Tauhid Nur Azhar

Peneliti, Tenaga Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan Masa Depan, Peta Jalan untuk Membumikan Harapan

Beberapa hari yang lalu, media massa nasional banyak memberitakan tentang nilai UTBK dan kaitannya dengan proses masuk perguruan tinggi negeri.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, nilai UTBK tertinggi biasanya diterima di fakultas kedokteran atau teknik informatika, meskipun ada anomali berupa data pencilan terkait pilihan fakultas idaman. Maklumlah, seiring perkembangan zaman, konsep tentang cita-cita masa depan sedikit banyak juga mulai menyesuaikan.

Terlebih disrupsi teknologi, khususnya digital dengan dinamikanya yang luar biasa, telah menghadirkan teknologi swayasa dengan tingkat presisi yang nyaris sempurna, seperti teknologi yang kini dibesut AI.

Tapi seolah masih mempertahankan paradigma klasik, bahwa anak-anak pandai dari seluruh negara, pada gilirannya masih menetapkan fakultas kedokteran sebagai sekolah idaman. FKUI, FK UGM, FK Undip, FK Unair, dan FK Unpad kerap menjadi langganan mahasiswa dengan nilai UTBK tertinggi, unda_undi dengan STEI ITB.

Tahun ini FK Unsoed dan juga FK UPN Veteran masuk dalam percaturan penerima nilai UTBK tertinggi. Demikian juga FK UNS Surakarta.

Maka tak heran jika alumni fakultas kedokteranpun punya dinamika tinggi dalam memilih dan menggeluti profesi. Dengan kapasitas dan energinya yang seolah berlebih, ada banyak dokter yang menekuni banyak bidang secara paralel sejalan dengan profesi intinya.

Maka tak heran pula, jika penelitian dan perkembangan teknologi, termasuk implementasi AI dan Bioteknologi banyak diinisiasi oleh peneliti dan praktisi kedokteran.

Ada banyak dokter atau sarjana kedokteran yang mumpuni dalam hal ihwal pengembangan teknologi biomedis dan bioinformasi. Yang cukup saya kenal karena ketokohan dan peran sentralnya dalam inovasi teknologi medis saat ini, antara lain adalah dr Yanuar Iman Santoso, SpTHT-KL yang jago dalam urusan IT, AI, dan juga invensi alat kesehatan secara mandiri.

Ada pula Agung Budi Sutiono, dr.,Ph.D., Sp.BS., D.MSC yang bersama Prof Farid banyak sekali melakukan terobosan berbasis teknologi di FK Unpad. Lalu ada dr Gregorius Bimantoro dari Health Tech ID yang kini bergiat di Digital Transformation Office Kementerian Kesehatan. Juga ada dr Ari Waluyo, SpOG yang membidani lahirnya teknologi Tele CTG yang amat bermanfaat untuk proses pemantauan kesehatan janin selama kehamilan dalam program ante natal care (ANC).

Kemudian ada tokoh sekaliber Mas Anies Fuad, DEA dari UGM yang banyak berkontribusi dalam pengembangan sistem IT di pelayanan medis dan pendidikan kedokteran.

Di bidang bioteknologi dan biomedis tak kurang pula, banyak peneliti muda tanah air yang punya kontribusi luar biasa dalam pengembangan keilmuan di ranah kesehatan.

Dalam bidang ini ada sahabat saya Dr Neni Nurainy, Apt yang bidang risetnya antara lain dalam pengembangan biosimilar Trastuzumab untuk mengatasi Ca Mammae melalui proses inhibisi reseptor HER2.

Peristiwa pandemi beberapa waktu lalu juga telah memperkenalkan kita pada kiprah ilmuwan diaspora Indonesia di Britania Raya, Carina Joe. Alumni SMA BPK Penabur ini memiliki kontribusi penting dalam proses manufaktur vaksin Covid-19 yang diproduksi oleh Astra Zeneca.

Diaspora kita tentu tak hanya Carina Joe saja, ada Assoc Prof Sastia Putri, alumni SITH ITB yang kini banyak berkiprah di Jepang, dan banyak memiliki kontribusi dalam pengembangan riset bioteknologi.

Dengan sinergi dan kolaborasi potensi dalam keselarasan capaian riset akademik yang solutif bagi permasalahan kongkret yang dihadapi bangsa, para cendekiawan di domain kedokteran dan biomedis tampaknya dapat memiliki kontribusi penting bagi kebangkitan nasional berbasis teknologi di masa yang akan datang.

Peran peneliti senior seperti Prof Sofia Mubarika dari UGM, Prof Herawati Sudoyo dari UI, dan Prof Fedik Abdul Rantam dari Unair, menjadi amat krusial sebagai katalis yang diharapkan dapat menjadi pemantik reaksi sinergi di antara para peneliti handal tanah air lintas rumpun dan disiplin ilmu yang dapat menghasilkan invensi dan inovasi yang bersifat komprehensif, sekaligus tepat sasaran.

Penting pula peran para orkestrator atau agregator seperti Prof Suhono Harso Supangkat dan Prof Hammam Riza, yang dengan keluwesan komunikasi, kearifan sikap, serta kejembaran wawasan akademik serta kapasitas jejaring yang luar biasa dapat menghimpun banyak elemen pemangku kepentingan akademik dan teknologi dalam suatu gerakan yang simultan dan berkesinambungan.

Di luar kapasitas sebagai profesional maupun sebegai peneliti handal, kini sayapun banyak melihat dan belajar dari para dokter yang telah berhasil menjadi edukator publik melalui media sosial.

Bahkan ada beberapa tokoh senior yang konten media sosialnya, selain edukatif juga sangat menghibur. Digarap dengan sangat kreatif dan dieksekusi secara presisi. Hingga tak heran jika pesan yang ingin disampaikan bisa tepat sasaran dan tiba di tujuan, juga bonding, engagement, serta loyalitas pun tercipta di antara para infleuncer medis itu dengan follower atau subscriber nya.

Dari sekian banyak edukator medis di media sosial, mulai dari dr Tirta, MBA sampai dr Ning, SpPD-KGH, saya justru sangat suka pada konten dua orang guru saya yang terbilang sudah sangat senior; Prof Tono Djuwantono, SpOG(K) yang kontennya sangat humanis dan banyak mengandung bawang, serta dr Reno Budiman, SpBD(K), MSc yang kocak dan super kreatif hingga membuat audiensnya betah berlama-lama men scroll media sosialnya.

Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah menghadirkan beberapa genre baru dalam proses pelayanan kesehatan. Kini personalized medicine yang berbasis genom dan kedokteran presisi menjadi hal jamak yang sudah mulai menjadi bagian dari sistem pelayanan kesehatan rutin.

Bahkan pandemi yang melanda dunia telah memantik terjadinya berbagai lompatan teknologi kedokteran yang seolah dipaksa untuk menembus batas ketidakmungkinan yang selama ini kerap menghalangi laju progresi.

Perkembangan teknologi kedokteran telah mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Di masa depan, dua bidang yang akan memiliki dampak signifikan adalah Kecerdasan Buatan (AI) dan Bioteknologi.

AI memiliki kemampuan untuk menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat dan akurat. Misal, algoritma pembelajaran mesin dapat digunakan untuk mendeteksi kanker melalui analisis gambar radiologi.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature, algoritma AI mampu mendeteksi kanker payudara pada mammogram dengan akurasi yang sebanding atau bahkan lebih baik daripada ahli radiologi manusia .

AI juga berperan dalam penemuan dan pengembangan obat. Melalui analisis data genomik dan fenotipik, AI dapat mengidentifikasi target obat potensial dengan lebih efisien. Ini mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk penelitian dan pengembangan obat baru.

Saat ini perusahaan seperti Insilico Medicine telah menggunakan AI untuk menemukan kandidat obat yang menjanjikan untuk penyakit-penyakit kompleks .

Dengan mengintegrasikan data pasien, termasuk genomik, gaya hidup, dan data klinis lainnya, AI dapat membantu merancang pengobatan yang dipersonalisasi. Ini memastikan bahwa setiap pasien menerima perawatan yang paling sesuai dengan kondisi unik mereka, meningkatkan efektivitas dan mengurangi efek samping .

Sementara bioteknologi memungkinkan pengembangan terapi gen dan sel yang dapat mengobati penyakit pada tingkat genetik. Terapi gen CRISPR-Cas9, misalnya, memungkinkan modifikasi DNA untuk mengoreksi mutasi genetik yang menyebabkan penyakit.

Para ahli meyakini bahwa terapi ini memiliki potensi untuk menyembuhkan penyakit genetik seperti cystic fibrosis atau cycle cell anemia.

Rekayasa jaringan memungkinkan penciptaan jaringan dan organ yang dapat ditransplantasikan. Teknik seperti bioprinting 3D dapat digunakan untuk mencetak jaringan hidup menggunakan sel pasien sendiri, mengurangi risiko penolakan oleh sistem kekebalan tubuh.

Penelitian yang telah dipublikasi dalam Science Translational Medicine menunjukkan kemajuan signifikan dalam mencetak jaringan jantung yang dapat berfungsi secara fisiologi.

Pengembangan vaksin menggunakan teknologi mRNA, seperti yang digunakan dalam vaksin COVID-19, menunjukkan potensi besar bioteknologi. Teknologi ini memungkinkan pembuatan vaksin dengan cepat dan efektif, yang dapat diadaptasi untuk melawan berbagai penyakit menular.

Para ahli meyakini bahwa pendekatan ini juga bisa digunakan untuk mengembangkan vaksin melawan kanker dan berbagai kondisi patologis lainnya.

Menurut Dr. Eric Topol, seorang ahli di bidang kedokteran digital, AI memiliki potensi besar untuk merevolusi diagnosis dan pengobatan penyakit. “AI tidak hanya akan mempercepat diagnosis tetapi juga meningkatkan akurasi dan personalisasi pengobatan,” demikian pendapat beliau dalam salah satu sesi interview dengan media.

Dr. Jennifer Doudna, salah satu penemu CRISPR, menyatakan bahwa bioteknologi akan membuka pintu bagi terapi-terapi baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. “Dengan kemampuan kita untuk mengedit gen, kita dapat mulai berpikir tentang cara menyembuhkan penyakit yang sebelumnya tidak dapat diobati,” katanya dalam sebuah konferensi bioteknologi .

Kondisi pandemi yang baru saja kita lalui juga menjadi tonggak mulai diterapkannua berbagai teknologi garda depan, terutama dalam hal penegakan diagnosis dan juga terapi preventif seperti pembuatan vaksin, termasuk vaksin mRNA.

Vaksin RNA, khususnya mRNA (messenger RNA), adalah inovasi baru dalam teknologi vaksin yang menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan metoda tradisional. Vaksin ini telah terbukti sangat efektif dalam melawan penyakit seperti COVID-19. Berikut adalah mekanisme pembuatan dan cara kerjanya;

Proses dimulai dengan identifikasi antigen yang tepat dari patogen (virus atau bakteri). Dalam kasus COVID-19, antigen yang dipilih adalah protein spike (S) dari virus SARS-CoV-2, yang digunakan oleh virus untuk masuk ke sel manusia.

Setelah antigen dipilih, urutan genetik yang mengkode protein tersebut disintesis menjadi mRNA. Sintesis ini dilakukan secara in vitro (di luar tubuh) menggunakan teknik bioteknologi yang melibatkan enzim RNA polimerase untuk membangun rantai mRNA dari cetakan DNA.

Untuk meningkatkan stabilitas dan mengurangi respon imun negatif terhadap mRNA, beberapa nukleotida pada mRNA sering dimodifikasi. Modifikasi ini membantu mRNA bertahan lebih lama dalam sel dan meningkatkan efisiensi penerjemahannya menjadi protein.

Pada ujung mRNA, struktur tambahan seperti topi 5′ (5′ cap) dan ekor poli-A ditambahkan. Struktur ini penting untuk stabilitas mRNA dan efisiensi translasi dalam sel manusia.

mRNA yang telah disintesis dan dimodifikasi kemudian dikemas dalam lipid nanopartikel (LNP). LNP ini berfungsi melindungi mRNA dari degradasi dan membantu mRNA masuk ke dalam sel manusia. LNP terdiri dari lapisan lipid yang dapat berfusi dengan membran sel, memungkinkan pengiriman mRNA yang efisien.

Vaksin mRNA harus disimpan pada suhu rendah untuk menjaga stabilitasnya. Vaksin seperti Pfizer-BioNTech harus disimpan pada suhu -70°C, sementara Moderna pada suhu -20°C.

Untuk itu distribusi vaksin mRNA memerlukan rantai dingin yang ketat untuk memastikan vaksin tetap stabil dan efektif sampai ke tempat vaksinasi.

Vaksin mRNA disuntikkan ke dalam tubuh, biasanya melalui injeksi intramuskular. Setelah disuntikkan, LNP yang mengandung mRNA diambil oleh sel-sel di tempat injeksi melalui endositosis.

Setelah berada di dalam sel, mRNA dilepaskan ke dalam sitoplasma. Ribosom dalam sel kemudian membaca mRNA dan menerjemahkannya menjadi protein spike (S).

Protein spike yang dihasilkan kemudian dikenali oleh sistem kekebalan tubuh sebagai benda asing. Sel-sel kekebalan, seperti sel dendritik, menangkap protein ini dan mempresentasikannya kepada sel T dan sel B, memicu respon imun adaptif.

Proses ini menghasilkan sel T dan sel B memori yang “mengingat” antigen tersebut. Jika di kemudian hari tubuh terpapar oleh virus SARS-CoV-2 yang sesungguhnya, sistem kekebalan tubuh dapat dengan cepat mengenali dan melawan virus tersebut, mencegah infeksi atau mengurangi keparahan penyakit.

Vaksin mRNA dapat dikembangkan dan diproduksi lebih cepat daripada vaksin tradisional karena proses pembuatannya tidak memerlukan penumbuhan virus atau protein dalam kultur sel.

Urutan mRNA dapat dengan mudah disesuaikan untuk menargetkan berbagai antigen atau varian virus yang berbeda.

Vaksin mRNA cenderung menghasilkan respon imun yang kuat, termasuk produksi antibodi dan aktivasi sel T.

Selain vaksinasi, terapi imunologi seperti CAR-T juga mengalami perkembangan yang pesat. Pemanfaatan sel dendritik dan juga sel limfosit T dapat memfasilitasi respon imunologis yang presisi dan tepat sasaran serta memiliki efek terapeutik yang adekuat.

Terapi imun CAR-T (Chimeric Antigen Receptor T-cell) adalah bentuk imunoterapi yang melibatkan rekayasa genetika sel T pasien sendiri untuk mengenali dan melawan kanker. Sel T adalah bagian dari sistem kekebalan tubuh yang berperan penting dalam melawan infeksi dan penyakit.

Proses dimulai dengan pengambilan sel T dari darah pasien melalui leukapheresis.

Rekayasa Genetika, sel T kemudian dimodifikasi secara genetik di laboratorium. Gen yang dimasukkan ke dalam sel T mengkode reseptor khusus yang disebut Chimeric Antigen Receptor (CAR). CAR memungkinkan sel T mengenali dan mengikat antigen tertentu yang terdapat pada permukaan sel kanker.

Proliferasi Sel T, sel T yang telah dimodifikasi kemudian diperbanyak di laboratorium hingga jumlah yang cukup.

Sel T yang telah diperbanyak kemudian dimasukkan kembali ke dalam tubuh pasien melalui infus. Sel T yang telah direkayasa ini kemudian mencari dan menghancurkan sel kanker yang memiliki antigen target.

Terapi CAR T telah menunjukkan keberhasilan yang signifikan dalam mengobati beberapa jenis kanker, terutama kanker darah seperti leukemia limfoblastik akut (ALL) dan limfoma non-Hodgkin. Efektivitas terapi ini telah dibuktikan dalam berbagai uji klinis, dengan banyak pasien menunjukkan remisi lengkap setelah perawatan.

CAR T-cells dirancang untuk mengenali antigen spesifik yang hanya ditemukan pada sel kanker, sehingga meminimalkan kerusakan pada sel sehat.

Terapi ini dapat memberikan hasil yang luar biasa pada pasien yang tidak merespon terapi konvensional.

Beberapa pasien yang diobati dengan CAR T menunjukkan remisi jangka panjang, mengindikasikan potensi untuk menjadi solusi yang lebih tahan lama.

Meskipun menjanjikan, terapi CAR T juga memiliki tantangan dan efek samping yang perlu diperhatikan:

Sindrom Pelepasan Sitokin (CRS), salah satu efek samping yang paling serius adalah CRS, yang terjadi ketika sel T yang diaktifkan melepaskan sejumlah besar sitokin ke dalam aliran darah, menyebabkan demam, mual, sakit kepala, dan dalam kasus yang parah, tekanan darah rendah dan kesulitan bernafas.

Neurotoksisitas Beberapa pasien mengalami efek samping neurologis seperti kebingungan, kejang, dan bahkan koma.

Menurut Dr. Carl June, salah satu pionir dalam pengembangan terapi CAR T, “Terapi CAR T merupakan terobosan besar dalam pengobatan kanker hematologi. Potensinya sangat besar, namun kita masih perlu mengatasi beberapa tantangan untuk memperluas penggunaannya pada jenis kanker lainnya.”

Dr. Michel Sadelain, ahli imunoterapi di Memorial Sloan Kettering Cancer Center, menambahkan, “Keberhasilan awal terapi CAR T sangat menginspirasi, namun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami dan mengurangi efek samping serta meningkatkan efektivitasnya pada berbagai jenis kanker.”

Mungkin sebagian dari kita juga sudah cukup akrab dengan pendekatan terapi regeneratif yang memanfaatkan sel punca dan sekretom. Sudah cukup lama sel punca, baik yang berasal dari umbilical chord mesenchimal stem cell ataupun dari sistem hematopoietik yang bersifat pluripoten.

Sel pluripoten dapat berasal dari sumber jaringan embrionik seperti massa sel bagian dalam, epiblas, dan sel germinal primordial.

Sel pluripoten juga dapat dibuat dari sel somatik yang diprogram ulang. Sel pluripoten yang diprogram ulang secara artifisial untuk berperilaku seperti sel induk embrionik disebut sel induk berpotensi majemuk terinduksi (iPSCs).

iPSCs dapat dihasilkan langsung dari sel dewasa, seperti sel kulit atau darah, dengan memasukkan sejumlah kecil gen ke dalam sel somatik.

iPSCs memiliki beberapa keuntungan, seperti berkurangnya kemungkinan penolakan cangkok karena menggunakan sel somatik dari individu yang sama. iPSCs juga dapat berkembang biak tanpa batas waktu dalam kultur, yang memungkinkan pengembangan sumber tak terbatas dari semua jenis sel manusia yang diperlukan untuk tujuan terapeutik. Misalnya, iPSC dapat didorong menjadi sel pulau beta untuk mengobati diabetes.

Sel punca (stem cell) adalah sel yang memiliki kemampuan unik untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel dalam tubuh. Mereka memainkan peran penting dalam regenerasi dan perbaikan jaringan yang rusak. Berikut adalah mekanisme utama bagaimana sel punca bekerja dalam memperbaiki kerusakan organ tubuh:

Sel punca embrionik memiliki kemampuan pluripotent, artinya mereka dapat berdiferensiasi menjadi hampir semua jenis sel dalam tubuh.

Sel punca dewasa (atau sel punca somatik) bersifat multipotent, yang berarti mereka hanya dapat berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel yang terkait dengan jaringan asalnya. Contohnya adalah sel punca hematopoietik yang dapat menjadi berbagai jenis sel darah.

Ketika ada kerusakan jaringan, tubuh melepaskan sinyal kimia yang menarik sel punca ke area yang rusak. Proses ini disebut homing. Sel punca kemudian bermigrasi menuju lokasi kerusakan melalui aliran darah.

Setelah mencapai area yang rusak, sel punca mulai berdiferensiasi menjadi jenis sel yang dibutuhkan untuk memperbaiki jaringan tersebut. Misalnya, sel punca mesenkimal (MSC) dapat berdiferensiasi menjadi osteosit, kondrosit, atau adiposit untuk memperbaiki tulang, tulang rawan, atau jaringan lemak.

Sel punca tidak hanya berdiferensiasi tetapi juga mengalami proliferasi, yaitu mereka membelah dan memperbanyak diri untuk menghasilkan cukup banyak sel yang dibutuhkan untuk proses perbaikan.

Selain berdiferensiasi menjadi sel spesifik, sel punca juga melepaskan berbagai faktor pertumbuhan dan sitokin yang membantu memperbaiki jaringan melalui mekanisme parakrin. Faktor-faktor ini merangsang sel-sel di sekitar area yang rusak untuk beregenerasi dan memperbaiki diri.

Sel punca dapat memodifikasi lingkungan mikro jaringan yang rusak untuk mendukung proses penyembuhan. Mereka membantu mengurangi peradangan dan mendorong pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis), yang penting untuk menyediakan nutrisi dan oksigen ke jaringan yang sedang diperbaiki.

Pada pasien dengan penyakit jantung, seperti setelah serangan jantung (penyakit jantung koroner dengan kardiomiopati), sel punca dapat digunakan untuk memperbaiki otot jantung yang rusak. Sel punca yang disuntikkan ke dalam jantung dapat berdiferensiasi menjadi sel otot jantung dan membantu memulihkan fungsi jantung.

Sel punca mesenkimal sering digunakan untuk memperbaiki tulang yang patah atau tulang rawan yang rusak. Teknik ini melibatkan pengambilan sel punca dari sumsum tulang atau jaringan lemak pasien, kemudian menyuntikkannya ke area yang cedera.

Sel punca juga menunjukkan potensi dalam mengobati penyakit neurodegeneratif seperti Parkinson dan Alzheimer. Sel punca dapat berdiferensiasi menjadi neuron dan sel pendukung lainnya untuk menggantikan sel saraf yang hilang atau rusak.

Pada diabetes tipe 1, sel punca berpotensi digunakan untuk menggantikan sel beta pankreas yang menghasilkan insulin. Penelitian sedang dilakukan untuk mengembangkan metode yang dapat mendorong sel punca berdiferensiasi menjadi sel beta yang fungsional.

Meskipun sel punca menawarkan potensi besar dalam memperbaiki kerusakan organ, ada beberapa tantangan yang perlu diatasi, yaitu antara lain,

Imunogenisitas, dimana ada resiko penolakan imun oleh tubuh pasien.

Tumorigenisitas, potensi sel punca untuk berkembang menjadi tumor jika tidak terkendali.
Efisiensi Diferensiasi,
dimana ada potensi kesulitan dalam mengarahkan sel punca untuk berdiferensiasi menjadi jenis sel yang tepat dengan efisiensi tinggi.

Selain penggunaan AI di aplikasi biomedis, vaksin mRNA, terapi imun, dan terapi regeneratif dengan sel punca dan sekretom, tak kalah pentingnya adalah perkembangan ilmu material.

Saya yang pada saat pandemi diamanahi untuk bergabung dalam Task Force Riset dan Inovasi untuk penanganan Covid-19 yang diinisiasi oleh Kepala BPPT RI, Prof Hammam Riza, merasa amat bersyukur dapat ikut belajar sedikit tentang teknologi nano ini.

Alkisah, senior dan mentor saya di FK Undip, Mas Dr dr Awal Prasetyo, SpTHT-KL, MKes, yang juga merupakan ahli patobiologi, bersama maha guru patobiologi kami, Dr dr Udadi Sadhana, SpPA(K), MKes, mengajukan usulan berupa alternatif moda transportasi yang aman dari penularan virus Covid-19.

Maklumlah saat itu kekhawatiran begitu membuncah sejalan dengan adanya ketidakpastian terkait dengan aktivitas keseharian, termasuk dalam hal bepergian.

Bersama Pak Dr Soerjanto Tjahjono, ketua KNKT, dan Prof Agus Subagio dari fisika FSM Undip, bekerjasama dengan PO Bus Sumber Alamnya Pak Anthony Steven dan teman-teman karoseri Laksana, serta teman-teman peneliti BPPT yang dikomandani Pak Soni selalu ketua gugus tugas, dilakukanlah suatu pengujian dari hasil inovasi Undip berupa Bus Biosmart.

Dimana teknologi nano coating yang dilakukan oleh tim Prof Agus dari fisika Undip dengan partikel perak nano, diharapkan dapat menjadi lapisan anti mikroba yang efektif untuk menangkal resiko penularan melalui sentuhan di berbagai lokasi bus Biosmart.

Dari pengalaman itu saya mendapat sedikit wawasan dan pengetahuan terkait dengan pemanfaatan teknologi nano yang ternyata cukup luas dan dapat memberikan pengaruh cukup signifikan dalam pengembangan teknologi kedokteran.

Nanoteknologi telah mengubah banyak aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk kedokteran. Dengan kemampuan untuk memanipulasi materi pada skala nanometer (sepersejuta meter), nanoteknologi memungkinkan inovasi baru dalam diagnosis, pengobatan, dan pencegahan penyakit. Berikut adalah penjelasan mengenai perkembangan nanoteknologi di domain kedokteran.

Nanopartikel dapat digunakan sebagai agen kontras dalam berbagai teknik imaging seperti MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan, dan PET scan. Contohnya, nanopartikel besi oksida digunakan untuk meningkatkan kontras dalam MRI, memungkinkan deteksi yang lebih jelas dan akurat dari tumor atau lesi lainnya.

Nanoteknologi memungkinkan pembuatan biosensor yang sangat sensitif untuk mendeteksi biomolekul spesifik yang berkaitan dengan penyakit. Contoh penerapan, sensor berbasis nanomaterial dapat mendeteksi jejak biomarker kanker dalam darah pada tahap sangat awal, hingga memungkinkan diagnosis dini dan pengobatan yang lebih efektif.

Nanoteknologi memungkinkan penghantaran obat yang sangat terarah ke sel atau jaringan tertentu. Nanopartikel dapat dirancang untuk membawa obat dan melepaskannya langsung di lokasi target, seperti sel kanker, mengurangi efek samping pada jaringan sehat. Misalnya, nanopartikel liposom digunakan untuk menghantarkan obat kemoterapi langsung ke tumor.

Nanopartikel dapat digunakan dalam terapi fototermal dan fotodinamik untuk mengobati kanker. Dalam terapi fototermal, nanopartikel emas disuntikkan ke dalam tumor dan kemudian dipanaskan menggunakan sinar laser, yang membunuh sel kanker. Dalam terapi fotodinamik, nanopartikel yang membawa agen fotosensitizer digunakan untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif yang merusak sel kanker saat terkena cahaya.

Nanoteknologi dapat digunakan untuk membuat scaffold (kerangka) nanofiber yang mendukung pertumbuhan dan diferensiasi sel untuk rekayasa jaringan. Scaffold ini meniru struktur matriks ekstraseluler alami, memberikan dukungan fisik dan sinyal biokimia yang diperlukan untuk regenerasi jaringan seperti tulang, kulit, dan kartilago.

Nanopartikel perak dan oksida seng memiliki sifat antimikroba dan digunakan dalam balutan luka untuk mempercepat penyembuhan dan mencegah infeksi. Selain itu, nanopartikel juga dapat digunakan untuk mengantarkan faktor pertumbuhan yang mempercepat regenerasi jaringan yang rusak.

Nanopartikel dapat digunakan sebagai pembawa antigen dalam vaksin untuk meningkatkan respons imun. Vaksin COVID-19 berbasis mRNA seperti Pfizer-BioNTech dan Moderna menggunakan nanopartikel lipid untuk mengantarkan mRNA ke dalam sel tubuh, yang kemudian menghasilkan protein spike SARS-CoV-2 dan merangsang respons imun.

Nanopartikel dapat digunakan untuk meningkatkan imunoterapi kanker dengan mengantarkan imunomodulator langsung ke tumor atau kelenjar getah bening. Ini membantu mengaktifkan sel imun yang spesifik untuk menyerang sel kanker, meningkatkan efektivitas terapi.

Nanomaterial seperti perak, oksida seng, dan karbon dapat digunakan untuk membuat permukaan antimikroba yang membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri dan virus. Ini sangat berguna dalam lingkungan rumah sakit untuk mencegah infeksi nosokomial.

Sensor berbasis nanoteknologi dapat digunakan untuk mendeteksi patogen atau toksin dalam lingkungan atau tubuh manusia dengan sensitivitas tinggi, memungkinkan pengendalian infeksi yang lebih efektif dan cepat.

Salah satu tantangan utama nanoteknologi adalah memastikan keamanan dan mengatasi potensi toksisitas nanopartikel dalam tubuh manusia. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami interaksi jangka panjang antara nanopartikel dan sistem biologis.

Produksi nanopartikel dengan ukuran dan sifat yang konsisten adalah tantangan teknis. Selain itu, regulasi yang tepat diperlukan untuk memastikan bahwa produk nanoteknologi aman dan efektif sebelum mereka dapat digunakan secara luas dalam praktik klinis.

Integrasi dari berbagai capaian teknologi di atas dapat memberikan banyak kemajuan dalam upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Penyakit dapat dicegah semenjak dini, terapi pada suatu kondisi patologi dapat presisi, efek samping dapat dihindari, dan akurasi setiap tindakan medis, mulai dari rangkaian penegakan diagnosa sampai pilihan terapi yang paling efektif dapat terbantu oleh teknologi.

Salah satu perkembangan teknologi kedokteran yang juga sejalan dengan semakin baiknya proses koneksi internet, terlebih kini sudah terdapat layanan konstelasi satelit komunikasi low earth orbital yang dapat membantu kualitas koneksi di daerah-daerah rural (remote area).

Secara kongkret, keunggulan berbagai aspek tersebut, terutama koneksi, AI, robotik, dan teknologi pencitraan medis yang akurat, maujud dalam konteks telesurgery.

Telesurgery adalah operasi yang diaugmentasi sistem hibrid yang melibatkan peran mesin dan operator yang merupakan dokter ahli. Untuk membangun sistem telesurgery tentu dibutuhkan data set yang sangat komprehensif, dan berbagai kondisi penunjang seperti stabilitas jaringan, suplai listrik, dll.

Tetapi manfaatnya juga akan sangat besar, karena dari penataan kembali data dan sistematika yang ada, nampaknya kampanye kreatif terkait berbagai aspek kesehatan dapat menjadi lebih powerfull.

Dengan adanya telesurgery, sebagaimana yang saat ini piranti latihannya sudah terinstalasi dengan sempurna, di RS Hasan Sadikin/FK Unpad, maka jangkauan pelayanan medikal bedah akan dapat menjangkau daerah-daerah pedalaman yang masih minim tenaga ahli bedah.

Di sisi lain, semakin presisinya teknologi sensor, mikro elektronika, dan juga AI, dapat diharapkan bahwa di masa depan otomasi proses layanan medis akan terentang dari hulu ke hilir, mulai dari proses diagnosis sampai tata laksana tindakan, yang selama ini msih membutuhkan banyak sumber daya manusia terlatih, yang tidak mudah untuk menyiapkan sesuai dengan dinamika kebutuhan yang terkadang bertumbuh dengan sangat cepat.

Telesurgery yang dikenal sebagai operasi jarak jauh, adalah prosedur bedah yang dilakukan oleh ahli bedah yang tidak berada di lokasi yang sama dengan pasien.

Proses ini memungkinkan ahli bedah untuk melakukan operasi dengan bantuan teknologi robotik dan komunikasi jarak jauh. Berikut adalah sedikit informasi mengenai sejarah dan mekanisme telesurgery.

Gagasan untuk melakukan operasi dari jarak jauh pertama kali muncul pada tahun 1980-an dengan perkembangan teknologi komunikasi dan robotik. Namun, pada tahap ini, teknologi yang diperlukan belum cukup maju.

Sistem Da Vinci, salah satu terobosan terbesar dalam telesurgery adalah pengembangan sistem bedah robotik Da Vinci oleh Intuitive Surgical pada akhir 1990-an. Sistem ini memungkinkan ahli bedah untuk melakukan operasi dengan presisi tinggi menggunakan alat robotik yang dikendalikan dari konsol.

Prosedur Lindbergh, pada 7 September 2001, tim bedah yang dipimpin oleh Dr. Jacques Marescaux melakukan operasi pengangkatan kantong empedu pada seorang pasien di Strasbourg, Prancis, dari New York City, AS, menggunakan sistem robotik Zeus. Operasi ini dikenal sebagai Prosedur Lindbergh dan dianggap sebagai operasi jarak jauh pertama yang berhasil sepenuhnya.

Perkembangan Teknologi, setelah keberhasilan Prosedur Lindbergh, perkembangan telesurgery terus berlanjut dengan peningkatan teknologi robotik, komunikasi, dan jaringan. Sistem Da Vinci terus diperbarui, dan teknologi komunikasi seperti jaringan 5G semakin meningkatkan kemungkinan untuk melakukan telesurgery dengan latensi rendah dan keandalan tinggi.

Robot Bedah, sistem robotik seperti Da Vinci atau Zeus terdiri dari beberapa lengan robotik yang dilengkapi dengan instrumen bedah dan kamera. Lengan robotik ini mampu melakukan gerakan presisi yang dikendalikan oleh ahli bedah dari jarak jauh.

Konsol Ahli Bedah, ahli bedah mengendalikan lengan robotik melalui konsol yang dilengkapi dengan monitor, pedal, dan joystick. Konsol ini memberikan umpan balik visual dan haptik kepada ahli bedah, memungkinkan mereka merasakan ketahanan jaringan dan melakukan gerakan yang sangat presisi.

Jaringan Komunikasi, telesurgery memerlukan jaringan komunikasi yang andal dan berlatensi rendah untuk mentransmisikan data antara konsol kendali dan robot bedah. Teknologi seperti jaringan 5G atau koneksi internet berkecepatan tinggi digunakan untuk memastikan transmisi data yang cepat dan tanpa jeda.

Kamera 3D dan HD, sistem robotik dilengkapi dengan kamera yang memberikan tampilan 3D dan resolusi tinggi dari area bedah. Visualisasi yang jelas dan mendetail sangat penting untuk keberhasilan prosedur bedah.

Instrumen Presisi, lengan robotik dilengkapi dengan berbagai instrumen bedah yang dapat dipertukarkan, seperti pisau bedah, gunting, dan alat jahit. Instrumen ini dirancang untuk melakukan gerakan halus dan presisi yang dikendalikan oleh ahli bedah.

Persiapan Pasien dan Robot, pasien diposisikan dan disiapkan untuk operasi. Lengan robotik ditempatkan di atas area yang akan dioperasi.

Koneksi dan Pengujian Sistem, sistem komunikasi diaktifkan, dan koneksi antara konsol kendali ahli bedah dan robot bedah diuji untuk memastikan tidak ada keterlambatan atau gangguan.

Operasi, ahli bedah mengendalikan lengan robotik dari konsol jarak jauh, melakukan operasi dengan bantuan visualisasi 3D dan instrumen presisi.

Monitoring dan Penyesuaian, tim medis di lokasi pasien memonitor kondisi pasien dan memberikan bantuan langsung jika diperlukan. Ahli bedah dapat menyesuaikan gerakan robot berdasarkan umpan balik visual dan haptik.

Aksesibilitas, telesurgery memungkinkan pasien di lokasi terpencil atau daerah dengan akses terbatas ke ahli bedah spesialis untuk menerima perawatan berkualitas tinggi.
Presisi Tinggi, sistem robotik pada telesurgery memberikan kemampuan pembedahan presisi yang dapat mengurangi risiko pembedahan.
Minimum Invasif, telesurgery menerapkan konsep pembedahan yang bersifat minim invasi, dengan tujuan mengurangi trauma bedah dan mempercepat pemulihan pasien.

Masih banyak sebenarnya perkembangan teknologi kedokteran yang diprakirakan akan banyak memberi warna pada perkembangan peradaban manusia di masa depan. Setidaknya dengan mempelajari beberapa teknologi kedokteran eksisting, termasuk perkembangan mutakhirnya sebagaimana yang telah dibahas di atas, dapat memberikan gambaran kepada kita tentang sebuah proses revolusi pelayanan kesehatan yang tak akan dapat dihindari.

Untuk itu tentulah diperlukan suatu upaya kongkret dalam rangka mensinergikan potensi penelitian dan pengembangan hasil-hasil riset secara lintas disiplin dan dimensi. Karena dengan penguasaan yang komprehensif terhadap konsep inovasi teknologi di bidang kedokteran lah, kita dapat membuat lompatan katak (frog leap) yang akan membawa bangsa kita ke posisi garda depan pelayana kesehatan.

Dengan doa kita bersama, kerja keras, cerdas, ikhlas, dan bernas, semoga bisa ya 🙏🏾🙏🏾

Bahan Bacaan Lanjut

1. June, C. H., et al. (Tahun). “CAR T-Cell Therapy for Cancer.” [Link ke artikel].
2. Sadelain, M., et al. (Tahun). “Challenges and Future Directions in CAR T-Cell Therapy.” [Link ke artikel].
3. Clinical Trials.gov. (Tahun). “CAR T-Cell Therapy Clinical Trials.” [Link ke artikel].
4. Leukemia & Lymphoma Society. (Tahun). “CAR T-Cell Therapy Overview.” [Link ke artikel].

5. Nature. (Tahun). “AI Detects Breast Cancer as Well as Radiologists.” [Link ke artikel].
6. Insilico Medicine. (Tahun). “AI in Drug Discovery.” [Link ke artikel].
7. Personalized Medicine. (Tahun). “AI for Personalized Treatment Plans.” [Link ke artikel].
8. CRISPR Journal. (Tahun). “CRISPR-Cas9: A Revolutionary Tool for Gene Editing.” [Link ke artikel].
9. Science Translational Medicine. (Tahun). “Advancements in 3D Bioprinting for Heart Tissue.” [Link ke artikel].
10. Vaccine Research. (Tahun). “The Promise of mRNA Vaccines.” [Link ke artikel].
11. Wawancara dengan Dr. Eric Topol. (Tahun). [Link ke wawancara].
12. Konferensi Bioteknologi. (Tahun). “Dr. Jennifer Doudna on Gene Editing.” [Link ke artikel].

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts