Tauhid Nur Azhar

Tumbuh dan Menubuh, Runtuh dan Meluruh

Sapantuk wahyuning Gusti Allah, gya dumilah mangudah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning jiwangga, yen mengkono kena sinebut wong sepuh. Lire sepuh sepi hawa, awas roroning atunggil
( Serat Wedhatama, Pupuh I, pangkur bait ke 12)

Sang penerima Wahyu dapat mencerna ilmu tinggi, memampukan diri meraih kesempurnaan jiwa raga yang menjadi penanda “orang tua”. Manusia yang telah terbebas dari belenggu hasrat dan penjara hawa nafsu, memahami sepenuhnya manunggaling kawulo Gusti….

Kearifan lokal nenek moyang kita yang tertuang dalam berbagai serat sarat filsafat senantiasa mengandung unsur piwulang dan piweling, ajaran dan anjuran atau juga peringatan dan nasehat yang dapat membawa kita selamat dunia akhirat.

Agama dan keyakinan hakiki serta nilai moral yang menjadi panduan akhlaq dalam bersikap serta berperilaku senantiasa menjadi jalan pencerahan, bukan jalan represi yang mereduksi kearifan, kewaskitaan, kewasisan, kewinasisan, serta keadiluhungan maha karya Allah SWT dalam bentuk manusia dan semesta.

Agama adalah ageming aji dengan 4 tahap mempersembahkan totalitas diri melalui sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa, yang semuanya bermuara pada perbaikan dan peningkatan kualitas kemanusiaan yang dapat dinilai dari aspek kebermanfaatan dan kedayagunaan bagi sesama dan semesta.

Amemangun karyenak tyasing sasama yang hanya dapat dihasilkan oleh manusia yang sudah mencapai maqom jalmo sulaksono.

Nalaring srat Ingran Nitisruti, lire iya jatining wiweka Iku pan dadi ambeke. Para pandhita putus, tyas pndha candhana adi, sandyan tinegora, pinecela muhung. Asung ganda marbuk ngambar wit tyas wiyar resik lir Akasa keksi, kesisan ima manda
(Serat Nitisruti, Dhandanggula bait ke 8)

Nitisruti berkisah tentang nilai hidup sejati yang dicari manusia dalam perjalanan menelusuri makna hidup hakiki. Watak cendekia ahli berhati mulia bak batang Cendana. Ditebang, dipotong, hanya semata hadirkan manfaat dan harumnya aroma.

Semerbak mewangi dalam karya, dalam meniti usia. Hati jembar, luas, nyaris tanpa batas, bagai angkasa, bagai samudera, bersih, jernih, suci tanpa awan semburat yang membuat hidup terasa penat dan berat.

Kemuliaan manusia yang tak lagi terbelenggu hasrat dan syahwat serta rasa gawat yang selalu ingin kuat, cepat, dahsyat. Karena cepat, kuat, dahsyat itu hanya akan menjadi beban teramat berat dan berlangsung sesaat.

Sementara kearifan sebagai manusia yang juga makhluk sensoris perseptual, termaktub dalam piwulang dari Pangeran Madrais, tokoh Sunda Wiwitan sebagai berikut: ngarasa (merasakan), rumasa(menyadari), tumarima (menerima) papasten saking Gusti nu Maha Kawasa.

Merasakan itu fitrah yang tak dapat dihindari, sementara mengolahnya dengan nalar adalah syarat untuk membangun sadar. Dan sadar seutuhnya itu adalah totalitas penerimaan akan hakikat keberadaan, tumarima.

Soal rasa, dan juga peka, adalah kapasitas kita dalam memaknai dan memahami tanda. Sebagian di antaranya di seberang simbol-simbol semiotika.

Datang lirih menyapa, mengakar bertumbuh dan bercabang, lalu dahan-dahan keteduhan menjadi tempat riuh cendekia beradu wacana. Pohon Bodhi berbiji sesawi, Ficus religiosa yang hidup di dimensi tanpa dimensi, tanpa materi, tanpa perlu dilekatkan arti.

Tapi hadir dan mengayomi, tapi teduh dan menyejukkan, kokoh tanpa menaklukkan, gagah tanpa menyeramkan, lembut tanpa harap bersambut, hangat tanpa menghanguskan, dan mengalir ke muara tiada akhir.

Rasaning tembang jatnika, hariring teu make peling, haleuang teu make hayang,
heuleut beurang heuleut peuting, kakuping teu kakuping, ngungkung sajeroning kurung,kurunganana raga, raga raganing aing, ligar kembang caang siang sakahayang

Dan budaya lisan dari era Sawerigading juga selalu mengumandang kearifan dalam setiap momen penting kebersamaan dalam peristiwa kebudayaan.

Kisah penuh tanda dan makna dalam puisi bermetrum itu direpetisi dalam massureq.

Massureq di Mappano Bine (upacara menidurkan benih padi), Maccera’ Tasi’ (persembahan untuk laut),
Menre’ Bola (naik rumah baru), dan Mattemu Taung (menziarahi kubur leluhur). Saat berkah itu adalah Rahmah juga amanah yang tak hanya cukup sekedar diolah, tapi juga harus ditelaah, dan juga disyukuri secara kaffah.

Benih disayang dicintai karena akan menjadi sumber rezeki, laut dijaga dan diajeni karena darinyalah datang banyak plasma Nutfah hayati, juga sumber energi.

Lalu rumah adalah tempat berlindung dan memadu kasih sayang yang menjadikan kita makhluk yang merindu pulang. Seperti renung saat mattemu taung, soal mengisi dan menjadi memori, soal lahir,hadir, dan berakhir.

Soal eksitensi dan esensi yang ditentukan oleh interaksi ruang waktu dan materi. Tentang ada dan berada serta konsep sementara. Tentang datang dan hilang juga pergi dan pulang.

Saweri Gading menginginkan We Tenri Abeng dan menemukannya di I We Cudai dari negeri nun jauh (Tiongkok).

Perjalanan dan tujuan adalah awal dari tujuan dan perjalanan bukan ? Saweri Gading ingin mengawini kembarannya sendiri, ia ingin menikahi dirinya sendiri.

Bukankah itu suatu kejujuran ? Bukankah selama ini yang kita cintai sepenuh hati itu kita sendiri ? Bukankah ketika kita mencintai seseorang itu untuk kita miliki ? Lalu cinta hampir selalu berharap untuk dicintai setara dengan daya saat mencintai.

Bukankah sebagian besar cinta adalah transaksi ? Bukankah cinta yang mendamaikan, menenangkan, dan membahagiakan itu adalah sebuah utopia tentang saya ?

Tentang aku, bukan dia atau siapa saja. Karena aku dan duniaku adalah aku, karena cintaku hanyalah untukku. Karena hadirmu semata untukku, meski dengan kata berima kita berkata hadirmu melengkapi duniaku.

Bagaimana dengan dunianya ? Cinta itu substitusi, belum menjadi komplementasi. Cinta itu mengganti dan memenuhi, belum berbagi dan saling melengkapi.

Maka lihatlah Narcissus yang jujur dalam mencintai dirinya sendiri sehingga dikutuk sampai terbenam dalam kolam yang memantulkan bayangan dirinya. Ia begitu mencintai bayangan dirinya di kolam, lalu dengan sengaja menjulurkan tangannya untuk meraih refleksi dirinya tersebut hingga tenggelam.

Dan mungkin saja ia tenggelam dalam kebahagiaan karena pada akhirnya menyadari bahwa diri dan bayangannya adalah semata kesemuan yang nyata.

Seperti Sishipus yang terus menerus mendorong batu, bolak balik melewati gunung. Bukan ia tak tahu bahwa sebagian isi dunia menganggapnya melakukan hal yang sia-sia.

Kata siapa ?

Bukankah keikhlasan dalam berproses dapat menafikan hasil ? Karena hasilnya adalah keikhlasan itu sendiri. Seperti sa’i antara bukit Shafa dan Marwa, bukan soal jumlah, bukan soal langkah, tapi soal amanah dan sikap kaffah. Soal sadar yang mengakar saat nalar tak lagi berbilang takar.

Karena tumbuh dan menubuh adalah runtuh dan meluruh. Maka menghilang penuh adalah berbagi secara utuh. Seperti mencapai tujuan adalah kehilangan.

Kehilangan perjalanan, kehilangan pencarian, maka tujuan tak perlu diperdebatkan, karena pada akhirnya tujuan adalah ketiadaan dan peniadaan. Di saat itulah mungkin kita bisa saling menemukan … 🙏🏿

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts