Tauhid Nur Azhar

Diskusi Seru di Ranah: Digital Media, Culture & Humanities

Kemarin siang ba’dha Zuhur sampai dengan adzan Azhar berkumandang, saya berkesempatan untuk berinteraksi dengan teman-teman dan guru-guru di salah satu Center of Excellence Telkom University.

Seminar ilmiah bertajuk Relasi Manusia-Teknologi: Tantangan dan Peluang dalam Budaya Digital yang dihelat oleh CoE Dictum berlangsung amat menarik dan dipenuhi dengan diskusi dengan atmosfer akademik yang sangat dinamik.

Hadir dan berbagi para dosen lintas disiplin ilmu, serta para pakar yang punya bekal pengalaman dan modal pengetahuan yang mumpuni.

Sebagai pemandu kegiatan, kepala suku CoE Dictum, Bapak Adi Bayu Mahadian, PhD memberikan gambaran tentang latar belakang pendirian CoE terkait serta apa dan mengapa seminar ilmiah dengan topik di atas perlu untuk dilaksanakan.

Sebagai seorang pengajar neurobiologi dan neurofisiologi sedikit banyak saya dapat menilai karakter dan kapasitas seseorang dari gestur, cara berbicara, serta tatapan mata pada saat orang tersebut menjalin komunikasi, baik secara interpersonal maupun di saat berada di ruang publik seperti pada sore itu.

Kang Adi yang saya taksir masih berusia cukup belia untuk gelar PhD nya itu adalah pribadi yang menarik; cerdas, humble, dan visioner. Suatu perpaduan ideal, terlebih dengan adanya latar belakang akademik yang telah berhasil diraihnya.

Konsep yang dipaparkannya jelas, dengan kriteria; runtut-sistematik terstruktur, sederhana dan mudah dimengerti, mengakomodir segenap elemen yang hadir, esensial-berfokus pada pokok-pokok utama yang penting untuk dikomunikasikan, dan tentu saja disampaikan dengan pemilihan diksi dan intonasi yang tepat, sehingga menghasilkan keluaran berupa orasi yang bernas dan santun.

Jelas cara berkomunikasi Kang Adi ini memenuhi standar performa komunikasi yang termaktub dalam akronim REACH, atau respect, empathy, audible, clarity, dan humble.

Hadir pula pada kesempatan sakral itu duo maut guru saya dari perguruan Caraka Jaya Cuan Perkasa yang berfilosofi; komunikasi jaya kita sejahtera, Dr Catur Nugroho dan Dr (Can) Rana Akbari. Keduanya tak diragukan lagi adalah sesepuh yang telah disepuh zaman dengan lapis tipis nano metal alloy semenjak jaman Orba sampai zaman dimana AI merajalela.

Tak urung pandang saya bersirobok juga dengan seorang pemuda ganteng dengan kumis tipis dan gestur khas generasi milenialnya. Abang Sekretaris Program Studi alumni Gajah Mada yang lirikan matanya khas Jogja; mengamati sekaligus sinis mengkritisi karena pola pikirnya adalah mendestruksi teori untuk mengonstruksi konsepsi dengan kandungan novelty. Duduk santai bersebelahan dengan Pak Putra yang selalu bertanya dengan segenap pencarian dan penggalian terhadap makna dengan paradigma skeptisisme yang khas melekat pada para akademisi pemberontak yang sangat disyukuri dimodali oleh kapasitas dan kemampuan otak.

Dari kerling sudut mata saya yang tengah mengamati layar laptop Lek Catur yang dipenuhi font ukuran super besar bertuliskan Digipoly, saya melihat ada Pak Ari, model cantrik nyentrik nan unik, yang biasanya punya kemampuan ciamik untuk membangun rapport secara energik. Lengkap sudah ruang ini dengan aura eksentrik yang amat menarik.

Saya yang diberi kesempatan pertama, seperti biasa larut dalam paparan berupa cerita, dengan konsep story telling yang rodo mbeling dan kadang membuat audiens yang mendengar edan eling, berkisah tentang perjalanan peradaban manusia.

Mulai dari ditemukannya api, optimasi pemanfaatan asam amino, sampai lahirnya Moore’s Law, dan tentu saja sejarah lahirnya AI sampai kini eksistensinya mulai dikhawatirkan akan menggeser eksistensi kita sendiri, wa bil khusus beberapa profesi tertentu yang fungsinya saat ini mulai tersubstitusi.

Sedemikian masifnya penetrasi AI ini dalam konstruksi peradaban manusia, hingga seperti manusia yang merupakan makhluk biopsikososial, alias hidup, berjiwa dan berakal, serta mampu membangun relasi sosial, AI seolah diniati untuk diatur dengan kendali norma dan etika.

Nnenna Uche et al dalam Guideline for Ethical Use of Generative AI yang dipublikasikan pada 2023 lalu, bahkan sampai membuat panduan berisi langkah-langkah yang dianggap tepat dalam proses pemanfaatan AI, terutama model generative AI yang sedang happening saat ini.

AI diatur dan diposisikan layaknya entitas cerdas yang memiliki konsep budaya bukan? Artinya secara tidak langsung kita sudah mengakui eksistensi AI yang beyond expectation. Alias bukan lagi sebuah sistem dan mesin yang bersifat mekanistik-deterministik semata, melainkan telah berevolusi menjadi entitas cerdas yang mendekati konsep seutuhnya.

Kognisi, Afeksi, dan Konasi sebagai ranah kecerdasan yang kita kenal saat ini dalam domain psikologi, telah dapat direpresentasikan oleh teknologi AI secara meyakinkan, melalui proses bertumbuh yang adaptif, sejalan dengan peningkatan kapasitas prosesing dan koneksi serta pengolahan maha data, juga peningkatan kemampuan dan kapasitas belajar secara berkesinambungan.

Konsepsi tentang norma dan etika, terutama dalam ranah teknologi digital, sebenarnya sudah mulai banyak dibahas pada saat salah satu invensi WWW nya Sir Tim Berner’s Lee mulai menggejala dan merubah banyak pola dan cara manusia bekerja dan berinteraksi. Tetiba kita seolah melompat ke dalam sebuah dunia dimana informasi adalah elemen penting-esensial yang setara dengan oksigen, air, dan api.

Pada era itulah pemikiran filsafati adikodrati mulai terusik dan terpantik untuk melahirkan berbagai pendekatan pemikiran etik yang kini menjadi unik.

Jonathan L. Zittrain, seorang profesor di Harvard Law School, adalah salah satu pemikir terkemuka dalam bidang hukum dan teknologi, yang kemudian banyak berkutat di soal norma dan etik.

Kontribusinya sangat berpengaruh dalam memahami bagaimana teknologi digital, khususnya internet, berinteraksi dengan hukum, kebijakan publik, dan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa konsep utama dari pemikiran Jonathan L. Zittrain:

Generative Internet, Zittrain memperkenalkan konsep generative internet, yang menggambarkan sifat internet sebagai platform terbuka yang memungkinkan siapa saja untuk berinovasi di atasnya.

Dalam bukunya The Future of the Internet and How to Stop It, Zittrain berargumen bahwa internet awalnya dirancang sebagai sistem yang sangat generatif, di mana pengguna memiliki kebebasan untuk menciptakan dan berbagi konten serta aplikasi baru.

Namun, Zittrain juga memperingatkan bahwa ada ancaman terhadap sifat generatif ini dari kekuatan komersial dan pemerintah yang berusaha mengendalikan dan membatasi akses serta inovasi.

Regulasi Teknologi,
Zittrain mengeksplorasi bagaimana regulasi harus beradaptasi dengan cepatnya perkembangan teknologi. Dia berpendapat bahwa hukum sering kali tertinggal dari teknologi, yang menciptakan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan inovasi dan perlindungan terhadap penyalahgunaan teknologi.

Dalam hal ini, Zittrain mengusulkan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif dalam regulasi, yang mampu menyesuaikan dengan perubahan cepat dalam ekosistem teknologi.

Privasi dan Keamanan, isu privasi dan keamanan adalah fokus utama dalam karya Zittrain. Beliau menekankan pentingnya melindungi data pribadi pengguna dalam era digital, di mana informasi dapat dengan mudah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Zittrain juga menggarisbawahi pentingnya keamanan siber dan perlindungan terhadap ancaman seperti malware dan serangan siber, yang dapat merusak infrastruktur teknologi yang vital.

Collaborative Governance,
Zittrain mengadvokasi model pemerintahan kolaboratif dalam mengelola internet dan teknologi. Beliau berargumen bahwa pendekatan multi stakeholder, yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil, adalah cara terbaik untuk menangani tantangan global yang kompleks di bidang teknologi.

Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan.

Ethical Design in Technology, Zittrain juga menyoroti pentingnya perancangan konsep etik dalam teknologi. Beliau berpendapat bahwa para pengembang teknologi harus mempertimbangkan implikasi etik dari produk dan layanan mereka sejak awal. Ini termasuk memastikan bahwa teknologi yang dikembangkan tidak hanya efektif dan efisien tetapi juga adil dan tidak diskriminatif.

Seolah tak dapat dihindari, perkembangan teknologi digital yang telah melahirkan infrastruktur peradaban baru, hampir dapat dipastikan pula juga akan menghadirkan dinamika dan diskursus unik terkait norma dan etika.

Ketika tatanan sosial berubah karena adanya reduksi ruang waktu dan lahirnya narasi-narasi dengan diksi baru, maka cara manusia berinteraksi dan berkomunikasipun memasuki era di luar jangkauan kajian teori saat ini.

Kehadiran kecerdasan artifisial yang menawarkan keajaiban setara dengan pengalaman bergenre prophecy, selain terus melahirkan keajaiban-keajaiban peradaban, juga telah menghadirkan kekhawatiran dan kecemasan terkait implementasinya yang semakin meluas dan mendalam, serta tentu saja mulai terasa menggerus eksistensi manusia.

Tak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir, teknologi kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat dan semakin meresap dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

Penggunaan dan pemanfaatan AI tidak hanya membawa manfaat besar tetapi juga menimbulkan berbagai tantangan etis dan normatif. Berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu telah menyumbangkan pemikiran mereka mengenai bagaimana kita seharusnya menerapkan AI dengan etika yang baik. Berikut ini adalah rangkuman pemikiran beberapa ahli terkemuka di bidang ini:

Stuart Russell, seorang profesor ilmu komputer di University of California, Berkeley, berpendapat bahwa keamanan dan kontrol adalah aspek yang sangat krusial dalam pengembangan AI. Russell menekankan pentingnya mengembangkan AI yang selaras dengan nilai-nilai manusia dan di bawah kendali yang tepat. Beliau mengusulkan prinsip-prinsip desain AI yang memastikan bahwa mesin-mesin ini selalu bertindak demi kepentingan manusia dan dapat dihentikan jika berperilaku tidak diinginkan.

Kate Crawford, seorang peneliti senior di Microsoft Research dan profesor di USC Annenberg, menyoroti masalah bias dalam sistem AI. Crawford berpendapat bahwa algoritma AI sering kali mencerminkan bias yang ada dalam data yang digunakan untuk melatih mereka, yang dapat menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan. Beliau menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan diversitas dalam tim pengembang AI untuk mengurangi bias dan memastikan bahwa teknologi ini adil dan inklusif.

Nick Bostrom, seorang filsuf di University of Oxford, mengkhawatirkan potensi risiko eksistensial dari AI super intelligent, yaitu AI yang melebihi kecerdasan manusia dalam segala aspek. Bostrom mengadvokasi pendekatan kehati-hatian dan penelitian mendalam untuk memahami dan mengelola risiko yang mungkin timbul dari perkembangan AI yang sangat maju. Beliau mengusulkan kerangka kerja global untuk mengawasi dan mengatur perkembangan AI guna mencegah potensi dampak negatif yang besar.

Virginia Dignum, seorang profesor di Umeå University di Swedia, berfokus pada integrasi etika dalam desain dan pengembangan AI. Dignum berargumen bahwa etika harus menjadi bagian integral dari proses pengembangan teknologi, bukan sekadar pemikiran setelah produk selesai. Beliau mengembangkan kerangka kerja untuk menggabungkan nilai-nilai etis dalam siklus hidup pengembangan AI, termasuk tahap desain, implementasi, dan evaluasi.

Yoshua Bengio, seorang pionir dalam bidang deep learning dan pemenang Turing Award, menekankan pentingnya transparansi dan keterbukaan dalam penelitian dan pengembangan AI. Bengio percaya bahwa keterbukaan dalam berbagi pengetahuan dan teknologi dapat membantu komunitas ilmiah mengidentifikasi dan mengatasi tantangan etis serta meningkatkan kepercayaan publik terhadap AI. Beliau juga mendorong dialog terbuka antara peneliti, pembuat kebijakan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa perkembangan AI membawa manfaat luas bagi semua orang.

Walhasil dari diskusi yang semula berkisah tentang tumbuh kembangnya sebuah peradaban yang antara lain banyak diwarnai oleh konflik horizontal terkait penguasaan akses terhadap sumber daya, yang ironisnya juga memantik lahirnya banyak terobosan teknologi yang menjadi motor penggerak peradaban itu sendiri, topik bergeser dan berfokus pada wacana dan dinamika perkembangan AI yang dirasa telah memberikan dampak bermagnituda yang jauh lebih besar dari yang semula kita duga.

Sistem cerdas berbudaya yang lahir sebagai konsekuensi dari perkembangan AI tampaknya mulai harus diterima secara bijaksana, sembari kita bersama menyusun strategi untuk menyelaraskan eksistensi dan fungsi kendali bukan? 🙏🏾

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts