Tauhid Nur Azhar

Ayo Belajar dan Bermain di Museum

Beberapa waktu terakhir ini ada hal-hal yang menggembirakan terkait dengan media edukasi publik yang maujud dalam berbagai model edutainment berbasis sejarah dan alam.

Bahkan ada juga inisiatif dari beberapa pihak untuk menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan banyak unsur masyarakat, seperti konser musik di situs-situs budaya. Salah satu contoh yang paling update, antara lain penyelenggaraan Prambanan Jazz 2024 di kawasan candi Prambanan, yang kemudian disusul oleh pementasan musik orkestra yang digagas 2 negara (Indonesia dan Australia) di tempat yang sama.

Di kota Solo ada suatu museum unik yang dikelola pihak swasta dan mengakomodir berbagai produk budaya dari berbagai asal dan aliran, namanya museum Tumurun. Museum pribadi yang dibangun oleh HM Lukminto, seorang pengusaha tekstil, di pusat kota Solo, dibuka untuk umum yang ingin mengapresiasi berbagai karya seni lintas generasi dan dimensi sebagai bagian dari pengembangan wawasan diri, khususnya dari aspek “rasa”, estetika, dan seni.

Sementara di DIY, di kota Yogyakarta tepatnya, ada tempat untuk mempelajari berbagai dokumen sejarah dan lini masa peristiwa yang disajikan dalam bentuk sedemikian mempesona. Tak hanya menampilkan display dokumen belaka, tapi tempat yang satu ini menyajikan data dan informasi melalui pendekatan berbasis teknologi. Penggunaan teknologi imersif, holografik, dan berbagai model multi media lainnya tersaji di sana. Nama lokasinya adalah Diorama Arsip Jogja.

Masih di kota yang sama terdapat pula museum Sonobudoyo yang juga telah dikembangkan sedemikian rupa, hingga tak hanya menampilkan alat peraga sebagaimana yang kita kenal saat kita masih remaja, tetapi sudah banyak pula mengadopsi berbagai perkembangan teknologi, khususnya di aspek multimedia.

Sepelemparan batu dari sana, di seberang jalan saja, tepatnya di dekat titik 0 Jogja, kini telah hadir pula the new Vredeburg museum yang juga tak kalah canggih dan menariknya.

Sementara di jalan paling melegenda yang tak sampai seratus meter dari situs museum eks benteng Belanda itu ada Hamzah Batik yang di lantai 3 nya terdapat ruang pementasan kabaret yang bergenre budaya populer (weekend), dan sendratari yang mengangkat keragaman khazanah khas Jawa di hari-hari kerja.

Begitu pula di Taman Budaya yang terletak tepat di sebelah benteng, dan pasar legendaris Beringharjo, hampir selalu ada event budaya, termasuk pasar kuliner nostalgia dan pertunjukan musik tradisi seperti keroncong dan karawitan yang seolah membawa kita kembali berpijak pada berbagai sendi kearifan lokal negeri sendiri.

Masih di kota yang sama, ada pula museum canggih di Kotagede yang berada dalam sebuah rumah Kalang milik pribadi di Tegal Gandu, dan berisi berbagai koleksi serta model interaktif untuk mempelajari sejarah dengan menyenangkan. Museum ini satu wilayah dengan kompleks masjid dan makam para pendiri kerajaan Mataram Islam, sehingga tentu saja banyak sekali peluang untuk sekaligus melakukan bapak tilas sejarah pada situs-situs yang memiliki beragam makna di balik setiap lembar sejarah yang terepresentasi dalam kehadirannya.

Banyak pula peristiwa budaya digelar di museum nasional Jogja, mulai dari yang fenomenal dan telah menjadi ritual tahunan para pekerja seni dalam ArtJog, sampai pameran-pameran para seniman, mulai dari perupa sampai para musisi penguntai nada kerap hadir di sini. Saya sendiri sempat menikmati pameran karya Faisal Kamandobat yang ciamik luar biasa, sesaat sebelum ArtJog terselenggara bulan berikutnya.

Jangan kita lupakan pula, sebagai suatu lokus budaya, di Solo, tepatnya di kawasan taman Sriwedari, panggung pentas wayang orang selalu hadir di setiap malamnya. Regenerasi pemain wayang ke generasi milenial dan Z mulai terjadi, seiring dengan pembenahan organisasi dan manajemen panggung.

Teknologi multimedia dan media sosial mulai digunakan. Penyesuaian lakon dan cerita terus dilakukan. Walhasil wayang orang Sriwedari bisa eksis dan mungkin akan menjadi salah satu ikon pariwisata berbasis budaya, sebagaimana pentas-pentas musikal di Broadway NY telah ratusan tahun menjadi daya pikat bagi kota yang berjuluk Big Apple itu.

Termasuk saya yang begitu kepincut untuk menonton Lion King ataupun berbagai judul klasik lainnya yang telah dimainkan puluhan tahun seperti Moulin Rouge, Wicked, atau Aladin.

Masih di sekitar Solo Raya, ada sebuah museum dan galeri pamer yang berbasis sejarah arkeologi dan paleontologi, yaitu Sangiran. Di sana kita dapat mempelajari temuan fosil dan berbagai fakta geologi yang menjadi area Sangiran menjadi istimewa untuk mempelajari berbagai fakta kepurbakalaan.

Diinisiasi oleh GHR Von Koenigswald , seorang paleoantropolog asal Jerman yang bekerja untuk pemerintah Belanda di periode tahun 30-an, dibangunlah pusat koleksi fosil di Sangiran. Berawal dari koleksi fosil Homo erectus yang beliau temukan, kini kita dapat mempelajari banyak temuan terkait lainnya di sana.

Berbicara sejarah geologi dan kepurbakalaan, di kawasan Jawa bagian tengah kita dapat melihat dan mempelajari pula fenomena mud volcano di Bledug Kuwu, ataupun formasi batuan dan geomorfologi gunung api purba di daerah Nglanggeran.

Bagi peminat serius ilmu kebumian atau geologi, Situs Karangsambung dengan kawasan Luk Ulo nya adalah area geologis unik denganberbagai formasi batuan, termasuk formasi Melange yang terdapat di daerah yang diduga adalah lapis benua yang naik dari dasar samudera, sebagai bagian dari proses evolusi geologi pulau Jawa.

Inisiatif masyarakat dalam melestarikan berbagai artefak sejarah juga dapat dilihat di daerah kecamatan Bumiayu. Ada sebuah museum pribadi yang dinamai museum purbakala Bumiayu, dikembangkan oleh Haji Rafli Rizal untuk mengonservasi temuan para pegiat kepurbakalaan lokal.

Koleksinya cukup beragam, ada fosil Gajah Purba Sinomastodon bumijuensis, Stegodon dan Elephas. Kemudian fosil Harimau, Kuda Sungai, Kerbau, Rusa, Pongo, Buaya Muara dan Buaya Sungai. Juga fosil-fosil moluska dan spesies lautan lainnya.

Di kawasan ini juga BRIN tengah mengembangkan situs penelitian arkeologi, dikarenakan adanya temuan fosil manusia purba oleh Prof Hary Widianto yang diduga telah berusia 1,8 juta tahun. Lebih tua dari manusia purba (Phitecantropus erectus) di Sangiran, Wajak, dan Trinil yang terlebih dahulu ditemukan Dubois, Koenigswald, dan Ter Haar.

Di kota tempat saya tinggal sendiri, Bandung, ada beberapa museum yang telah direvitalisasi dan dapat menjadi destinasi wisata edukasi yang menarik. Terkait sejarah alam dan sejarah peradaban, setidaknya ada dua museum utama yang dapat dijadikan bucket list, yaitu: museum Sri Baduga dan tentu saja museum terkenal yang telah menjadi tujuan banyak karyawisata dari berbagai sekolah yang berasal daur berbagai penjuru Indonesia: museum Geologi

Pendirian Museum Geologi merupakan inisiatif dari Dienst van den Mijnbouw atau Dinas Pertambangan pada masa Hindia Belanda. Dimana saat itu, dinas tersebut menginginkan ada satu tempat yang digunakan untuk menyimpan hasil penyelidikan tambang yang dilakukan.

Pada 23 April 1927, dimulailah pembangunan gedung museum yang diarsiteki oleh Ir Menalda van Schouwenburg. Pada perkembangannya, nuseum tersebut juga menampung banyak koleksi fosil dan artefak-artefak paleoantropologis seperti fosil manusia purba dll.

Sementara di Museum Sri Baduga kita antara lain dapat mengenal dan mempelajari berbagai wawasan terkait sejarah dan budaya Sunda. Termasuk tokoh yang dijadikan nama museum itu.

Sunda dan Jawa Barat banyak dikaitkan dengan era kejayaan raja yang dikenal sebagai Prabu atau Prebu Siliwangi, bahkan nama dan lambang satuan daerah/teritorial militer TNI AD di Jawa Barat dan Banten dinamai Siliwangi dengan harimau sebagai lambangnya.

Prabu Siliwangi adalah tokoh legendaris yang amat populer di masyarakat Sunda, dan Jawa Barat pada umumnya. Sosok yang populer di kisah legenda rakyat itu diduga adalah Sri Baduga Maharaja (1482-1521). Tapi banyak sejarawan juga berpendapat bahwa gelar Prebu Silihwangi itu adalah gelar kehormatan dari Prabu Niskala Wastukencana yang berkuasa selama 104 tahun dari 1371-1475.

Atau ada juga versi Prabu Jayadewata atau yang bergelar Ratu Purana Prebu Guru Dewataprana, anak Prabu Anggalarang yang diguna-guna dengan ilmu hitam sehingga hilang ingatan dan berkeliling tanah Jawa dengan kondisi linglung.

Pangeran Jayadewata inilah yang terkenal pula sebagai Raden Pamanah Rasa karena kegantengannya. Kondisi sakit ingatan beliau akhirnya disembuhkan oleh Ki Gedeng Sindangkasih, dan beliaupun menikahi Nyai Ambetkasih anak Ki Gedeng. Raden Pamanah Rasa ini juga dikenal sebagai Prebu Silihwangi.

Kembali ke masa awal kerajaan di wilayah barat pulau Jawa sebagaimana yang dapat dipelajari dari berbagai fakta sejarah yang sebagian ada di koleksi museum Sri Baduga, maka kerajaan yang memiliki bukti teks sejarah berupa prasasti ataupun manuskrip tertentu itu adalah Tarumanegara, sampai terbagi duanya menjadi Galuh dan Sunda. Dimana Prabu Tarusbawa adalah raja pertama Sunda.

Beliau adalah menantu dari Prabu Linggawarman, raja kedua belas Tarumanegara. Pada tahun 669 M, Maharaja Linggawarman, Raja Tarumanagara keduabelas meninggal. Akhirnya ia digantikan oleh menantunya, Tarusbawa, dengan nama gelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa.

Pelantikannya berlangsung tanggal 9 bagian terang bulan Jesta taun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi).
Prameswari (permaisuri) Maharaja Tarusbawa adalah Manasih putri Linggawarman, raja keduabelas Tarumanagara.

Dimana adiknya yang bernama Manasih Sobakancana, menjadi istri Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya, yang sama-sama naik tahta taun 669 Masehi.

Jadi boleh dikatakan bahwa kerajaan Sunda dan Sriwijaya itu bersaudara, setidaknya memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

Demikian juga dengan Mataram Kuno yang semula adalah kerajaan Kalingga. Titik pertautannya adalah Sanjaya. Pangeran Sunda yang menjadi pendiri Dinasti Sanjaya di Mataram. Dimana keturunannya, Rakai Pikatan, menikahi Pramodawardhani dari wangsa Syailendra yang berasal dari Sumatera.

Sementara kerajaan Galuh yang terletak di timur Citarum dipimpin oleh Wretikandayun atau yang bergelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa yang semula adalah raja Kerajaan Kendan di bawah Kerajaan Tarumanegara, kemudian raja pertama Galuh hingga total berkuasa dari tahun 612–702 M.

Sang Wretikandayun memerdekakan Kerajaan Galuh tahun 670, saat Sri Maharaja Tarusbawa mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda setelah menerima tahta dari Linggawarman.

Wretikandayun adalah cicit dari pendiri Kerajaan Kendan yang bernama Maharesi guru Manikmaya. Maharesi guru Manikmaya adalah pemuka agama Hindu yang berasal dari Keluarga Calankayana, India. Maharesi guru Manikmaya menikah dengan Dewi Tirtakencana anak dari Maharaja Suryawarman, Raja dari Kerajaan Tarumanagara. Setelah menikah, Maharaja Suryawarman memberikan tanah beserta tentara kerajaan yang lengkap kepada Manikmaya di area Perbukitan Nagreg Kendan di Bandung yang kemudian menjadi Kerajaan Kendan.

Petilasan kerajaan Kendan inilah yang menjadi cikal bakal Bandung, dan terletak di wilayah Ujung Berung-Cibiru-Nagreg.

Rekonsiliasi antara Galuh, Sunda, dan Mataram terjadi saat ada suksesi raja Galuh kepada putra mahkota yang bernama Rahyang Mandi Minyak. Pada tahun 695 M, Rahyang Mandiminyak, Putra mahkota Galuh menikahi Dewi Parwati, anak Ratu Sima dengan Kartikeyasinga raja Kalingga Jepara yang berkedudukan di Jawa tengah karena itulah Mandiminyak tinggal di Kalingga menjadi penguasa Kalingga Utara.

Pada tahun 702 M Rahiyang Mandiminyak menerima tahta Kerajaan Galuh menggantikan ayahnya Wretikandayun yang berkuasa selama 90 tahun, sehingga Rahiyang Mandiminyak berkuasa di dua negara, yaitu Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Galuh (di Tatar Sunda).

Posisi Rahiyang Mandiminyak sangat kuat , dan pada tahun 703/704 M, Mandiminyak menjodohkan cucunya, Sanjaya, Rakai Mataram putra Bratasenawa putra Mandiminyak, dengan Dewi Sekar Kancana (Teja Kancana Ayupurnawangi) putri Rakyan Sundasembawa (mati muda) putra Sri Maharaja Tarusbawa. Cucu mantu Raja Sunda, Sanjaya, Rakai Mataram berkedudukan di Pakuan Bogor. Jadi di Pakuan Bogor itu pernah bertahta raja tiga negara, Rakai Sanjaya.

Pertalian antara Sriwijaya, Sunda, Galuh, dan Mataram berawal dari tokoh Aki Tirem dewi Sari Pohaci. Sedangkan bukti arkeologis baru banyak ditemukan di era Medang. Yang terkenal misalnya Rakai Pikatan dan Pramodawardhani. Menurut Krom, Balaputradewa adalah raja Kerajaan Sriwijaya putra Samaragrawira. Dimana Prof. N.J. Krom menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga, sehingga Balaputradewa secara otomatis dianggap sebagai saudara Pramodawardhani.

Sedangkan menurut Dr. De Casparis telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga, antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Akhirnya Balaputradewa dikalahkan Rakai Pikatan suami Pramodawardhani. Ia kemudian menyingkir ke Pulau Sumatra dan menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.

Teori De Casparis tersebut berpedoman pada prasasti Wantil tahun 856 yang menyebutkan adanya peperangan antara Rakai Pikatan melawan seorang musuh yang bersembunyi dalam benteng timbunan batu (mungkin situs Ratu Boko). Pada prasasti Wantil ditemukan istilah Walaputra yang ditafsirkan sebagai nama lain Balaputradewa.

Keberadaan Balaputradewa dan hubungannya dengan Crivijaya, serta Dapunta Hyang di Sriwijaya yang hubunganya panas dingin agak meriang, tergambar dari prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Mendo Barat kabupaten Bangka, yang diterjemahkan oleh seorang epigraf Belanda Kern dan George Coedes. Prasasti ini ditulis sebelum pasukan Cri Vijaya menyerang bhumi Jawa.

Kalimat pembukanya:

Siddha titam hamba nvari i avai kandra kayet ni paihumpaan namuha ulu lavan tandrun luah makamatai tandrun luah vinunu paihumpaan hakairum muah kayet ni humpa unai tunai…

Terjemahannya agak ngeri-ngeri sedap, tapi menilik dari dinamika budaya dan peradaban pada masa itu tampaknya itu adalah hal yang jamak.

Prasasti dan peninggalan kejayaan suatu peradaban di kurun waktu Medang-Mataram, Cri Vijaya, dan penerusnya juga banyak terkait dengan dinamika geologi yang menghadirkan beberapa episode katastropik berupa letusan vulkanik yang dahsyat, sebagaimana diduga menjadi penyebab tertimbunnya situs peradaban besar Liyangan di kaki gunung kembar Sindoro-Sumbing, dan peristiwa erupsi gunung Merapi yang mungkin menjadi salah satu alasan Maha Mantri Mpu Sindok memindahkan ibu kota Mataram ke wilayah Jawa Timur dan membangun dinasti wangsa Isyana di sana.

Kembali melompat ke lini masa yang berbeda, soal lambang Kodam III Siliwangi dan status hewan endemik yang sampai hari ini masih dinyatakan punah, meski ada kabar gembira berupa beberapa bukti terkait keberadaannya di beberapa wilayah Jawa, kita akan sedikit bicara soal harimau Jawa. Tentu masih berangkat dari berbagai fakta sejarah yang juga datanya ada di museum Sri Baduga.

Ketika berbicara tentang Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, ada hewan endemik yang kerap disandingkan dalam legendanya. Banyak versi dan kisah terkait spesies raja hutan yang mendapat gelar Maung Siliwangi ini. Ada yang mengaitkan dengan peristiwa moksanya Prabu Siliwangi yang ngahyang ataupun versi yang lebih berbasis pendekatan ekologis, bahwa wilayah Pakwan sampai Leuweung Sancang memang merupakan habitat Panthera tigris sondaicus.

Ekspedisi awal ke daerah pedalaman di awal abad ke 17 memang menjumpai daerah yang masih memiliki tutupan vegetasi tropis yang baik dan biodiversitas yang terjaga. Hingga memang saat itu populasi harimau Jawa relatif masih sangat banyak, karena daya dukung lingkungan dan ketersediaan mangsa dalam tatanan rantai makanan masih sangat aman.

Ekspedisi perdana Belanda ke pedalaman Jawa Barat dilakukan pada 1687 yang dipimpin Pieter Scipio van Oostende. Scipio membawa tim ekspedisi untuk menjelajahi hutan di selatan Batavia menuju bekas ibu kota Pakuan dan akhirnya mencapai Wijnkoopsbaai (kini Palabuhanratu).

Dalam misi itu satu anggota ekspedisi tewas diterkam harimau di daerah Pakwan dimana ditemukan berbagau artefak dan reruntuhan.

Scipio mendapat keterangan dari anak buahnya yang bernama Letnan Tanuwijaya dari Sumedang, bahwa reruntuhan itu adalah bekas ibu kota kerajaan Pakwan/Pakuan Pajajaran.

Pada 23 Desember 1687, Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs menulis laporan sebagai berikut; di bekas istana yang tanahnya ditinggikan, dekat tablet (prasasti Batutulis) berwarna perak peninggalan Raja Pajajaran yang dikeramatkan, kawasan ini dijaga oleh banyak harimau.

Penampakan harimau juga dilaporkan oleh warga daerah Kedung Halang dan Parung Angsana yang mengawal Scipio dalam ekspedisi ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah hutan perawan di kawasan kompleks gunung Gede, Pangrango, Salak, sampai ke daerah pantai selatan (Surade dll) masih memiliki tingkat keragaman hayati yang sangat baik sehingga predator puncak masih banyak ditemui.

Dari satwa langka yang juga menjadi simbol sarat makna dengan berbagai pendekatan, baik yang bersifat mistis sampai yang murni ekologis, kita kembali ke museum geologi Bandung.

Pada suatu pagi yang cerah, saya dan kawan-kawan pernah diajak oleh beberapa aktivis literasi digital Indonesia yang bernaung di komunitas Next Generation Indonesia atau NXG, untuk menengok jauh ke belakang dan menyerap ilmu dari masa lalu (khususnha secara geologi, arkeologi, dan paleoarkeologi), dalam sebentuk darmawisata ke museum yang diakhiri dengan sangat manis karena berwujud dalam rupa semangkuk Yamien manis traktiran guru panutan kita semua, Akang Dr Andry Dachlan, yang uenake poll di warung yang juga tak kalah eksotis, warmie jalan Gagak yang sudah berkoak-koak sejak saya baru belajar merangkak, atau bahkan mungkin lebih tua lagi.

Kita diajak Kang Khemal Andrias dan Kang Fikri Andhika dari NXG untuk tidak saja semata-mata berjalan-jalan di Bandung, khususnya area Tilil, Ciung, Puter, Gagak saja, tapi juga ke 3 miliar tahun yang lalu untuk bersua dengan Cyanobacteria.

Dimana sejarah keberadaan oksigen bermula, sekaligus ledakan konsentrasinya telah memusnahkan hampir semua spesies mahluk hidup di fase awal karena keracunan zat asam alias O dua (oksigen).

Great Oxygenation Event (GOE), satu elemen sederhana ini ternyata pernah mengubah keadaan Bumi kita.Sekitar 3 miliar tahun yang lalu, atmosfer Bumi memiliki 0,03 persen dari tingkat oksigen saat ini, sebagaimana yang dikutip The New York Times. Namun, setengah miliar tahun kemudian, oksigen mengendap di atmosfer. Salah satu teori terkemuka menyatakan bahwa Cyanobacteria, salah satu organisme prokariotik paling awal di Bumi, telah berevolusi untuk melakukan fotosintesis.

Saat Cyanobacteria mengeluarkan oksigen sebagai kotorannya, kadar oksigen meningkat secara perlahan. Saat Cyanobacteria ini mati, oksigen bereaksi dengan karbonnya. Jadi, oksigen tertinggal di atmosfer karena beberapa bahan organik dari Cyanobacteria yang mati justru tenggelam ke dasar laut.

Oksigen tidak dapat bereaksi dengannya. Itu sebabnya, oksigen terperangkap di atmosfer. Ditambah lagi, jumlah Cyanobacteria sangat melimpah sebelum terjadinya GOE. Keracunan oksigen deh makhluk-makhluk hidup di fase awal itu hingga musnah.

Lalu tibalah kita pada panel yang ditunjuk oleh Pak Khemal sang antropolog yang kerap kerasukan arwah mendiang Van Bemmelen ataupun Casparis, panel yang berisi informasi tentang era atau periode Kambrium.

Periode Kambrium dianggap penting dalam sejarah biologis bumi karena peralihan dari organisme uniseluler ke organisme multiseluler, termasuk hewan bercangkang keras seperti Trilobita.

Namun, sekitar 510 juta tahun yang lalu, diperkirakan 83 persen dari seluruh genus bercangkang keras di seluruh dunia punah, sebagaimana yang dilaporkan New Scientist. Setelah peristiwa kepunahan massal ini, keanekaragaman hayati secara global turun menjadi 35 persen pada periode Botomian.

Makhluk hidup, seperti trilobit dan Archaeocyatha, sangat terpengaruh dengan kepunahan massal ini. Diperkirakan bahwa peristiwa kepunahan massal Botomian akhir memusnahkan lebih dari 50 persen genus yang masih ada pada saat itu.

Kondisi kepunahan itu dituliskan dalam buku Biotic Recovery from Mass Extinction Events (1996) oleh MB Hart. Lalu kata Pak Fikri Andhika, tokoh legendaris NXG Indonesia, Gondwana yang membeku jauh sebelum Mixue mampu membekukan hatimu, telah mengakibatkan kepunahan Ordovisium.

Kepunahan massal Ordovisium Akhir dapat dilihat pada dua peristiwa kepunahan di periode Hirnantian/ tahap terakhir periode Ordovisium sekitar 444 juta tahun yang lalu, dan dianggap sebagai salah satu peristiwa kepunahan terbesar dalam sejarah biologis Bumi.

Dalam dua gelombang kepunahan ini, 85 persen dari seluruh spesies laut punah. Sementara itu, selama kepunahan massal Ordovisium Akhir, 85 persen spesies, 60 persen genus, dan 25 persen famili musnah.

Makhluk hidup seperti trilobita hampir hilang sepenuhnya, begitu pula dengan graptolit, brakiopoda, bryozoa, dan conodont.
Fase kepunahan massal pertama Ordovisium ini diyakini terkait dengan glasiasi Gondwana (membekunya suatu benua).
Dimana Gondwana sendiri adalah benua super yang ada sekitar 550 hingga 180 juta tahun yang lalu.

Diduga penurunan permukaan laut glacioeustatic dan dinginnya suhu laut tropis memainkan peran penting selama kepunahan massal pertama ini.

Sedangkan gelombang kedua kepunahan massal Ordovisium diduga terjadi ketika iklim dan sirkulasi lautan mengalami stagnasi. Sebagian besar teori mengaitkan kepunahan massal Ordovisium gelombang kedua ini dengan naiknya suhu Bumi secara ekstrem dan berkurangnya oksigen. Selain itu, endapan merkuri yang ditemukan juga menunjukkan adanya mekanisme vulkanik masif selama kepunahan massal Ordovisium gelombang kedua.

Akhirul kata, sebagai penutup tulisan ringan pagi ini, saya hanya ingin bersyukur bahwa dengan berbagai kemajuan teknologi dan kemudahan belajar saat ini, kita bersama dapat menemukan sebuah permainan yang asyik, yaitu merangkai puzzle-puzzle data hingga dapat merekonstruksi fakta-fakta imajiner di pentas theater of mind kita.

Data sejarah peradaban dan kebumian yang kini dapat dikunjungi, dilihat, dibaca, dan dipelajari, kiranya adalah anugerah yang sangat patut untuk disyukuri, karena dapat membuat kita kaya akan sumber inspirasi dan dapat menjadi pembelajaran dalam menatap masa depan serta menata diri agar senantiasa mampu melakukan berbagai upaya secara terukur dan terstruktur untuk mengembangkan berbagai potensi dalam kerangka menciptakan solusi melalui inovasi yang berkesinambungan dan berangkat dari informasi yang kini telah banyak tersaji.

Belajar dari sejarah adalah amanah agar kita senantiasa dapat menjadi bagian dari konstruksi rahmah dalam sistem peradaban yang senantiasa bertumbuh secara simultan. πŸ™πŸΎπŸ‡²πŸ‡¨

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts