi potensi Sumber Daya Ikan (SDI) per 2021. Sedangkan potensi lestari sumber daya ikan Indonesia sebesar 12,54 juta ton per tahun dengan nilai ekonomi mencapai USD20 miliar/tahun. Dari jumlah tersebut, menurut ketentuan internasional yang boleh dimanfaatkan sekitar 10 juta ton per tahun, atau 80% dari seluruh potensi lestari.
Jika digabungkan dengan potensi perikanan budidaya baik air asin, payau, ataupun tawar, maka Indonesia tentulah dapat menjadi negara adidaya produk maritim. Semoga pengelolaan dan pengolahan sumber daya laut kita dapat dioptimalkan secara bijak bestari.
Mengacu kepada berbagai data dan informasi yang tersaji di atas, maka perlu dilakukan suatu kajian dan penelitian secara lebih mendalam terkait faktor-faktor apa sajakah yang secara signifikan dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun perdesaan. Tentu setiap elemen atau faktor penentu tingkat kebahagiaan tersebut memiliki bobot dan signifikansi peran yang berbeda-beda, maka untuk itu diperlukan berbagai pendekatan berbasis model simulasi ataupun juga penerapan kecerdasan artifisial untuk membantu proses pengolahan mahadata yang tersedia dan melihat hubungan korelasi kausalistik dari setiap komponennya, termasuk nilai kontributif dari setiap elemen yang terlibat di dalamnya. Pendekatan statistik dengan model stokastik dan regresi dapat membantu memetakan bobot dan peran dari berbagai elemen yang turut menentukan tingkat kebahagiaan masyarakat di berbagai lokus atau habitat uniknya. Semoga dengan adanya hasil kajian tersebut, kita dapat menyusun strategi pembangunan nasional yang bersifat saintifik, sekaligus bersifat humanistik yang memberi ruang bagi tumbuhnya budaya dan kearifan lokal di dalamnya.
Lalu pertanyaan pamungkasnya, apakah jika semua data yang telah dipaparkan di atas itu sudah berhasil diolah, dianalisis, dan digunakan untuk merumuskan kebijakan di sektor publik yang dianggap lebih tepat sasaran dan akomodatif terhadap aspirasi akar rumput yang merupakan konstituen dominan, tak akan ada lagi keracunan Kecubung?
Jawabannya mungkin ada di lenggok gemulai rumput yang bergoyang.