Bediding, Kopi Pit, dan 1 Suro
Pagi ini sepulang dari perjalanan singkat ke Jogja, perjalanan yang dipercepat karena anak wedhok mendadak sakit di perjalanan kereta api menuju Surabaya, dan mendapat pertolongan dari teman-teman KAI di Tasikmalaya untuk segera memperoleh penanganan pertama di fasilitas kesehatan terdekat stasiun kereta, saya sudah bisa leyeh-leyeh tenang di teras rumah gunung, karena kondisi sudah aman terkendali. Alhamdulillah.
Apresiasi teramat tinggi kepada teman-teman PKD stasiun Tasikmalaya sampai Pak Wakil Kepala Stasiunnya yang tengah malam bersedia direpotkan untuk membantu dan memberikan pertolongan pada anak saya tercinta. Hal itu tentu saja karena jasa besar Bapak Yudha, junior manager keamanan BO 6 Yogyakarta yang ketika saya hubungi, langsung sigap mengontak relasi beliau di Tasikmalaya.
Juga tentu atas bantuan teman-teman dari lembaga pelatihan Duta Transformasi Insani yang meminjamkan mobil beserta pengemudinya untuk segera dapat menjemput si Mbak agar mendapat penanganan lanjut di kota tempat kami tinggal.
Tinggallah pagi ini saya merenung dan mengendapkan data dari berbagai peristiwa yang terjadi di beberapa hari belakangan ini, termasuk juga bahwa saat ini kita tengah memasuki fase tahun baru dalam perhitungan penanggalan Qomariah yang biasa disebut sebagai tahun Hijriah.
Bagi masyarakat Jawa, tahun baru Hijriah ini punya banyak makna secara budaya, karena bersifat sakral dan punya kedalaman nilai esoterik yang bersifat spiritual. Bagian dari olah laku dan rasa yang bermuara pada konstruksi tata nilai dalam memaknai berbagai fenomena dalam kehidupan.
Maka sambil membalas WA dari sahabat lama, musisi keroncong tua bernama Eyang Galih Sutresna yang berterimakasih untuk kiriman kopi tubruk merek Pit Onthel lengkap dengan gendhis kambil Kulon Progo dan rokok klobot Kutoarjo yang saya bawa dari Jogja, pikiran saya bersirobok dengan data dan fakta tentang kearifan Nusantara yang sejak lama memang telah dikenal sebagai bangsa yang waskita.
Fenomena alam dan kita, serta keselarasan antar elemen di dalamnya adalah keniscayaan yang bahkan dapat dipelajari lewat ilmu sains dasar seperti fisika dan biologi. Bukan sekedar ilmu gothak-gathuk yang bersifat cocokologi loh ya.
Apalagi semalam sampai pagi saya tidur terus dikekepi istri yang kadang tidak menyadari bahwa anugerah tubuh bohay nya itu sering membuat tidur saya sulit berkonsentrasi, dengan alasan suhu udara dingin sekali. Bediding atau Mediding istilah Jawanya.
Saya jadi teringat tentang pembacaan tanda-tanda alam dalam konsep pranata mangsa yang lazim dipelajari dan dipraktikkan oleh para petani Nusantara semenjak jaman dahulu kala.
Nah ini juga ternyata terkait dengan konsep penanggalan dan pengamatan terhadap berbagai fenomena astrofisika yang kemudian melahirkan beberapa tradisi berupa kearifan lokal yang pada gilirannya juga menjadi bagian terintegrasi dari peringatan dan perayaan tahun baru Islam, atau yang di Jawa Tengah dan Timur dikenal sebagai peristiwa 1 Suro.
Yang amat menarik dari sistem kalender atau penanggalan baik Qomariah (termasuk penaggalan Jawa yang dimutakhirkan sejak era Sultan Agung) yang berorientasi pada pengamatan pergerakan (revolusi) bulan dan Masehi yang mengacu pada revolusi bumi pada matahari, atau saat ini tepatnya pada interaksi inter gravity, adalah munculnya karakteristik alam yang manifest dalam berbagai aspek karakteristik elemen semesta, termasuk manusia yang berada dalam Samudera Planc scale yang sama dengan segenap denyut pulsatif semesta.
Untuk itu kalender dan berbagai metoda perhitungan seperti Feng Shui dari tradisi Tiongkok kuno, ataupun perhitungan weton Jawa senantiasa merujuk pada perulangan waktu dengan relasi antara fenomena alam dengan kondisi kasunyatan biopsikologis manusia.
Weton manusia adalah gabungan dari tujuh hari dalam seminggu (Senin, Selasa, dll.) dengan lima hari pasaran Jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Perputaran ini berulang setiap 35 (7 x 5) hari, sehingga menurut perhitungan Jawa, hari lahir manusia akan berulang setiap lima minggu, dan setiap hari kelahiran memiliki pengaruh masing-masing dalam menentukan sifat dan karakternya.
Hari pasaran, terdiri dari lima hari dengan urutan nama: Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage. Lima hari tersebut dinamakan pasaran, karena masing-masing nama itu sejak jaman pra Medang digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang, sehingga pada hari yang ditentukan, untuk suatu pasar akan banyak kunjungan pedagang menjual dagangannya, dan banyak dikunjungi orang yang berbelanja. Kalau mengungkap dari leluhur jaman dahulu, nama lima hari tersebut sebenarnya diambil atau berasal dari nama lima roh. Nama-nama roh tersebut adalah Batara Legi, Batara Pahing, Batara Pon, Batara Wage,& Batara Kliwon.
Elemen dan unsur jiwa manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan leluhur orang Jawa sejak zaman purba sampai sekarang. Berhubung lima hari pasaran itu pada hakikatnya mengambil dari nama jiwa manusia yang disebut Sedulur Papat Lima Pancer, dari itu dalam kalangan masyarakat Jawa sampai sekarang ini terdapat naluri menggunakan nama lima pasaran tersebut untuk dijadikan pin point bagi perangai biopsikologis seseorang menurut hari pasaran kelahirannya.
Sedulur papat lima pancer sebagai arah, yaitu: Lor, Kidul, Kulon, Wetan, serta Pancer (Tengah), dimana Tengah adalah pusat kosmis (semesta) manusia. Arah kiblat ini juga terkait dengan perjalanan hidup manusia, yang hidupnya selalu ditemani juga oleh sedulur papat lima pancer. Sedulur papat, yaitu: Kawah, Getih, Puser, dan Adhi Ari-ari. Sedangkan pancer adalah Ego, atau manusia itu sendiri. Letak sedulur papat ini sejalan dengan arah kiblat manusia Jawa juga. Kawah berwarna putih, berada di sebelah Timur (Wetan, Witan) ini yang mengawali kelahiran, dia pembuka jalan. Getih, berwarna merah di sebelah Selatan, Puser berwarna hitam di sebelah Barat, dan Adhi Ari-ari berwarna kuning berada di arah Utara.
Sedangkan yang di tengah adalah Pancer, yaitu Mar atau Marti yang keluar lewat Margahina, secara lahiriah.
Demikianlah adanya keteraturan relasional dalam hubungan antar fenomena itu sebenarnya punya asumsi yang dapat bersifat rasional, karena sudah ada pula matematika astrobiologi Nusantara/Jawa yang dapat membantu memperhitungkan posisi kita sebagaimana dalam BCG Matrix atau yang lebih dikenal sebagai SWOT Matrix, dan panduan yang terbaik untuk menjalaninya secara saintifik.
Menghitung weton bisa dilakukan dengan menjumlahkan nilai hari dan pasaran. Misalnya, untuk hari Selasa Kliwon maka tinggal menjumlahkan neptu hari dan pasaran masing-masing. Selasa nilainya 3, sedangkan Kliwon nilainya 8, sehingga 3 + 8 = 11. Maka neptu weton Selasa Kliwon adalah 11. Jumlah neptu yang didapat bisa digunakan sebagai patokan untuk mengetahui watak seseorang, prediksi pengambilan keputusan, atau kecocokan dengan berbagai kondisi semesta yang saat itu tengah bekerja.
Secara simplifikasi orang hanya menisbatkannya sebagai upaya non saintifik yang irasional seperti dalam menentukan hari baik, dll yang dianggap kepercayaan yang tidak didasarkan pada bukti akademik.
Padahal hari ini, konsep epigenetik, nutrigenomik, sampai neuroplastisitas kan menilai serta menguji relasi antara entitas biologis yang bernama manusia dengan segenap elemennya dengan berbagai dinamika fenomena alam bukan?
Sebenarnya dalam kajian astrofisika, relasi antara elemen semesta itu sudah banyak mendapat perhatian sejak awal manusia mendekati alam dengan berbagai pendekatan mekanika. Jadi konsep “baik” atau “tidak baik” itu harus dipandang dalam konteks frame of reference. Dimana kompatibilitas berbagai unsur dalam suatu konfigurasi kondisi dapat berada dalam level orkestrasi dan harmonisasi yang optimal atau mendekati ideal, atau secara prasyarat tidak memenuhi batas minimal untuk menghasilkan keluaran sebagaimana yang diharapkan. Matematis sekali bukan?
Frame of Reference/ FoR sendiri adalah konsep fundamental dalam fisika yang merujuk pada sistem koordinat yang digunakan untuk mengukur posisi, kecepatan, dan percepatan benda. Pilihan FoR sangat penting dalam menentukan bagaimana kita mendeskripsikan dan memahami gerakan relatif suatu elemen atau posisi unsur dalam konstelasi inter relasi.
Ada Inertial Frame of Reference di mana hukum gerak Newton berlaku tanpa modifikasi. Dalam bingkai acuan inersia, benda yang tidak mengalami gaya eksternal akan tetap bergerak lurus dengan kecepatan konstan atau tetap diam.
Contohnya sebuah mobil yang bergerak dengan kecepatan konstan di jalan datar bisa dianggap sebagai FoR inersia.
Lalu ada Non-inertial Frame of Reference di mana hukum gerak Newton tidak berlaku tanpa modifikasi, biasanya karena adanya percepatan. Dalam bingkai acuan non-inersia, perlu diperkenalkan gaya fiktif (misalnya gaya Coriolis, gaya sentrifugal) untuk menjelaskan gerakan benda.
Contohnya adalah sebuah mobil yang sedang berakselerasi atau bergerak melingkar tidak dapat dianggap sebagai bingkai acuan inersia.
Sedangkan menurut teori relativitas umum, tidak ada FoR yang absolut; semua gerakan bersifat relatif. Pilihan FoR tergantung pada pengamatan dan analisis yang ingin dilakukan. Dalam FoR geosentris, Bumi dianggap sebagai pusat, dan benda langit lainnya bergerak mengelilinginya. Model ini digunakan dalam astronomi kuno.
Sedangkan dalam FoR heliosentris, matahari lah yang dianggap sebagai pusat, dan planet-planet termasuk bumi bergerak mengelilinginya. Model ini lebih akurat dan digunakan dalam fisika dan astronomi modern.
Untuk berpindah dari FoR satu ke yang lain, digunakan transformasi koordinat. Misalnya, dalam fisika klasik, digunakan transformasi Galilei, sementara dalam relativitas khusus, digunakan transformasi Lorentz.
Transformasi Galilei (Galilean Transformation) biasanya digunakan untuk berpindah antara 2 FoR inersia yang bergerak dengan kecepatan konstan relatif terhadap satu sama lain.
Contohnya jika sebuah kereta bergerak dengan kecepatan konstan, posisi penumpang dalam kereta dapat dihitung dari 2 FoR berbeda (di dalam kereta dan di luar kereta).
Sedangkan Transformasi Lorentz (Lorentz Transformation) dapat digunakan dalam teori relativitas khusus untuk menghubungkan pengukuran ruang dan waktu antara dua FoR yang bergerak relatif satu sama lain dengan kecepatan tinggi (mendekati kecepatan cahaya).
Contohnya waktu yang diukur oleh dua pengamat yang bergerak relatif dengan kecepatan tinggi akan berbeda, yang dikenal sebagai dilatasi waktu.
Dalam konteks hubungan antar unsur dan elemen di semesta, manusia mengembangkan pendekatan yang kini dikenal sebagai pendekatan kosmologis.
Dimana istilah kosmologi sendiri pertama kali digunakan oleh Pythagoras (580-500 SM) dalam konteks menggambarkan keteraturan dan harmoni pergerakan benda-benda langit. Secara etimologi, istilah kosmologi berasal dari kata kosmos yang berarti dunia, aturan, atau alam, dan logos yang berarti rasio atau akal.
Keteraturan dan model relasi antar elemen ini tentu telah diinisiasi sejak awal proses terciptanya semesta yang kita yakini saat ini. Semesta yang dikonstruksi oleh meta persepsi berbasis pemahaman akan materi.
Diawali dari peristiwa yang dikenal sebagai Big Bang pada sekitar 13,8 milyar tahun lalu yang disertai masa kritikal pada 10-³² detik yang melahirkan elemen fundamental yang membentuk semesta saat ini.
Lalu kita mengenali jejak-jejak proses itu melalui teridentifikasinya, Cosmic Microwave Background (CMB), dimana sisa radiasi dari masa awal alam semesta yang masih dapat dideteksi, hadir dalam bentuk gelombang berfrekuensi dan bersuhu tertentu yang dapat diamati sebagai gelombang latar (Arno Penzias).
Kemudian ada juga Hukum Hubble, dimana observasi bahwa galaksi-galaksi bergerak menjauh satu sama lain, yang menunjukkan alam semesta mengembang adalah suatu keniscaan adanya energi yang mendorong semesta terus bergerak meluas. Sejalan dengan fenomena red shift yang diperkenalkan oleh Hubble.
Trisha Muro dalam sebuah artikel ilmiah populer yang diterbitkan di Science News Explore edisi 20 Oktober 2022, menggambarkan lini masa pasca Big Bang, sebagai berikut:
0 hingga 10-⁴³ detik (0,000000000000000000000000000000000000000000000001 detik) setelah Big Bang, periode paling awal ini dikenal sebagai Era Planck. Periode ini berlangsung dari saat Big Bang hingga sepersekian detik yang sangat kecil setelahnya. Pemahaman kita tentang hukum dasar energi dan materi belum dapat menjelaskan apa yang terjadi di sini. Para ilmuwan berteori tentang cara menjelaskan apa yang terjadi selama waktu ini. Untuk melakukannya, mereka harus menemukan hukum fisika untuk menyatukan gravitasi , relativitas , dan mekanika kuantum (perilaku materi pada skala atom atau partikel subatomik).
Periode yang sangat singkat ini berfungsi sebagai tonggak penting karena hanya setelah momen ini kita dapat menjelaskan evolusi alam semesta kita.
10-⁴³ hingga 10-³⅝ detik setelah Big Bang, dalam rentang waktu yang sangat singkat ini, yang dikenal sebagai Era Grand Unified Theory (GUT), perubahan besar terjadi. Peristiwa yang paling penting: Gravitasi menjadi gaya tersendiri, terpisah dari yang lainnya.
10-³⅝ hingga 10-³² detik setelah Big Bang, selama periode waktu yang singkat ini, yang dikenal sebagai Era Inflasi, gaya nuklir kuat terpisah dari dua gaya yang masih bersatu: elektromagnetik dan lemah. Para ilmuwan masih belum yakin bagaimana dan mengapa hal ini terjadi, tetapi mereka percaya hal itu memicu ekspansi yang intens atau inflasi alam semesta. Pengukuran ekspansi selama waktu ini sangat sulit dipahami. Tampaknya alam semesta tumbuh sekitar 100 juta miliar miliar kali.
Pada titik ini fenomena unik terjadi, di mana energi ada, tetapi cahaya seperti yang kita ketahui saat ini belum ada. Semesta gelap dan mampat. Itu karena cahaya adalah gelombang yang bergerak melalui ruang angkasa dan belum ada ruang terbuka semesta sebagai media.
Faktanya saat itu ruang angkasa penuh dengan fenomena berenergi tinggi sehingga materi belum dapat eksis. Terkadang para astronom menyebut alam semesta selama masa ini sebagai sup, karena sangat sulit untuk membayangkan betapa kental dan berenerginya alam semesta saat itu.
Hukum Hubble, juga dikenal sebagai Hukum Hubble-Lemaître, adalah salah satu hukum dalam astronomi yang menyatakan bahwa red shift dari cahaya yang datang dari galaksi yang jauh adalah sebanding dengan jaraknya.
Pertama kali dirumuskan oleh Edwin Hubble pada tahun 1929.
Jika red shift ini diasumsikan disebabkan oleh efek Doppler di mana galaksi menjauhi kita maka hal ini akan membawa kita pada suatu gambaran tentang alam semesta yang mengembang dan, dengan melakukan ekstrapolasi waktu ke belakang, kita sampai pada teori dentuman dahsyat atau Big Bang.
Hubble membandingkan jarak ke galaksi dekat dengan red shift pada galaksi itu, dan menemukan hubungan yang linear. Perkiraannya tentang suatu konstanta perbandingan ini dikenal dengan nama konstanta Hubble, dan saat ini dikenal sebagai parameter Hubble karena ternyata hal ini bukanlah sekadar konstanta, melainkan suatu parameter yang tergantung pada waktu yang menandakan perluasan alam semesta yang dipercepat.
Model Big Bang sendiri merupakan teori yang diterima luas mengenai pembentukan dan evolusi alam semesta. Menurut teori ini, alam semesta dimulai dari keadaan yang sangat panas dan padat sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu, kemudian mengalami ekspansi yang terus berlanjut hingga saat ini. Salah satu aspek penting dalam model ini adalah fase kosmologi inflasi, yang terjadi sekitar 10-³⅞ detik setelah Big Bang.
Hipotesis kosmologi inflasi mengusulkan bahwa alam semesta yang baru lahir mengalami ekspansi eksponensial yang sangat cepat, menghaluskan hampir semua ketidakteraturan. Ketidakteraturan yang tersisa disebabkan oleh fluktuasi kuantum dalam medan inflasi yang menyebabkan peristiwa inflasi ini. Fluktuasi kuantum ini menjadi benih pembentukan struktur besar seperti galaksi dan gugus galaksi yang kita lihat saat ini.
Jauh sebelum terbentuknya bintang dan planet, alam semesta awal jauh lebih kecil, lebih panas, dan mulai dari 10-6 detik setelah Big Bang, dipenuhi dengan plasma foton, elektron, dan barion yang berinteraksi. Saat alam semesta mengembang, pendinginan adiabatik menyebabkan penurunan kepadatan energi plasma hingga menjadi cukup dingin untuk memungkinkan elektron bergabung dengan proton, membentuk atom hidrogen. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai rekombinasi, terjadi sekitar 379.000 tahun setelah Big Bang pada suhu sekitar 3000 K.
Setelah rekombinasi, foton-foton yang sebelumnya berinteraksi dengan elektron dan proton mulai bergerak bebas melalui ruang angkasa, menyebabkan pemisahan materi dan radiasi. Foton-foton ini membentuk radiasi latar belakang gelombang mikro kosmik (CMB), yang merupakan cahaya pertama dari alam semesta yang masih dapat kita amati hingga sekarang.
Suhu warna dari foton CMB terus menurun seiring dengan ekspansi alam semesta dan saat ini berada pada suhu sekitar 2,726 K. Intensitas radiasi CMB sesuai dengan radiasi benda hitam pada suhu tersebut. Menurut model Big Bang, radiasi CMB yang kita ukur saat ini berasal dari permukaan hamburan terakhir, yaitu lokasi di ruang angkasa tempat peristiwa decoupling diperkirakan terjadi. Foton dari lokasi ini baru saja mencapai pengamat di Bumi, memberikan kita pandangan ke masa lalu alam semesta.
Dua bukti kesahihan teori Big Bang adalah prediksi spektrum benda hitam yang hampir sempurna dari CMB dan prediksi terperinci mengenai anisotropi dalam CMB.
Spektrum CMB telah menjadi spektrum benda hitam yang diukur paling tepat di alam, mendukung validitas model Big Bang dan kosmologi inflasi.
Dinamika konstelasi alam semesta dan keterkaitan antar elemen di dalamnya tentu memiliki hubungan kausatif korelasional yang terepresentasi di setiap elemen turunannya.
Pengamatan pada entitas biologis menunjukkan bahwa proses relasi yang terjadi dalam model adaptasi dan intervensi serta manipulasi masih menunjukkan hubungan sebab akibat yang terlahir dari konektivitas dari semasa pasca singularitas.
Salah satu metoda yang kini banyak dikedepankan di ranah biologi dan biologi molekuler adalah epigenetika. Dimana epigenetika adalah studi tentang perubahan ekspresi gen yang diwariskan yang tidak disebabkan oleh perubahan dalam urutan DNA itu sendiri.
Perubahan dalam konteks epigenetika dapat membuat gen diaktifkan atau dinonaktifkan, dan bagaimana informasi genetik diterjemahkan ke dalam protein dan fungsi biologis sesuai dengan kondisi dan pajanan atau paparan yang tengah dihadapi.
Mekanisme epigenetika sebagai bagian dari proses penyesuaian fungsi genom dengan dinamika faktor internal dan eksternal, antara lain dapat terjadi karena adanya beberapa sub mekanisme berikut,
Metilasi DNA, dimana penambahan gugus metil (CH3) ke basa sitosin dalam DNA, dapat menyebabkan penurunan ekspresi gen tertentu.
Modifikasi Histon, dimana histon adalah protein yang membantu dalam pengemasan DNA dalam kromosom. Modifikasi seperti asetilasi, metilasi, fosforilasi, dan ubikitinasi pada histon dapat mempengaruhi struktur kromatin dan regulasi gen.
RNA Non-coding, dimana molekul RNA yang tidak diterjemahkan/non coding menjadi protein, seperti microRNA dan lncRNA, dapat mengatur ekspresi gen melalui berbagai mekanisme khusus.
Berikut adalah beberapa teori pendukung yang relevan dengan konsep epigenetika yang kita kenal saat ini,
Teori Lamarckian, yang menyatakan bahwa organisme dapat mewariskan karakteristik yang diperoleh selama hidup mereka. Epigenetik menyediakan mekanisme molekuler untuk beberapa aspek dari teori ini, dengan perubahan epigenetik yang dapat diwariskan antar generasi.
Teori Dogma Sentral, dimana menurut teori ini, informasi genetik mengalir dari DNA ke RNA ke Protein. Epigenetik memperluas konsep ini dengan menunjukkan bahwa informasi tambahan dapat ditambahkan di atas urutan DNA yang dapat mempengaruhi aliran informasi genetik ini.
Berikut pendapat beberapa ahli terkait tentang definisi dan implementasi epigenetika dalam ranah ilmu biologi,
Conrad Waddington (1942), yang memperkenalkan istilah “epigenetik” untuk menggambarkan interaksi antara gen dan produk mereka yang membentuk fenotipe organisme.
Rudolf Jaenisch dan Adrian Bird yang menyatakan bahwa epigenetik adalah kunci untuk memahami diferensiasi sel selama perkembangan embrio.
Eric Richards (2006) yang menyatakan bahwa perubahan epigenetik dapat memainkan peran penting dalam adaptasi organisme terhadap lingkungannya tanpa perubahan dalam urutan DNA.
Contoh Studi Epigenetik, Studi Kembar Identik, yang menunjukkan bahwa meskipun kembar identik memiliki urutan DNA yang sama, mereka dapat memiliki pola metilasi DNA yang berbeda seiring bertambahnya usia, yang mengarah pada perbedaan fenotipe.
Lalu ada pula Studi Diet dan Epigenetik, dimana penelitian pada tikus menunjukkan bahwa pola makan ibu selama kehamilan dapat mempengaruhi pola metilasi DNA pada keturunannya, mempengaruhi risiko obesitas dan penyakit metabolik.
Kemudian saat ini berkembang Studi Etiologi Penyakit, dimana pendekatan epigenetika dapat berperan dalam menelusuri patofisiologi berbagai penyakit, termasuk kanker, di mana perubahan dalam ranah epigenetik dapat menyebabkan aktivasi gen onkogenik atau inaktivasi gen supresor tumor.
Khusus hubungan antara profil genotipe dan fungsi biologis yang dicerminkan melalui pendekatan fenotipik serta hubungannya dengan pengaruh lingkungan, berdasar lokus amatan sebagaimana di paragraf sebelumnya, perubahan secara epigenetika dapat terjadi antara lain karena mekanisme metilasi dan perubahan pada struktur histon.
Gaktor lingkungan seperti pola makan dan paparan bahan kimia dapat mempengaruhi pola metilasi DNA.Contohnya adalah kekurangan asam folat, vitamin B12, dan metionin dalam asupan sehari-hari yang dapat mempengaruhi metilasi DNA karena komponen ini penting dalam siklus metilasi.
Lingkungan juga dapat mempengaruhi enzim yang terlibat dalam modifikasi histon, seperti histon asetiltransferase (HAT) dan histon deasetilase (HDAC). Contohnya pada kondisi stres kronis yang dapat mengubah aktivitas HDAC, lalu berdampak pada ekspresi gen terkait dengan respons stres.
Faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi produksi dan fungsi RNA non-coding yang mengatur ekspresi gen. Contohnya adalah paparan racun/zat toksik dapat mengubah ekspresi microRNA yang kemudian mengatur gen yang terlibat dalam detoksifikasi.
Kondisi ini dapat terjadi antara lain karena organisme memiliki kemampuan untuk mengubah fenotipe mereka sebagai respons terhadap kondisi lingkungan.
Dimana mekanisme epigenetik menyediakan dasar molekuler untuk adaptasi fenotipik ini, hingga memungkinkan organisme untuk merespon dengan cepat terhadap perubahan lingkungan tanpa perubahan genetik.
Perubahan epigenetik yang dipicu oleh lingkungan juga dapat diwariskan ke generasi berikutnya.Contoh bisa dilihat pada hasil studi yang menunjukkan bahwa keturunan tikus yang terkena paparan racun tertentu menunjukkan pola metilasi DNA dan fenotipe yang berubah, meskipun mereka sendiri tidak terpapar racun tersebut.
Contoh lain adalah studi pada tikus yang diberi diet tinggi lemak selama kehamilan menunjukkan perubahan metilasi DNA pada keturunannya yang meningkatkan risiko obesitas dan penyakit metabolik. Kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan pola diet orangtua, dalam hal ini ibu, turut menentukan ekspresi genetik dari keturunannya.
Demikian pula pada anak-anak yang mengalami pajanan stressor tinggi selama masa kanak-kanak, ternyata menunjukkan perubahan epigenetika pada gen yang terlibat dalam regulasi respons stres, yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka di masa dewasa.
Ada pula studi tentang paparan polutan lingkungan seperti bisphenol A (BPA) yang dikaitkan dengan perubahan epigenetika yang dapat meningkatkan risiko kanker dan penyakit kronis lainnya. Artinya relasi antara model biologi dan kondisi ekologi memang terjadi seiring dengan dinamika yang meberikan berbagai faktor kontribusi bukan?
Dari uraian di atas yang agak random tersebut, setidaknya harapan saya, kita bersama dapat melihat secara jernih dan objektif adanya hubungan antar elemen di semesta yang semenjak awal memang berasal dari satu sumber yang sama.
Menarik untuk terus kita pelajari bukan? Bahwa ada kearifan dan nilai-nilai warisan yang selama ini mungkin hanya kita anggap sebagai bagian dari tradisi yang cukup dikonservasi aksi budayanya saja, ternyata mungkin memiliki makna-makna luhur yang sangat layak untuk terus kita pelajari dan dalami🙏🏾