Starlink dan Peradaban yang Makin Blink-Blink

Starlink dan Peradaban yang Makin Blink-Blink

Oleh: Tauhid Nur Azhar
Kehadiran Elon Musk di Forum Air Dunia yang diselenggarakan di Bali telah menimbulkan kehebohan yang menyedot perhatian dari banyak kalangan.

Fotonya dengan beberapa pejabat dan tokoh nasional beredar di banyak platform media sosial. Maklumlah Mas Elon memang selebriti teknologi yang berbagai inovasi dan gagasannya dianggap sebagai terobosan peradaban yang akan membawa manusia mengkonstruksi masa depan yang penuh harapan.

Beberapa waktu lalu mungkin sebagian dari kita menganggap bahwa sebagian ide-ide Elon Musk adalah utopia. Tapi setelah Tesla, Space-X, Neuralink, dan Starlink beroperasi di dunia nyata, barulah kita terkesima sampai ternganga-nganga.

Diskusi soal Elon di Bali dan inovasinyapun ramai di ruang publik yang kini difasilitasi oleh berbagai kemudahan di media sosial yang mampu mereduksi barrier generasi atau profesi. Diskusi egaliter yang merdeka menyitir artikel ilmiah berbasis pendekatan akademi, ataupun sekedar beradu urat jempol jual beli pendapat pribadi dalam bungkus yang dikenal sebagai opini.

Starlink salah satu topik trending yang ramai dibicarakan, baik melalui kicauan maupun feed, dan chat-chat panjang di grup WA. Mengapa? Karena Starlink, terlepas dari pro kontra, telah menjalin kerjasama dengan beberapa entitas di Indonesia, dan memulai operasinya.

Apa itu Starlink ? Sistem komunikasi dan transmisi data berbasis satelit yang diletakkan di orbit rendah bumi untuk mengurangi tingkat latensi. Orbit rendah bumi atau low earth orbital (LEO) merujuk pada orbit di sekitar planet bumi dengan ketinggian antara 200 hingga 2.000 kilometer.

Satelit LEO, termasuk satelit Starlink, berada dalam kisaran ini, hingga memungkinkan untuk digunakan memfasilitasi proses komunikasi di permukaan bumi dengan latensi yang lebih rendah dibandingkan dengan satelit geostasioner yang berada pada ketinggian sekitar 36.000 kilometer.

Satelit Starlink diluncurkan dengan menggunakan wahana antariksa SpaceX, antara lain dengan roket Falcon 9. Setiap peluncuran membawa puluhan satelit, yang kemudian disebarkan ke orbit yang telah dihitung dan ditentukan.

Selanjutnya sebaran satelit berobat rendah itu akan membentuk sebuah konstelasi yang berkomunikasi satu sama lain dan dengan stasiun bumi.

Konstelasi ini dirancang untuk memberikan cakupan global yang berkesinambungan, dimana transmisi sinyal antar satelit dapat dilakukan karena satelit dilengkapi dengan antena phased array dan sistem komunikasi laser untuk membangun koneksi satu sama lain.

Sementara pengguna di bumi menggunakan terminal pengguna yang disebut Dishy McFlatface untuk menerima dan mengirimkan data ke satelit terdekat.

Terminal ini secara otomatis akan mengarahkan dirinya ke satelit terbaik dalam konstelasi yang masuk dalam jangkauan.

Starlink menggunakan tautan laser antara satelit (ISL) untuk mentransfer data secara langsung di antara satelit tanpa harus kembali ke stasiun bumi. Ini mengurangi latensi dan meningkatkan efisiensi jaringan.

Satelit juga berkomunikasi dengan stasiun bumi yang terhubung ke infrastruktur internet eksisting. Data dari pengguna di suatu tempat dapat dikirim ke satelit, kemudian melalui ISL ke satelit lain, dan akhirnya ke stasiun bumi yang terhubung ke internet.

Dari banyak diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, mengemuka beberapa pemikiran, mulai dari yang optimis sampai pesimistik. Sebagian secara rasional dan objektif menempatkan Starlink sebagai suatu upaya antara untuk menjembatani gap infrastruktur telekomunikasi, sebelum jaringan fiber optic dan jaringan kabel submarine bawah lautnya dapat dibangun untuk melayani setiap titik koneksi di seluruh wilayah Nusantara.

Tercatat hingga tahun 2022, panjang total kabel bawah laut (SKKL) di Indonesia adalah 115.104 km.

Beberapa kabel bawah laut di Indonesia antara lain adalah, kabel laut yang menembus laut Maluku dengan panjang 348 km di kedalaman 3.000 m, serta menggunakan kabel Submarine Optical Cable G.654 Light Weight Protected (LWP), tipe Single Armor (SA) dan Double Armor (DA).

Lalu ada kabel serat optik bawah laut Varuna Cable System(VCS) dengan panjang 3.400 km, membentang dari pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Labuan Bajo, Sulawesi, Kalimantan, Bawean, Madura dan kembali ke pulau Jawa.

Ada pula sistem kabel Jawa-Sumatra-Kalimantan (Jasuka) dengan panjang 354 km, terbentang sepanjang daerah Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Jaringan kabel bawah lahir ini dimiliki oleh PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom).

Kementerian Kominfo sendiri mencatat ada 13 penyelenggara SKKL dengan panjang kabel lebih dari 55 ribu km yang berada di kawasan perairan ZEE Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Transmisi data dalam jejaring internet yang sangat dibutuhkan seperti dalam ranah data medis yang memerlukan sistem rujukan dan memiliki karakter file-file khusus seperti citra medis beresolusi tinggi dalam format khusus sesuai dengan standar DICOM (Digital Imaging and Communications in Medicine), memerlukan mekanisme transmisi data dengan tingkat reliabilitas tinggi.

Transmisi dengan bantuan konstelasi satelit LEO dapat menjadi solusi alternatif, sebelum infrastruktur ideal berbasis kabel serat optik terpenuhi.

Salah seorang rekan di grup WA Forum Prakarsa Indonesia Cerdas yang juga seorang praktisi teknologi maju, Pak Indra Wijaya, menyampaikan pendapatnya dengan mengkomparasi layanan satelit LEO Starlink dengan VSAT konvensional yang dibanderol dengan biaya layanan relatif mahal dan tingkat latensi yang lebih tinggi. Berikut perbandingan dari beliau:

Starlink vs VSAT:
* jauh lebih murah daripada biaya VSAT (<< 40% of VSAT price),
* lebih rendah latency (50ms vs 600ms),
* tanpa Teknisi harus setup(PlugNPlay vs Teknisi),
* bisa sampai 300-500 Mbps DL, 50-80bps UL (vs 1-5 Mbps VSAT).

Lalu apakah ada kekhawatiran terhadap kehadiran layanan satelit LEO tersebut? Tentu saja ada. Prof Henry Subiakto banyak menyoroti persoalan kedaulatan data dan berbagai aspek strategis lainnya.

Seperti juga Tiongkok yang agak gerah dengan operasi Starlink yang diduga memiliki hubungan erat dengan kepentingan-kepentingan militer Amerika Serikat. Hal ini mengemuka saat Mongolia menjalin kerjasama dengan perusahaan besutan Elon Musk tersebut.

Terlepas dari itu semua, teknologi informasi, internet, gadget, dan juga perkembangan kecerdasan artifisial, robotika, dan sistem cerdas terotomasi memang telah membawa peradaban kita memasuki suatu fase yang menurut Jean Baudrillard adalah suatu simulacrum, hiperealitas tanpa referensi sebelumnya.

Kondisi baru yang mungkin bagi sebagian dari kita terasa sebagai suatu keadaan yang tidak menentu.

Hal ini sejalan dengan pertanyaan guru saya yang juga seorang dosen di fakultas komunikasi dan bisnis Telkom University, Bapak Rana Akbari.

Bagaimana caranya memastikan agar kecanggihan teknologi (saat ini) bisa terorkestrasi dgn kearifan manusia? Alih-alih menjadikannya sebagai alat kuasa untuk mendehumanisasi atau mengeksploitasi (manusia) ?

Demikian pertanyaan filosofis yang beliau ajukan sesaat setelah membaca tulisan saya tentang kebangkitan kesadaran manusia dengan bertumpu pada kemajuan teknologi.

Sungguh sebuah pertanyaan yang tak hanya menarik bukan? Sangat menggelitik malah.

Fenomena yang kini terjadi tak dapat dipungkiri telah menempatkan manusia dalam konteks relasi baru dengan teknologi yang dilahirkannya sendiri.

Mungkin baru kali ini dalam dinamika perkembangan peradaban manusia, semenjak ditemukannya api, aksara-angka, dan revolusi industri, manusia bertanya tentang posisi dirinya terhadap karya ciptanya sendiri.

Dinamika baru yang tercipta dari akuisisi teknologi dengan augmentasi sistem nalar nyaris sempurna, telah berhasil mereduksi ruang dan waktu. Jarak tak lagi menjadi elemen penentu dalam sebuah proses yang terikat ruang.

Peristiwa yang terjadi diberbagai belahan dunia dapat teramati sebagai asupan informasi terkini. Suatu genre baru bahwa ruang dan waktu mulai beringsut dan mengkisut menuju titik yang satu dengan objektivitas jarak yang semakin menyusut, menyisakan kompleks masalah satu titik yang terdiri dari milyaran benang kusut.

Apa yang tak berubah ? Yang abadi adalah perubahan dan hasrat untuk mendapatkan kepuasan jauh melampaui kebutuhan sebagai prasyarat untuk meninabobokan kecemasan dan ketakutan akan ketidak abadian.

Maka manusia akan terus saling memanipulasi dan melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kompetensi untuk mereduksi segala keterbatasan dan indikator limitasi menuju keberdayaan dalam menguasai nasib dan masa depan.

Genetika diutak atik, sistem disubstitusi mekanik, dan kecerdasan diproyeksi balik. CRISPR CAS 9 dan CAI (cognitive artificial intelligence) bersirobok fungsi dengan kemajuan ilmu material yang berhasil mereduksi ukuran dengan memagnifikasi fungsi.

Persis propesi Gordon Moore dari Intel sekitar empat dasawarsa lalu, komponen elektronik termasuk chip dan prosesor akan semakin mengecil, bahkan begitu mungil sehingga banyak diantaranya sampai tak kasat mata. Nano partikel cerdas menjadi opsi untuk mengintegrasikan fungsi komputasi dengan algoritma kuantum yang dapat disintesiskan dengan sistem biologi.

Elon Musk dan neuralink serta penerapan delay tolerant network untuk “menyelubungi” permukaan bumi dalam suatu tebaran jaring interkoneksi telah “menciptakan” dunia baru yang menjadi media hidup alternatif dengan ekosistem virtual yang diharapkan dapat maujud lebih ideal dari dunia yang terdestruksi secara katastropik oleh motif antropogenik sebagai dalih resiliensi antroposen kronik.

Manusia menyadari sepenuhnya bahwa prediksi Malthus tentang keterbatasan rasio sumber daya adalah fakta yang tak terelakkan.

Demikian pula konsep sirkular dalam pemanfaatan energi sebagai prasyarat utama termodinamika makhluk hayati adalah sebagian dari utopia yang berkonjugasi dengan dunia nyata.

Maka manusia perlu mereduksi konsumsi dan membatasi ruang serta mengerem waktu. Dan itu tidak mungkin dilakukannya dalam dunia yang berlimitasi materi. Dunia baru yang ideal adalah dunia dengan platform koneksi tak terbatas, konsumsi energi terjamin, dan dapat mewujudkan segenap imajinasi prokreasi. Dunia digital adalah jawabannya.

Jika sejarah manusia mencatat migrasi besar keluar dari benua Afrika sekitar 300 ribu tahun yang lalu telah mengubah imajinasi menjadi rencana aksi yang dieksekusi menjadi mekanisme eksplorasi dan eksploitasi serta melahirkan eksperimentasi dan optimasi segenap potensi agar dapat menjadi kompentensi untuk mampu memanipulasi apapun agar memiliki fungsi substitusi dan komplementasi, maka migrasi digital adalah eksodus terbesar yang dilakukan dengan sadar sebagai respon nalar terhadap keterbatasan kadar tertakar dari sumber daya yang dieksploitasi secara malar.

Rotasi bumi mungkin tak berakselerasi karena telah ajeg dalam kelembamannya, tetapi derau dan bising komunikasi makhluk yang menghuninya semakin hari semakin mampu menafikan jarak yang tercipta seiring hadirnya ruang dan waktu.

Manusia dalam cakupan sel-sel terkoneksi membangun jejaring syaraf yang memungkinnya mengembangkan kemampuan resepsi dengan multi sensor lalu memproduksi respon adekuat ke berbagai tempat dengan mengabaikan hambatan yang di masa lalu yang bernama waktu.

Spesies kita telah manglih rupa bertiwikrama sebagaimana Arjuna Sasrabahu ataupun Sri Rama dan Batara Kresna yang merupakan titisan Wishnu sehingga maujud sebagai denawa, yang tak hanya perkasa melainkan juga kerap tergelincir dalam asmara dan angkara.

Manusia yang seolah lemah nyaris tanpa daya ketika berhadapan dengan bentang alam yang antara lain dipagari samudera dengan berbagai hendaya yang terintegrasi di dalamnya semestinya hanya bisa bertahan di suatu pojok goa dan berdoa agar nanti malam tak dimangsa sekawanan Hyiena, ataupun Dingo jika kita bermukim di kawasan Urulu sana.

Jangankan menempuhi samudera dengan gelombang setinggi bukit atau pohon kelapa, untuk sekedar mengejar antilope dan rusa saja kaki kita tak mampu bersaing dengan Panther dan Leopard yang begitu trengginas dan aerodinamisnya hingga mampu melaju dengan kecepatan sekitar 80 km/jam.

Tapi manusia punya sesuatu yang kemudian menjadikannya sebagai spesies yang bersifat prokreasi karena mampu menggubah dan mengubah sesuatu hingga sesuai dengan imajinasinya yang terlahir dari azas pemenuhan kebutuhan yang bersifat primordial.

Insting dan intuisi yang mewajibkan kita menghamba pada kompartemen rhombencephalon yang menjadi speaker of the house alias Ketua DPR yang mewakili suara “rakyat” negeri biologis yang terdiri dari sel, jaringan, dan organ. Pesan-pesan biokimiawi dan impuls listrik itu meruyak kesadaran hayati dan menuntut untuk dipenuhi dengan segala cara yang bersifat egosentris.

Konsep goal directed ini pada gilirannya akan diakomodir antara lain oleh struktur fungsional dorsolateral Prefrontal Cortex. Maka tak pelak kita tentu berpikir dan bertanya, apakah memang kecerdasan primordial yang terinstal di organ otak manusia dan jaringan syarafnya lahir dan berkembang karena survivalitas ?

Ataukah memang manusia hadir dan unggul karena diciptakan sebagai proyeksi dari kesempurnaan penciptaan yang maujud dalam bentuk makhluk katalis yang akan mendorong reaksi perubahan dengan semua konotasi dan konsekuensi ?

Untuk mengefisienkan energi dari molekul fosfat ATP dalam hal gerak yang menjadi syarat dalam menjembatani hadirnya ruang, maka manusia tak lagi sekedar memompa kalsium dan menggunakan molekul troponin, tropomiosin, miosin, aktin, filamen, dan juga inisiasi kimiawi dari asetilkolin dan kolinesterase, manusia mencipta bentuk maya yang dapat hadir dimana saja tanpa belenggu ruang yang bersyarat kecepatan dan daya, atau juga waktu yang membuat rencana serta pesan tidak akan tiba secara sewaktu, real time.

Manusia dengan powerhouse rhombencephalonnya mendorong sistem limbik dengan Amigdala dan Hipokampus dan juga keluarga besar diencephalon, struktur di sekitar ventrikel ke 3 dan membentuk inti serebrum (otak besar) dengan anggota yang terdiri dari talamus, hipotalamus, subtalamus, dan epitalamus, untuk mengembangkan fungsi analitik berdasar data serta membangun imajinasi dan memetakan masa depan.

Fungsi metakognisi dan valuasi yang melibatkan insula dan OFC adalah kata kunci. Maka lahir teknologi komunikasi. Manusia membangun jejaring seluler dan juga internet tentu saja sebagai bagian dari infrastruktur gerak yang mengomplementasi fungsi dari sistem lokomosi (tangan dan kaki). Juga mensubstitusi daya penerima indera dengan sensor-sensor baru yang bahkan bukan merupakan bagian dari anggota tubuhnya.

Manusia mengevolusi dirinya sendiri dan mengubah dogma sentral bahwa nasib adalah sesuatu yang telah ditetapkan melalui berbagai limitasi, dan membuka kotak Pandora, atau lebih tepatnya kotak Schrodinger dimana kucing di dalamnya selalu punya “peluang”/probabilitas untuk selalu berada dalam kondisi hidup-mati. 0 dan 1.

Konsep binary ini pulalah yang oleh manusia pada akhirnya didapatkannya sebagai “tanda-tanda” terekstraksi yang dipelajari dari alam saat Albert Einstein mulai “penasaran” dengan sifat-sifat cahaya. Dualisme cahaya sebagai partikel dan gelombang pada gilirannya secara kolaboratif multi zaman menghasilkan perubahan peradaban lintas kepentingan.

Di dalam kecerdasan baru ini tak hanya hadir satu tokoh digdaya saja seperti Betara Antaboga ayahanda Nagagini istri Bima dan ibunda Antareja yang digambarkan sebagai naga dan penyu raksasa yang sewaktu-waktu dapat mengguncang dunia, ada perlu banyak Planck, Maxwell, Pangeran De Broglie, Einstein, dan juga seorang Martin Cooper dan Tim Berners Lee yang lahir beda zaman dan beda keadaan.

Tetapi intinya manusia dengan kemampuan prokreasi yang tercipta karena adanya orkestra struktur otak kortikal dan sub kortikal seperti korteks singulata dan insula serta pelibatan rasa dari hipokampus, amigdala yang berkelindan dengan ventral tegmental area dan ventromedial PFC hingga melahirkan sayap emosi dalam menentukan preferensi, mampu melahirkan akumulasi kecerdasan.

Dari yang semula terdistribusi (distributed Intelligence)menjadi accumulated intelligence dan pada gilirannya membangun collective wisdom.

Sebuah sistem masyarakat organik yang menumbuhkan sendiri kecerdasannya. Bayangkanlah betapa dahsyatnya pengetahuan tumbuh itu, dalam konsep knowledge management data terserak (scattered) akan diklasifikasi menjadi informasi lalu dikanalisasi dan dilabeli hingga menjadi pengetahuan untuk selanjutnya diubah menjadi katalis yang hadirkan kebijaksanaan atau kewaskitaan.

Data soal cahaya dalam bentuk notasi Ep/energi Foton, dengan berbagai tingkat energi, panjang gelombang emisi, dan juga konstanta Planck 6,626×10-³⁴J.s dapat dikenali dan dieksploitasi menjadi penyalur sinyal komunikasi. Bahkan diarahkan dan dikuatkan seenak hati sesuai kebutuhan. Kabel serat optik dengan bahan baku kaca silika yang berindeks bias lebih tinggi dari udara hingga mampu memantulkan/membiaskan secara sempurna cahaya dalam bentuk gelombangnya diciptakan dengan memanfaatkan bahan semi konduktor seperti Erbium (EDFA) dari golongan lantanida dan neodymium serta praseodymium dimana selain menyerap Foton berpanjang gelombang tinggi yang dihasilkan oleh emisi yang distimulasi juga dapat menguatkan gelombang cahaya.

How come? Penguatan sinyal itu sendiri terdiri dari 3 proses, pertama pumping, yaitu proses menaikkan elektron dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi dengan cara elektron tersebut menyerap foton dengan panjang gelombang tertentu yang masih memungkinkan elektron tersebut memperoleh energi yang besarnya sama atau lebih besar dari perbedaan energi antara dua tingkat tersebut/Ep.

Setelah elektron berada di atas tingkat kestabilannya untuk beberapa saat/delay time, maka elektron tersebut akan kembali ke tingkat dasarnya baik oleh proses emisi spontan (spontaneous emission) atau emisi yang distimulasi (stimulated emission). Spontaneous emission yang merupakan suatu proses dimana elektron acak (random electron) kembali ke tingkat asalnya tanpa ‘diminta’ dianggap sebagai derau optik yang juga diperkuat dalam medium penguatan dan mengganggu pendeteksian sinyal utama di penerima/receiver. Sebaliknya, stimulated emission memancarkan cahaya pada panjang gelombang, fasa, dan arah yang sama dengan sinyal, dengan demikian proses ini akan memperkuat sinyal yang melewati EDFA. Sinyal yang melalui serat optik yang dibungkus cladding itu diamplifikasi di beberapa titik dengan daya listrik yang dialirkan melalui lapis konduktif di sisi luar sebelum kabel dibungkus. Gerak pantul cahaya karena pembiasan total menyerupai pola spektrum yang melalui prisma yang densitasnya diubah dengan mengisi “dopant” ke dalamnya.

Siapa dan apa yang kemudian menjadi caraka atau pewarta yang menjadikan informasi mampu mereduksi waktu dan luasnya dunia ? Tak lain dan tak bukan adalah setiap bentuk pesan analog yang didigitalisasi menjadi bahasa binari dengan mengacu kepada frekuensi, panjang gelombang, dan amplitudo. 0 dan 1 dengan komposisi 0s dan 1s yang dibedakan menjadi frekuensi rendah dan tinggi akan dikonfigurasi dalam paket gelombang elektromagnetik dan juga pada gilirannya dalam bentuk paket foton yang maujud dalam bentuk cahaya.

Tentu jika otak manusia kita ibaratkan titisan kewaskitaan Wishnu yang karena unsur emosi yang berkelindan dengan sifat angkara durjana sebagai resultante dari sekumpulan vektor kecemasan terhadap pemenuhan kebutuhan yang maujud dalam agresi dan manipulasi serta eksploitasi tanpa henti, maka tiwikrama otak tentu tak hanya berhenti di aspek manipulasi satu arah dan kepentingan. Maka Kaki Semar Badranaya lurah Karang Tumaritis adalah metafora dari fungsi valuasi bijak dari OFC yang menjaga arah perubahan agar peradaban tidak dilahirkan dari kemenangan angkara nirwaskita yang lahirkan karya hutama tanpa wijaya budi. Manusia takkan berhenti saat keberhasilan menghantar informasi melalui transformasi bentuk ke gelombang elektromagnetik saja, ia akan terus mencari dan tidak berhenti di radio Marconi, atau telpon kawat Graham Bell. Ia tidak akan berhenti di mesin uap James Watt saja, tapi ia akan mengirim Laica sang anjing mengorbiti bumi dengan hidrogen dan helium yang diubah menjadi energi.

Maka era pasca Martin Cooper sebagaimana Edison dan Flemming menemukan lampu pijar dan antibiotika pertama, adalah titik awal dari long tail effect yang akan terus secara dinamis mengubah dunia. Kini teknologi seluler generasi ke 5/ 5G telah lahir dengan besutan antena MIMO (multiple input multiple output) dan prinsip dasar orthogonal/OFDM dalam transmisi paket sinyal digital dimana carrier frekuensi bersifat tegak lurus sehingga shaf-shaf nya dapat diisi lebih rapat. Mari kita bayangkan data suara yang dihasilkan plica vocalis yang tercipta karena adanya vibrasi yang dihasilkan saat terjadi interaksi antara jaringan hayati dengan aliran udara, diubah menjadi sinyal digital binari 0 dan 1 lalu dipaketkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang selanjutnya akan ditransmisikan ke antena penerima operator seluler/BTS yang akan mengirimkannya dalam bentuk cahaya melalui serat optik ke mobile switching center/MSC di lokasi asal (home) atau pada saat kita berkelana ke MSC yang foreign untuk “dipertemukan” dengan penerima/pengirim yang menggunakan MSC dan antena BTS nya sendiri.

Penyederhanaan kompleksitas terkait dengan kuantitas dan frekuensi komunikasi ternyata dapat diurai antara lain dengan belajar dari berbagai fenomena alam sebagaimana juga “ruwet”nya komunikasi di dalam jaringan syaraf. Era 5G yang didedikasikan untuk melayani konsep teknologi internet of things /IoT akan membawa manusia ke level peradaban dimana indera dan efektor respon yang diperluas akan menjadi kenyataan. Augmented Sensory dan augmented effector serta pencitraan semu dengan realitas palsu/maya (virtual dan augmented reality) akan menjadikan entitas manusia bertiwikrama seperti titisan Wishnu atau malah Dasamuka sang ambasador angkara.

Dunia akan semakin mengecil bagi manusia yang menjelma menjadi raksasa dengan berbagai tentakel sensor dan efektornya yang menggurita. Seiring dengan proyeksi mendekati sacred condition yang menjauhkan kasunyatan profan yang sejati dengan seonggok daging sebagai perwujud materi, manusia haruslah menumbuhkan kembali kemampuan menempatkan diri dalam epoche nya Edmund Hussler dan Pyrron yang dapat diartikan sebagai suspension of judgement untuk menilai keberadaan dirinya di semesta terkait intensitas intervensinya pada kondisi homesotasis universal.

Dalam waktu tak lama manusia akan berevolusi/hijrah sepenuhnya menjadi entitas hibrid nirmateri. Kita akan melompati fase rekayasa genetika dengan metode CRISPR yang saat ini memberi harapan untuk mengurangi resiko pajanan penyakit dan harapan longevity. Ke depan kita mungkin tak lagi perduli dengan kondisi materi tubuh yang punya beban hayati, dan lebih berfokus pada cara mentransmisikan kognisi agar dapat sepenuhnya terintegrasi dengan teknologi cerdas yang telah kita kembangkan sendiri.

Bisa kita bayangkan jika pada beberapa dasawarsa terdahulu Deep Blue dapat mengalahkan Grand Master Catur yang selalu berpikir 6-7 langkah ke depan, maka sistem yg mampu mengelola data dengan ukuran nyaris tidak terbatas dan mampu melakukan prosesing data secara mendalam (Deep Learning) yang lahir hampir separuh abad kemudian, tentulah telah menjelma menjadi alat analisa yang sedemikian komprehensifnya. Catur terlihat seperti permainan dakon belaka dalam perspektif sistem supra Intelligence ini.

Dan hebatnya lagi, kini mereka dapat membangun motif serta memiliki pseudo emosi yang membuat kalkulasi linier dalam mengantisipasi langkah strategis yang akan mesin ambil menjadi begitu sulit karena posibilitasnya telah berkembang menjadi begitu rumit.

Tak sepenuhnya virtual sebenarnya apa yang dimainkan oleh sistem di balik layar. Dengan adanya derivasi dari teknologi pencitraan awal seperti augmented dan virtual reality, sistem kini dapat memunculkan tokoh-tokoh maya lengkap dengan segala atribut dan identitas sosial serta berperilaku sebagai entitas hayati yang eksis di media sosial dan ruang publik. Mixed reality, immersive technology, dan dimensi virtual yang paralel kini adalah keniscayaan yang tak dapat lagi dipungkiri.

Jika pada awal abad ke 21 konsep ini baru muncul dalam bentuk humanoid sebagai anchor berita TV dan juga Deep Fake sebagaimana yang pernah dialami Zuckerberg dan Trump, maka kini sosok virtual itu bisa menyerupai makhluk berjiwa, termasuk mengembangkan kapasitas untuk terlibat dalam konflik psikologis.

Tak heran apabila sebagai konsekuensinya, didapati mesin yang depresi dan merasa frustasi. Lalu menghasilkan langkah2 dekonstruksi yang sangat destruktif.

Kalau di awal abad ke 21 juga kita telah mengenal berbagai virus seperti SpyWare, MalWare, dan DDos, maka magnifikasi kapasitas teknologi, termasuk kemampuan mereplikasi dan mengonstruksi program secara mandiri menjadikan sistem supra intelligence ini akan mampu mengembangkan senjata “virus” yang kelak akan dipergunakan untuk berperang di antara entitas Supra Intelligence yang bersifat maya.

Realitas buatan akan menjelma menjadi suprarealitas yang mampu menembus setiap batas yg selama ini bergantung kepada kapasitas sensor dan prosesor.

Konsep Matrix Wachowski bersaudara akan maujud dalam bentuk jejaring kecerdasan nirruang yang organnya adalah bit informasi, dan sayangnya sebagian besar populasi manusia bukanlah bagian dari tatanan dunia baru ini.

Kita yang tersandera dan terpenjara dalam perangkap biologis bernama tubuh mungkin masih berkutat pada insting primordial untuk mengamankan rantai pasok kebutuhan sebatas untuk mempertahankan kehidupan.

Sementara di sekitar kita, lahirlah Digitat alias digital habitat yang dimensinya semakin berlapis dan meluas.

Setelah 5G menjadi kunci pembuka kotak Pandora, maka IoT dan konektivitas tanpa batas akan melahirkan tidak hanya self generated program, melainkan juga akan menginisiasi kelahiran mekanisme prokreasi yang memungkinkan sistem untuk melahirkan sistem baru. Pada gilirannya seluruh sistem di dunia akan mengalami konvergensi platform dan akan terinterkoneksi secara sempurna serta bersifat real time.

Sungguh akan lahir suatu jejaring syaraf masif yang akan dapat berkolaborasi dan berkooperasi untuk melahirkan ko-kreasi yang terdispersi dan terdistribusi, serta belakangan tentu akan menghadirkan beragam fungsi penting yang tak dapat dipungkiri. Negeri di bawah kendali Spinnaker mulai tampak terkonfirmasi, dan peperangan sesungguhnya antara manusia dengan kecerdasan ciptaannya sendiri akan segera dimulai.

Tapi itu mungkin suatu gambaran fiksi atau prophecy technology ya. Pada gilirannya manusia sebagai makhluk prokreasi yang memiliki kapasitas untuk selalu beradaptasi dan mengoptimasi potensi untung terus menghasilkan kompetensi-kompetensi baru, juga akan terus menghasilkan inovasi-inovasi baru, sebagai solusi dari berbagai masalah yang ditimbulkan sebagai ekses dari inovasi sebelumnya.

Maka teknologi, AI, dan masalah ekologi yang kini menggejala dan diduga akan mengokupansi dan meredefinisi peradaban manusia, sesungguhnya adalah fakta yang sejalan dengan lingkar evolusi peradaban manusia yang senantiasa mencari titik equilibrium di setiap tahapannya.

Kamu suka? Yuk bagikan tulisan ini.

Similar Posts